Mumia Abu-Jamal: Api dari Lokap

Sekalipun mulut disumpal, tangan diborgol, membaca dilarang, makanan diracuni, hingga tidur pun kerap dirongrong sipir, tak menjadi kendala bagi Mumia Abu-Jamal untuk terus memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Meski mendekam di dalam blok hukuman mati, Mumia mengajarkan kita untuk tak henti melawan setiap upaya penindasan aparatus negara. Dari rekam jejak hidupnya, kita bisa menginsafi satu hal: sebetapapun suara perlawanan itu dibungkam, ia akan selalu mencari celah untuk berdentam.

Mumia si “Suara dari Mereka yang Terbungkam”

Mumia Abu-Jamal adalah seorang muslim kulit hitam kelahiran Philadelphia, 24 April 1954. Ayahnya yang bernama William meninggal ketika usianya baru 9 tahun. Sedangkan Ibunya yang bernama Edith meninggal pada Februari 1990. Nama Mumia ia dapatkan sejak masih mengenyam pendidikan di sekolah menengah pertama. Pada saat sesi kelas Swahili, gurunya yang berasal dari Kenya memberikan nama Mumia baginya. Dalam bahasa Swahili, Mumia berarti pangeran. Tak hanya itu, Mumia pun adalah nama dari salah satu pejuang kemerdekaan Kenya. Sedangkan Abu-Jamal diambil dari nama anak laki-laki Mumia yang bernama Jamal dari istri pertamanya, Biba. Abu-Jamal berarti ayah dari anak laki-laki bernama Jamal.

Ia tercatat sebagai presiden Asosiasi Jurnalis Kulit Hitam cabang Philadelphia, pendiri Black Panther Party distrik Philadelphia, hingga seorang penyiar radio dan jurnalis yang telah dianugerahi sederetan penghargaan atas karya jurnalistik dan kepenyiarannya. Di seantero Amerika ia dikenal dengan julukan “Suara dari Mereka yang Terbungkam”. Jika menyusuri riwayat babakan-babakan hidupnya sedari remaja umur belasan, kita bakal mafhum bahwa Mumia memang terlahir sebagai seseorang yang menentang segala bentuk penindasan aparatus negara.

Saat Mumia berusia 14 tahun, ia bersama dua temannya mendatangi stadion tempat kampanye calon Presiden George Wallace. Mumia mengecam persetujuan kebijakan Wallace ihwal pemisahan warga negara berdasarkan golongan ras. Tak hanya kenekatan menuju stadion saja—yang kala itu praktis didominasi penuh oleh simpatisan Wallace berkulit putih—Mumia dan kedua temannya meneriaki Wallace saat sesi pidato tengah berlangsung.

“Kekuatan kulit hitam, Ungowa, kekuatan kulit hitam!” teriak Mumia beserta kedua temannya. Sontak saja polisi-polisi yang berada di stadion langsung menggelandang mereka. Tak berhenti di situ, segerombolan simpatisan kulit putih Wallace memukuli mereka bertiga. Dua orang dari mereka menarik Mumia, yang satu menendang kepalanya, sementara yang satu lagi menendang selangkangannya. Saat mendongak, Mumia melihat seseorang dengan celana dua warna berpita emas dari unit kepolisian Philadelphia. Ia meminta bantuan pada polisi yang melangkah cepat ke arahnya itu. Sialnya, bukan malah membantunya kala sudah babak belur, polisi itu justru mengganjar wajah Mumia dengan tendangan telak. Namun setelah peristiwa itu, Mumia merasa dirinya mesti berterima kasih pada polisi yang telah menendangnya. “Karena tendangannya,” tegas Mumia, “aku bergabung dengan Black Panther Party”.

Pasca aksi konfrontatif Mumia pada kampanye Wallace itu, FBI dan Cointelpro mulai mengarsip riwayat perjalanan hidupnya. FBI menambahkan namanya dalam Administrative Index (ADEX) yang berisi daftar orang-orang yang mesti digelandang dan ditahan apabila dalam situasi darurat nasional. Sedangkan Cointelpro sendiri mulai menghimpun investigasi mengenai segala aktivisme Mumia. Setahun berselang, Mumia mendirikan Black Panther Party cabang Philadelphia sekaligus menjadi letnan kementerian informasinya. Sesudah itu, tepatnya selama musim panas 1970, Mumia bekerja di Oakland, California sebagai staf surat kabar milik Black Panther Party. Namun tak lama kemudian Mumia kembali ke Philadelphia. Ia kembali setelah polisi California merazia ketiga kantor Black Panther Party di kota itu.

Setelah meninggalkan Black Panther Party, Mumia kembali menuju bekas sekolah menengah atasnya. Ia aktif sebagai pegiat literasi di sekolahnya. Dalam upayanya itu, Mumia mengusung propaganda “Black Revolutionary Student Power”. Ia menginfiltrasi teman-teman di sekolah dengan seabreug buku-buku dari para penulis kulit hitam. Hal itu yang membuat ia kerap berurusan dengan humas dan bimbingan konseling di sekolah. Bahkan di salah satu kesempatan, Mumia hendak mengganti nama sekolahnya dengan Malcolm X High. Kendati upaya itu gagal, namun di lain hal ia telah berhasil membuat teman-temannya melek literatur kulit hitam. Pasca lulus, Mumia melanjutkan studinya ke Goddard College.

Selama masa kuliah di Goddard College, Mumia bergiat sebagai penyiar radio dan jurnalis yang kerap mengkritisi Departemen Kepolisian Philadelphia. Ia aktif di stasiun-stasiun FM lokal, National Public Radio (NPR), Mutual Black Network (MBN), Nation Black Network (NBN), dan radio Information Center for the Blind. Mumia telah mewawancarai sederetan tokoh mulai dari Julius Erving, Bob Marley, Alex Haley, hingga para pejuang Puerto Rico. Berkat kinerja kepenyiaran dan jurnalistiknya, Mumia dianugerahi penghargaan Major Armstrong dari Columbia University.

Mumia tak hanya melancarkan kritik pada Departemen Kepolisian Philadelphia saja. Ia pun pernah mengkritisi habis-habisan walikota Frank Rizzo. Persoalannya bermula ketika Mumia melaporkan penyerangan markas MOVE oleh polisi bersenjata lengkap. MOVE sendiri adalah afinitas anarkis yang diinisiasi oleh Vincent Leaphart alias John Africa. Pengepungan di Powelton Village itu disinyalir atas tembusan surat perintah pengusiran secara paksa dari Rizzo. Kala itu terjadi baku tembak yang menewaskan seorang polisi bernama James Ramp dan beberapa anggota MOVE luka berat. Pasca kejadian, semua anggota MOVE yang berada di lokasi kala itu ditahan dan dijatuhi tuduhan pembunuhan. Tak main-main, masing-masing dari mereka dijatuhi hukuman seratus tahun di berbagai penjara Pennsylvania.

Lantaran laporan Mumia atas kejadian itu, ia dianggap sebagai seorang jurnalis yang “layak diwaspadai”. Kegeraman Rizzo dan pemerintah kota pada Mumia memuncak ketika momen konferensi pers di Balai Kota saat 8 Agustus 1978. Mumia mengkonfrontir Rizzo dengan pernyataan yang kepalang telak, “Pada suatu masa, para politisi menjanjikan pekerjaan dan keuntungan bagi para pemilih, metode ‘makanan selalu ada’ dipakai sebagai taktik agar dipilih. Cara ini terbilang ampuh untuk menjaring suara. Sekarang tidak lagi. Kini politisi tingkat terendah sampai presiden memastikan kemenangan dengan cara lain: kematian. Janjikan kematian dan kau akan menang dalam Pemilihan Umum” .

Kontan pernyataan itu menjagal nadi karir kepenyiaran dan jurnalistik Mumia setelahnya. Ia dipecat karena liputan-liputannya yang kritis dan provokatif. Guna terus menghidupi keluarganya, Mumia kemudian menjalani pekerjaan sebagai supir taksi selama dua malam dalam seminggu. Di samping itu, Mumia pun bekerja sebagai reporter stasiun radio WDAS.

Muasal Ketidakadilan, Pemberangusan, dan Riwayat Penindasan di Dalam Penjara

Pada satu pagi yang masih merah, tepat 9 Desember 1981 di Philadelphia, petaka bagi Mumia berawal. Mumia ditembak seorang petugas polisi ketika ia turut andil dalam sebuah insiden di salah satu ruas jalan Philadelphia. Insiden itu melibatkan Mumia, saudara laki-lakinya yang bernama Billy Cook, dan petugas polisi berkulit putih bernama Daniel Faulkner. Mumia mendapat luka kritis dan malah terus dipukuli petugas polisi yang datang kemudian.

Dalam insiden itu, petugas polisi berkulit putih yang bernama Daniel Faulkner tewas seketika di lokasi. Satu-satunya orang yang dituduh sebagai pelaku pembunuhan atas tewasnya Faulkner adalah Mumia. Petugas polisi yang menangani kasus itu mengklaim bahwa dalam perjalanan menuju rumah sakit, Mumia mengakui dirinyalah yang membunuh Faulkner. Mumia jelas membantah klaim pengakuan itu. Menurutnya, ia tak mengucapkan pengakuan apapun pada petugas polisi maupun tim medis yang mengantarnya ke rumah sakit Thomas Jefferson University.

Kendati telah memberikan pengakuan langsung dan sebuah afidavit (pengakuan tertulis di bawah sumpah), Mumia tetap divonis sebagai tersangka atas tewasnya Faulkner. Setelah itu, Mumia mesti menjalani persidangan pertamanya setelah berstatus tersangka di hadapan “hakim penggantung” Philadelpia yang ditakuti, yakni Albert Sabo. Hakim Sabo terkenal telah lebih banyak memvonis hukuman mati tinimbang hakim lain yang masih menjabat di Amerika. Nahas, pada 3 Juli 1982, Hakim Sabo memberikan vonis hukuman mati pula bagi Mumia.

Banyak hal yang kemudian membuat persidangan Mumia kala itu tak lebih dari sebuah ajang mega-dagelan. Saat pra-peradilan, pengajuan Mumia untuk mendapatkan saksi ahli ditolak. Jaksa yang ditunjuk khusus untuk mengadilinya pun tidak melakukan wawancara sama sekali atas seorang saksi sebelum memberikan kesaksian di persidangan. Hak Mumia untuk mewakili dirinya sendiri di persidangan juga ditolak. Bukti-bukti penting ditahan oleh pihak polisi dan penuntut Mumia. Saksi-saksi dipaksa untuk mengubah kesaksian mereka. Yang lebih tragis lagi, pihak penuntut (dalam kasus Mumia yakni negara) menggunakan haknya untuk mengubah susunan hakim dalam persidangan Mumia atas dasar pertimbangan rasial. Mereka berpikir bahwa apabila hakimnya adalah seorang Afro-Amerika, maka akan cenderung berpihak pada Mumia. Maka semenjak hari itu, langit memang betul-betul rubuh di hadapan Mumia.

Mumia menjadi sasaran hukum dengan motif yang jelas-jelas berbau politik. Hal itu tak lepas dari arsip ADEX setebal enam ratus halaman yang disiapkan FBI untuk menjebloskan Mumia pada blok hukuman mati. Arsip itu memuat rekam jejak Mumia sedari kasus konfrontasinya di kampanye Wallace hingga urusannya dengan Rizzo. Karena pengaruh besar arsip itu pula, Mumia divonis hukuman mati begitu saja tanpa mengindahkan bukti forensik.

Sejak saat itu Mumia mendekam di dalam sel blok hukuman mati LP Huntingdon, Pennsylvania. Sel Mumia hanya berisi sehelai kasur tipis dan lempeng baja sebagai tempat tidur, meja dan kursi logam, juga satu unit wastafel merangkap jamban. Mumia hanya diberi kesempatan 2 jam saja setiap harinya untuk menghirup udara di luar sel. Itu pun tak berarti apa-apa tinimbang 22 jam sisanya yang dihabiskan dalam kungkungan. “Ruang kecil serba tertutup ini bahkan tidak layak untuk seekor anjing” tutur Mumia dengan nada sedikit berkelakar.

Air diminum rasa duri, nasi dimakan rasa sekam, sel dihuni rasa bungker pembuangan. Hal itu yang memang dirasakan Mumia di dalam blok hukuman mati. Di dalam sel, Mumia mesti menuruti beberapa prohibisi yang diberlakukan di LP Huntingdon. Ia dilarang menerima kunjungan keluarga disertai kontak fisik, bahkan ia pun tidak diberi izin untuk menyentuh anak-cucunya. Ia dilarang menelpon, menonton televisi, dan mendengarkan radio. Korespondensi hukum dengan pengacara saja disensor. Tak hanya itu, para awak media pun tidak lagi diizinkan untuk merekam dan memotret sosoknya. Yang paling membuat ia frustasi adalah Mumia dilarang membaca buku apapun. Penyebab semua itu tak lain berasal pula dari penolakan Mumia terhadap perintah Departement of Corrections (DOC) Pennsylvania untuk memotong rambut gimbalnya.

Tepat 6 Maret 1989, permohonan naik banding Mumia kepada Mahkamah Agung Pennsylvania ditolak. Mahkamah Agung Amerika Serikat juga menolak peninjauan kembali kasusnya. Dalam pengambilan keputusan itu, anehnya, hanya empat dari tujuh hakim yang berpartisipasi. Hakim ketua, satu-satunya hakim kulit hitam di pengadilan itu, mengundurkan diri karena tekanan dari kalangan anti-Mumia yang begitu dahsyat. Judith Ritter, profesor hukum Widener University, yang mewakili Mumia di upaya naik banding terakhir, sudah memprediksi keputusan yang bakal diambil oleh Mahkamah Agung. “Tak perlu dipertanyakan lagi, hukuman mati menjadi tak bermakna apapun jika sedari awal juri menerima bukti yang keliru” tegas Ritter.

Pada tahun 1991, Mumia menulis sebuah esai yang kemudian dipublikasikan oleh Yale Law Journal. Esai itu berisi pengalaman Mumia saat berada di dalam LP Huntingdon. Tiga tahun setelahnya, National Public Radio (NPR) mengundang Mumia untuk menyiarkan pengalamannya saat berada di dalam penjara. Kala itu, NPR spontan mendapat peringatan keras dari Fraternal Order of Police (FOP) dan pemimpin mayoritas Senat, Bob Dole. Isi peringatan itu berupa kecaman pada NPR yang mengizinkan “seorang pembunuh polisi yang telah divonis” untuk mengudara. Pada akhirnya NPR memutuskan untuk membatalkan siaran itu dengan alasan untuk meredam konflik antara massa yang pro dan kontra pada Mumia.

“Sensor adalah piranti yang digunakan untuk mempertahankan status qua dan “melindungi” masyarakat dari apa yang dianggapnya sebagai kenyataan sosial yang tidak pantas. Dalam sebuah negara yang dikuasai orang-orang kulit putih, sensor menciptakan sebuah norma abnormal, dan melenyapkan segala hal yang tidak sejalan. Dalam konteks ini, orang kulit hitam adalah orang bahagia dan paling ramah yang tidak mengusik orang-orang kulit putih. Mereka mengenakan kulit mereka yang hitam sebagai atribut yang memalukan, bukan sebuah tanda kebanggaan.” ujar Mumia tak lama setelah pembatalan siarannya dengan NPR.

Setelah tanggal 13 Januari 1995, Mumia tak lagi menempati blok hukuman mati di LP Huntingdon. Ia dipindahkan ke LP Waynesburg, Pennsylvania. Di sana, Mumia menempati sel SCI Greene, yang menampung sekitar kurang lebih 1600 narapidana. Penjara itu terdiri dari sebuah gedung satu lantai dengan banyak deretan kamar tahanan. Kamar-kamar itu terhubung oleh beberapa koridor panjang, juga dikelilingi dua pagar besar yang dilengkapi dengan kawat listrik. Kawat itu juga ditanam beberapa meter di bawah pagar. Itu bertujuan untuk mencegah narapidana yang mencoba kabur dengan cara menggali.

Ketika tengah menjalani hukuman di SCI Greene, Mumia dituduh terlibat secara aktif dalam upaya siaran radio dan jurnalistik terselubung. Kabarnya, Mumia menjadi komentator reguler pada Prison Radio. Mumia pun diyakini telah menjadi kolumnis reguler pada harian berita Marxis di Jerman, Junge Welt. Tak diragukan lagi, Mumia mengakui sendiri bahwa tuduhan itu memang benar. Ia kemudian mengungkapkan kekecewaannya atas (lagi-lagi) kebijakan represif SCI Greene yang melarangnya untuk menulis dan berkorespondensi. “Negara sangat keberatan dengan tulisanku. Dan keberatan itu mereka tunjukan dengan menghukumku selagi aku berada dalam keadaan hukuman terberat dalam sistem ini, Fase II. Hukuman tambahan diberikan padaku semata-mata karena aku berani mengatakan dan menulis sebuah kebenaran.” pungkas Mumia.

Masih di tahun 1995, buku karya Mumia yang berjudul “Live from Death Row” diterbitkan oleh Addison-Wesley. Memoar itu memuat senarai kisah Mumia di dalam blok hukuman mati. Dalam bukunya, Mumia betul-betul mengekspos wajah bengis penjara-penjara federal sekaligus membelejeti sistem kepenjaraannya. Baginya, klaim Amerika sebagai tipe ideal sebuah bentuk negara demokrasi hanyalah angan-angan warisan Alexis Toqueville. Ia memaparkan pula beberapa peristiwa historis yang ada relevansinya dengan diskriminasi orang-orang kulit hitam. Dengan begitu apik ia pun mendemostrasikan bagaimana kaidah Dred Scott masih relevan dalam setiap relasi rasial di seantero Amerika. Banyak nama yang ia serempet di dalam buku itu. Mulai dari William Rehnquist sampai Harry Blackmun, tak luput ia belejeti.

Tak lama setelah “Live from Death Row” terbit, Fraternal Order of Police (FOP) lagi-lagi merongrong Mumia dengan upaya pelarangan peredaran buku itu. Para anggota badan legislatif menghimbau agar hasil penjualan buku itu disita. Prohibisi pada Mumia di dalam selnya semakin diperketat. Dan sudah barang tentu karena terbitnya buku itu pula, Mumia semakin mendapat represi yang masif di dalam blok hukuman mati. Meskipun demikian, Mumia justru melahirkan buku berupa memoar lagi yang berjudul “All Things Cencored”. Muatan di buku itu hampir serupa dengan isi “Live from Death Row”. Hanya saja ada penambahan konten berupa transkrip dari pidato-pidato Mumia dan siaran radionya. Setelah terbitnya dua buku itu, Mumia pun menyelesaikan “Jailhouse Lawyers” dan “We Want Freedom: A Life in the Black Panther Party” yang lebih mengekspos pandangannya tentang kolektif pergerakan itu.

Nasib yang lebih tragis dialami Mumia pada Agustus 1999. Lantaran ratusan rekaman wawancara dan pidatonya yang mengudara dalam program Democracy Now! di radio Pacifica, ia diganjar Dicipline Custody Status (DCS). Mumia dijebloskan pada sel dengan prohibisi dan pemantauan yang kepalang lebih ketat lagi. DCS sendiri adalah penempatan sel di dalam sel, penjara di dalam penjara. Keputusan itu jelas melanggar undang-undang dalam sistem kepenjaraan Amerika. Namun jajaran pembuat keputusan DCS bagi Mumia di SCI Greene tak bergeming. Mumia semakin dibenamkan dalam ngarai represifitas.

Kontras dengan segala pemberangusan pada Mumia, kendati masih berada di blok hukuman mati, ia justru dianugerahi sederetan gelar akademis. Mumia telah menerima mulai dari gelar diploma GED pada Juli 1992, gelar BA dari Goddard College pada Januari 1996, gelar doktor kehormatan di bidang Hukum dari New College of California pada Mei 1996, paralegal dari Fakultas Hukum Blackstone, gelar bidang herbalisme dari Emerson College of Canada, hingga gelar MA untuk sejarah kemanusiaan (major) dan sastra Afrika-Amerika (minor) dari California State University Dominguez Hills pada musim gugur 1999.

Gubernur Pennsylvania, Tom Ridge, menandatangani surat perintah hukuman mati Mumia pada 13 Oktober 1999. Surat perintah itu menetapkan tanggal eksekusinya, 2 Desember 1999, tanggal yang sama saat John Brown dieksekusi. Dua hari setelahnya, para pengacara Mumia mengajukan permohonan habeas corpus di Pengadilan Distrik Federal untuk Pennsylvania Timur. Syarat dari Peraturan Hukuman Mati Efektif (tahun 1996) begitu menyulitkan upaya bantuan advokasi dari para pengacara Mumia. Pengadilan federal akhirnya menyerahkan soal pencarian fakta kepada pengadilan Negara. Kasus Mumia diserahkan pada Hakim William H. Yohn, yang kemudian memutuskan menunda tanggal eksekusi.

Pada musim semi tahun 2000, sejumlah organisasi besar berusaha mengajukan nasihat resmi untuk kasus Mumia. Namun hal itu ditolak oleh Hakim Yohn. Yohn pun menolak petisi Mumia untuk menambahkan sebuah masalah terpisah dengan permohonan habeas corpus, yaitu penolakan pengadilan untuk mengizinkan Mumia didampingi penasihat non professional pilihannya sendiri di meja terdakwa. Sampai di sini, Mumia telah mencecap segala pahit-getir penindasan aparatus negara pada dirinya. Mumia adalah tumbal dari sebuah operasi eksesif aparatus intelijen negara, yang kerap gagal menjebloskan incarannya pada blok hukuman mati.

Suara-Suara Mereka yang Menuntut Pembebasan Mumia

Petisi dan kecaman penentangan terhadap vonis hukuman mati Mumia terus dilayangkan oleh banyak pihak hingga kini. Kongres Nasional Afrika, Amnesti Internasional, Parlemen Eropa, Parlemen Penulis Internasional, Nelson Mandela, Pendeta al-Sharpton, Uskup Agung Desmond Tutu, beberapa selebriti dunia, juga tokoh sekaliber Derrida, Howard Zinn, Noam Chomsky, dan Salman Rushdie, mengecam keputusan pengadilan federal. Tak hanya mereka saja, penentangan terhadap vonis hukuman mati Mumia pun datang dari para seniman musik.

Berselang enam tahun dari penolakan naik banding Mumia oleh Mahkamah Agung Pennsylvania pada 6 Maret 1989, KRS-One merilis self titled album yang memuat nomor berjudul “Free Mumia” pada 10 Oktober 1995. Lagu itulah yang mengawali seniman musik lain setelahnya untuk turut berkontribusi dalam upaya pembebasan Mumia.

Memasuki tahun 1996, salah satu unit southern-rock Amerika, The Black Crowes, mengikuti pula jejak KRS-One. Mereka membentangkan spanduk bergambar potret wajah Mumia pada pangkal drum saat tampil di sebuah konser. Setelah mereka, giliran unit power-violence Man Is the Bastard merilis album yang memuat satu side karya mereka, sedangkan satu side lagi berisi spoken-word dari Mumia.

Jauh di Inggris sana, band pop politis Chumbawamba membawakan lagu “Thubthumping” ada sesi Late Show with David Letterman di tahun 1997. Sebelum tampil, semua personil Chumbawamba menyanyikan salah satu chorus dalam lagu itu yang diganti dengan chantFree Mumia Abu-Jamal!”. Kenyataan setelah penampilan mereka, sesi menyanyikan chant itu disensor. Chumbawamba dikecam banyak pihak Anti-Mumia setelahnya. Namun Chumbawamba berhasil menarik atensi publik Inggris untuk lebih peduli pada penindasan dan ketidakadilan yang tengah dialami Mumia.

Tahun 1999 menjadi titik kulminasi bagi seniman musik yang menyuarakan pembebasan Mumia. Setelah merilis album The Battle of Los Angeles yang memuat nomor  “Voice of the Voiceless”, Rage Against the Machine beserta Beastie Boys, Bad Religion, dan Chumbawamba, nekat menggelar konser yang didedikasikan untuk Mumia pada Januari 1999. Mereka menghelat konser itu di Continental Arena, yang berada pada area Meadowlands, New Jersey. Tidak hanya 4 band itu saja, dalam konser itu pun turut serta Chuck D. dari Public Enemy yang berkolaborasi dengan Rage Against the Machine. Saat itu, mendiang Adam Yauch pun masih ada. Ia dan pentolan band lain menyampaikan kecamannya terhadap vonis hukuman mati yang diterima Mumia.

Konser yang dihadiri oleh lebih dari 20.000 orang itu mendapat kecaman keras dari banyak pihak yang membenci Mumia. Mulai dari Gubernur New Jersey, Christine Whiteman, hingga Fraternal Order of Police (FOP) menyerukan untuk memboikot konser itu. Alih-alih banyaknya pihak yang tak merestui “konser untuk sang pembunuh polisi”, konser itu berjalan sukses hingga akhir. Implikasi dari para personil band pada kecaman vonis hukuman mati Mumia, menjadikan mereka masuk deretan seniman musik “yang mesti diwaspadai” dalam indeks Cointelpro.

Tak ketinggalan, masih di tahun 1999, Without Apology Music merilis album kompilasi Reggae Free Mumia. Dari mulai Big Mountain, Don Carlos & Gold, The Revelations, Ras Shiloh, hingga Foundation, turut serta di dalamnya. Setelah perilisan itu, lahir pula album kolaborasi Mumia 911 yang dirilis oleh Ground Control. Album itu digarap oleh Unbound Allstars, proyek kolaborasi yang diinisiasi oleh para musisi hip-hop Amerika. Chuck D., Zack de la Rocha, Dead Prez, hingga Pharoahe Monch, berkontribusi pada 10 nomor dalam album kolaborasi itu.

Di awal milenium kedua, semakin banyak lagi seniman musik yang menyuarakan pembebasan Mumia. Kontingen hip-hop asal Swedia, Looptroop Rockers, merilis lagu berjudul “Long Arm of the Law”. Saul Williams, seniman multi talenta Amerika, merilis pula album Amethyst Rock Star yang memuat nomor berjudul “Penny for a Thought”. Dalam lirik lagu itu, ada sebaris chorus yang begitu menohok bagi aparatus penegak keadilan Amerika yang memberi vonis hukuman mati pada Mumia: “How much will it cost to free Mumia? Who do I make checks payable to?”

Jonathan Richman, sang vokalis The Modern Lovers sekaligus nabi proto-punk pun turut berkontribusi pada kampanye pembebasan Mumia. Ia merilis lagu berjudul “Abu Jamal” yang termuat dalam album Not So Much to Be Loved as to Love. Richman mengajak para pendengarnya untuk bersolidaritas pada Mumia meskipun dalam bentuk yang paling sederhana. Seperti apa yang tertuang dalam lirik lagunya, “protest with a letter, or maybe a phone call”.

Pada 2002, giliran Anti-Flag yang merilis lagu “Mumia’s Song” pada album Mobilize. Tak hanya satu, lagu mereka yang berjudul “Vices” pada album Bright Lights of America, didedikasikan pula untuk Mumia. Bahkan di lagu itu, pidato Mumia saat berada di dalam penjara dijadikan latarnya. Tak lama setelah Anti-Flag, Jurassic 5 merilis album Power in Numbers yang di dalamnya termuat nomor berjudul “Freedom”. Satir dalam penggalan bar lagu itu, niscaya lebih pedas tinimbang wasabi dan oseng-oseng mercon yang dimakan sekali lahap: “Got people screamin’ ‘free Mumia Jamal’ / But two out of three of y’all will probably be at the mall”.

Tak hanya menjadi lagu pengantar petarung MMA saja, nomor-nomor pada album Revolutionary Vol. 2 milik Immortal Technique dipersembahkan pula untuk Mumia. Pada tahun 2005, ia merilis plat 12″ Bin Laden Remix (Bin Laden Pt. 2). Album itu diproduseri oleh DJ Green Lantern, dan bekerja sama pula dengan Chuck D., KRS-One, Mos Def, juga Eminem. Nomor yang berjudul “The War vs. Us All by Mumia Abu-Jamal” dilatari oleh pidato Mumia kala di dalam penjara. “I wrote this for Mumia, stuck in a beast/For people who, march in the streets,/and struggle for peace” sabda MC dengan nama lahir Felipe Andres Coronel itu pada nomor “One (Remix)”.

Setelah Immortal Technique, sederetan nama lain mulai dari Jedi Mind Tricks’s, Flobots, Snoop Dogg, Massive Attack, Brother Ali, hingga Rise Against pun turut berkontribusi dalam kampanye pembebasan Mumia. Di banyak belahan negara lain, menyeruak pula musisi-musisi yang mengikuti jejak kampanye mereka. Di Amerika sendiri, konser dukungan untuk Mumia pernah ada yang disatukan dengan sesi pembacaan slam poetry. Dan tentunya, masih banyak konsep lain penyampaian dukungan mereka pada Mumia lewat medium musik.

Mereka yang telah merilis karya dan menghelat resital langsung ihwal dukungannya pada Mumia, sadar bahwa lewat musiklah, perlawanan mereka bisa tepat pada sasarannya. Musik yang merupakan salah satu derivasi seni yang lebih populer dan memiliki bentuk yang lebih konkrit, mempunyai sifat portabilitas yang tinggi pula. Kendati menjadi bumbung kapitalisasi dan objek komodifikasi seperti yang hari ini kita temui, musik selalu menyisakan ruang interuptif untuk diprovokasi tak hanya di tataran estetika, namun juga di ranah politis. Dan mereka yang telah menyuarakan dukungannya bagi Mumia, berhasil melakukan provokasi itu dengan luar biasa.

***

Mumia tidak hanya terus melawan penindasan aparatus negara yang represif saja. Di dalam blok hukuman mati, ia seumpama satu unit camera obscura yang sangat jelas memproyeksikan wajah sebenarnya penjara-penjara Amerika. Mumia berhasil menjungkir-balikkan ‘logika pembinaan dan perlindungan’ dari eksistensi penjara dan juga rumah tahanan. Bukan malah melindungi tahanan dan memutus lingkaran kekerasan, penjara justru melanggengkan penindasan.

Magasin daya juang Mumia seakan tak pernah tandas. Meskipun aparatus negara—yang dalam kasus Mumia, mencakup mulai dari korps polisi Philadelphia hingga Mahkamah Agung Pennsylvania—terus melaksanakan fungsi-fungsi dasar dari represifitas dan intervensinya, sebagai mustadh’afin, Mumia pun mengonter semua itu dengan gigih. Ketika Amerika dianggap sebagai patron nomor wahid dalam hal demokrasi, Mumia dengan cermatnya mengekspos dan membelejeti diskriminasi, rasisme, juga penindasan yang terus ia alami di dalam blok hukuman mati. Jika aparatus negara adalah unit tubuh yang utuh, Mumia adalah sel kanker maha ganas yang menjalar melalui serum. Sekalipun aparatus negara terus merepresinya secara persisten, Mumia terus merangsek dan meneroka wilayah baru untuk mencari apa yang dinamakan keadilan.

Pustaka
Abu-Jamal, Mumia. Live from Death Row. New York: Harper Perennial, 1996.
Abu-Jamal, Mumia. Death Blossoms: Reflections From A Prisoner of Conscience. New York: Plough Publishing House, 1997.
Abu-Jamal, Mumia. Writing on the Wall: Selected Prison Writings of Mumia Abu-Jamal. San Francisco: City Lights Publishers, 2015.
Amnesty International. The Case of Mumia Abu-Jamal: A Life in the Balance. New York: Seven Stories Press, 2001.
Lotringer, Dhoruba Bin Wahad, Mumia Abu-Jamal, Assata Shakur. Still Black, Still Strong. New York: Semiotext(e), 1993.
O’Connor, J. Patrick. The Framing of Mumia Abu-Jamal. Illinois: Chicago Review Press, 2008.

Catatan Editor:
Artikel ini tidak sepenuhnya merefleksikan opini editor ataupun direksi antimateri. Penulis dapat dihubungi melalui fnugrahaf@gmail.com

Share on:

1 thought on “Mumia Abu-Jamal: Api dari Lokap”

Leave a Comment