Musik berjalan dalam fase devolusi. Bagaimana tidak, pada mulanya musik bersifat transenden sebagai upaya untuk menyentuh para dewa. Di saat para dewa mati, musik turun ke bumi dan menjelma menjadi puncak pencapaian intelektualitas manusia – periode ini terjadi pada masa baroq dan renaisans ketika komposisi musik dibuat dengan perhitungan matematis yang rinci. Musik kembali bertransformasi ketika intelektualitas manusia dikalahkan oleh dua monster sejarah yaitu: hasrat kekuasaan dan mesin – kali ini musik menjadi alat perlawanan. Dua jenis musik yang lahir dari perlawanan dan kemudian menjadi tonggak musik modern adalah blues dan musique concrete. Blues berkembang di Amerika pada era 1920an sebagai perlawanan terhadap rasisme, sedangkan musique concrete merupakan perlawanan manusia terhadap (noise/bunyi) mesin untuk menjadikannya manusiawi – gerakan musique concrete lahir pada pertengahan 1950an di Paris dan menjadi salah satu tonggak perkembangan musik elektronik yang kita kenal saat ini. Namun, musik sebagai perlawanan ternyata dijinakkan oleh sebuah lubang hitam bernama “industri musik” – lebih parah lagi, lubang hitam ini bukan hanya menghisap sisi perlawanan dari musik, tapi juga intelektualitas dan kesakralan yang tersisa – menjadikan musik saat ini tidak lain dari (meminjam istilah Frank Zappa) cosmic debris: mendengarkannya hanya membuang-buang waktu.
Namun memasuki akhir dekade 90an – terdapat secercah harapan ketika seorang pria asal Detroit, Jack White, menekan tombol reset pada industri musik. Walaupun tidak sampai pada taraf mencapai dewa sebagaimana musik pada peradaban awal manusia, melalui The White Stripes, Jack berhasil “mempreteli” segala aksesoris tidak perlu dan mengembalikan sisi perlawanan dari musik rock dengan satu cara – menghidupkan kembali blues. Akan tetapi berbeda dengan akar musik blues, perlawanan yang ia usung bukanlah berpijak pada rasisme, namun pada tragedi kehancuran emosi manusia – menurutnya “technology is a big destroyer of emotion and truth, especially in music”. Dan melalui The White Stripes, Jack berupaya mengembalikan emosi dan kebenaran yang hilang dalam musik dengan menggunakan mesin waktu ulang-alik dan alat perekam analog.
Seorang kawan menyebut Jack White lahir di era yang salah karena musik yang ia mainkan kerap keluar dari konteks jaman – periode 90an adalah masa dimana grunge, hip-metal, dan (candy) punk merajai pasar, tapi Jack White memainkan blues. Namun, ketika mendengar blues yang ia mainkan bukanlah blues “hitam” seperti yang dimainkan Leadbelly ataupun Son House (dua musisi panutan Jack), juga bukan blues “putih” seperti yang dimainkan The Rolling Stone ataupun Cream, saya berasumsi lain: Jack White tidaklah salah era karena blues yang ia mainkan bukanlah blues masa silam, tapi blues “90an” – jika memang istilah itu ada. Gambaran saya tentang Jack White lebih mengacu pada kecurigaan bahwa ia memiliki mesin waktu ulang alik, karena Jack seakan berguru langsung pada maestro blues seperti Blind Willie McTell, Lightnin’ Hopkins, ataupun Pink Anderson, lalu kembali ke masa kini dan mengejek para gitaris lain dengan kemampuan gitarnya yang di atas rata-rata.
Kepiawaian Jack tidaklah main-main. Walaupun perlu waktu tiga tahun bagi The White Stripes untuk mendapatkan perhatian penuh dari media, namun penobatan Jack sebagai salah satu gitaris terbaik datang ketika ia diminta untuk berkolaborasi bersama Jimmy Page (Led Zeppelin) dan The Edge (U2) dalam dokumenter musik It Might Get Loud pada tahun 2008. Ketiganya adalah gitaris dari “jaman” yang berbeda dengan gaya musik yang berbeda pula – dan disini Jack membuktikan dua hal: bahwa ia bisa mengimbangi permainan legendaris Jimmy Page sekaligus berhasil melakukan putaran waktu dengan mengambil pengaruh dari masa lalu dan menerjemahkannya dalam konteks masa kini. Jack tidak terjebak nostalgia seperti yang terjadi pada sebagian musisi blues ketika mereka berusaha bermain “selampau dan sehitam” Robert Johnson. Ia berhasil meramu blues dengan rasa 90an, yaitu blues yang telah terpengaruh berbagai jenis musik lain, mulai dari punk hingga grunge – menjadikan musiknya relevan dengan konteks jaman dan berada di garda depan perlawanan terhadap musik “artifisial basa-basi” yang kian mewabah.
Terdapat kekuatan lain dari (perlawanan) musik Jack White, yaitu minimalisme yang hadir baik dalam proses rekaman juga dalam instrumen yang digunakan. Minimalisme dalam proses rekaman menghantarkan pada sajian musik yang cenderung mentah dan kasar. Namun kekasaran bagi The White Stripes adalah sebuah konsep, karena walaupun tersedia alat perekam yang lebih baik, mereka memilih untuk menggunakan teknologi analog 8-track tape yang umum digunakan pada produksi rekaman pada tahun 1960 hingga 1970an. Alhasil, sound yang dihasilkan memiliki kualitas lebih mentah dari proses rekaman digital, tapi di tangan musisi handal, kementahan memiliki kualitasnya tersendiri – selain Jack White, beberapa musisi lain yang juga bersikukuh menggunakan rekaman analog adalah Daniel Johnston dan Beck. Minimalisme kedua yang diusung The White Stripes adalah melalui penggunaan instrumen yang sangat minim – secara mendasar set alat musik mereka hanyalah gitar dan drum. Perpaduan ini menjadikan musik mereka cenderung primitif, sebuah kejujuran yang semakin jarang ditemukan dalam musik rock saat ini.
Sejak dari kemunculan album perdananya pada tahun 1999, dimensi minimalisme dan kekasaran The White Stripes langsung mengingatkan saya pada Vincebus Eruptum, album yang menghantarkan Blue Cheers sebagai salah satu messiah musik rock. Selain itu, mengingat Jack berasal dari Detroit, bukanlah sebuah keanehan jika ia mengadopsi sisi liar dari pendahulunya, band proto-punk eksplosif yang juga berasal dari Detroit: MC5. Bagi Jack sendiri kekasaran memiliki filosofi lebih dalam daripada sekedar “warna musik” – ia berpendapat bahwa musik harus dimainkan senyata mungkin. Hal ini mengingatkan kembali pada pernyataan para komposer musique concrete, bahwa salah satu bentuk perlawanan manusia melalui musik adalah dengan penaklukan instrumen, yang kala itu adalah mesin. Penaklukan instrumen jugalah yang menjadi esensi dari idealisme musik Jack White – baginya musik harus dihasilkan dari pertarungan musisi dengan gitar, piano, atau instrumen apapun yang ia mainkan. Karena hanya melalui penaklukan tersebut manusia dapat bersentuhan kembali emosi – hal yang tidak mungkin didapatkan ketika seseorang memproduksi suara melalui teknologi digital.
Jack, dalam berbagai pertunjukkannya seringkali melakukan aksi solo gitar “brutal” yang melukai tangannya – namun lagi-lagi ini adalah sebuah konsep yang ia usung: bahwa untuk mendapatkan kembali kebenaran dalam bermusik, perlawanan pada teknologi [yang melumpuhkan emosi] layak dilakukan. Dalam rentang karirnya sendiri, Jack White telah bergabung dalam sejumlah band diantaranya The Racounters dan The Dead Weather dan juga memiliki sejumlah karya solo, namun melalui The White Stripes-lah kegelisahan dan perlawanannya terhadap kebuntuan musik, paling lantang ia suarakan.
kontak via editor@antimateri.com