“The pillow is blameless,
the pillowed head is to blame.”
– Yukio Mishima, Kantan
Mimpi adalah sebuah bangun psikologis sarat makna yang mengacu pada sebuah tempat tertentu dalam aktivitas psikis alam sadar (waking state) manusia[1] – sehingga Freud dan para ahli tafsir mimpi modern[2] sepakat bahwa sesurealis apapun sebuah mimpi, adalah gambar yang terpantul dari alam kesadaran. Tapi dalam Kantan[3], sebuah drama pendek karya pengarang kenamaan Jepang Yukio Mishima, alih-alih sebagai sebuah pantulan, mimpi dalam versi Mishima, dapat melepaskan manusia dari ikatan realitas. Mimpi menjadi pengantar bagi sublimasi – sebuah proses dimana seseorang menemukan kembali kemurniannya – dengan katalist sebuah bantal ajaib.
Bantal tersebut lantas dikenal dengan sebutan ‘bantal kantan’, karena menurut cerita leluhur Kiku – sang pemilik bantal – bantal tersebut berasal dari sebuah kota bernama Kantan di dataran Cina. Kabar lalu menyebar ke seantero kota, bahwa terdapat sebuah bantal dengan kutukan mengerikan: siapa saja yang tidur diatasnya, akan terbangun tanpa memiliki kesadaran atas diri, harta benda, dan seluruh kehidupannya – lantas pergi entah kemana. Kiku sendiri kehilangan suami karenanya – sang suami tanpa sadar mengambil bantal tersebut ketika Kiku lengah mengawasinya – ia pun pergi diiringi layunya bunga-bunga di kebun Kiku sejak sore ketika tragedi bantal tersebut terjadi. Tapi kabar yang menyebar tidak lantas membuat orang percaya begitu saja, bahkan ada yang ingin menguji kebenaran kutukan tersebut. Salah satunya adalah pemuda Jiro, yang datang mengetuk pintu ketika hujan lebat di suatu malam.
Kiku sebetulnya adalah pengasuh masa kecil Jiro – namun Kiku tahu bahwa kedatangan tuan mudanya pada malam yang hujan itu, bukanlah untuk menemui dirinya. Setelah basa-basi secukupnya – yang mengesankan bahwa Jiro adalah remaja yang terlampau berat beban pikirannya – Jiro memaksa Kiku mengeluarkan bantal tersebut. Jiro, dengan ego remaja yang berusaha membuktikan diri dalam hal apapun – termasuk dalam menghadapi ketakutan pada sebuah bantal – segera tertidur pulas di atasnya, sedangkan Kiku terduduk lesu – pikirnya, seorang lagi laki-laki dalam hidupnya akan pergi meninggalkannya. Latar lalu berubah meninggalkan Kiku yang termenung sendirian, kini Jiro berada dalam dunia mimpi ditemani berbagai karakter yang sama sekali belum pernah ia temui – para penari mengelilinginya ketika seorang gadis cantik mengajaknya menikah, lalu muncul karakter-karakter lain, para pria, seorang sekretaris pribadi, seorang dokter termashur, dan seorang karyawati, yang kesemuanya adalah sureal bagi Jiro.
Namun, titik kekuatan drama ini tidak terletak pada adegan dalam mimpi, – walaupun percakapan dan perdebatan di dalamnya tidak bisa dianggap remeh dari segi kualitas. Layaknya Kiku yang dibuat khawatir, pembacapun kemudian ikut menerka-nerka apakah Jiro akan tetap mengenali dirinya ketika ia terbangun. Sebuah adegan kemudian mengantarkan kita pada jawaban – Kiku membangunkan Jiro yang lantas sumringah karena didepannya telah ada hidangan kesukaannya, ia lantas mencuci muka lalu makan dengan lahapnya. Sebuah kesimpulan kemudian dihadirkan oleh Mishima – Possessing by letting go of things was a secret of ownership unknown to youth. Namun walaupun kita diberi kepastian akan akhir sebuah adegan (mimpi), Mishima yang seringkali bermain imajinasi, kembali membuat pembacanya penasaran – karena cerita ini ditutup dengan adegan Kiku yang terbingung-bingung melihat kebun bunganya yang kembali mekar. Sebuah klimaks khas Mishima yang mengantarkan pembaca pada mimpi-mimpi lain.
Dibalik kejeniusan sang penulis dalam mengangkat ide sederhana ke tataran transendental, Kantan dengan sendirinya merupakan sebuah mimpi utopis setiap orang – atau minimalnya, mimpi seorang Mishima. Mishima yang nasionalist tulen paham betul akan hiruk pikuk ideologi Jepang paska perang dunia dua – sinismenya terhadap pemerintah ia tunjukkan melalui aksi seppuku – bunuh diri seorang samurai yang ia lakukan di depan umum. Mungkin saja, jika ia memiliki bantal bertuah seperti dalam ceritanya, ia tidak akan mengakhiri hidupnya dengan sedemikian tragis – karena ia bisa melenggang pergi ketika negerinya perlahan-lahan digerogoti pengaruh asing. Namun melenggang pergi sama sekali bukan cerminan Mishima, dengan melihat sepak terjang politiknya, jika saja Mishima memiliki bantal kantan: ia tidak akan menggunakannya – karena bantal tersebut menawarkan kemewahan (dan sama sekali bukan kutukan). Sebuah kemewahan (mimpi) sublim yang mengantarkan seseorang ke dalam pemurnian diri hingga titik nol – dan ia tidak akan dipusingkan lagi oleh carut marut ideologi politik serta segala tetek bengek duniawi. Sebuah kemewahan yang bertentangan dengan semangat pengorbanan nasionalist yang diusung Mishima dengan lantang – dengan akhir yang sangat teatrikal.
Keterangan dan sumber:
[1] Freud, Sigmund, 1911, The Interpretation of Dream, Vintage Book, New York
[2] Pada zaman yang lebih kuno, mimpi dipandang sebagai ilham yang berasal dari dewa, pandangan awal bahwa mimpi adalah gejala psikologis dikemukakan oleh Aristoteles yang kemudian berkembang secara lebih mumpuni dalam kajian tafsir mimpi modern
[3] Mishima, Yukio, 1979, Kantan (terjemahan dari: Five Modern No Plays), Pustaka Jaya, Jakarta
Sumber gambar: willkommen in japón
kontak via editor@antimateri.com