Mesin Mau Jadi Penyair

Tulisan ini terbagi menjadi 2 babak. Babak pertama menjelaskan konstruksi berkarya Artificial intelligence (AI) pada buku Penyair Sebagai Mesin dan sekelumit “proses” penyair Afrizal Malna, sekaligus menelaah ulang landasan gagasan Deleuze & Guattari yang dipakai sebagai titik berangkat Martin Suryajaya dalam bukunya (Penyair Sebagai Mesin, 2023). Babak kedua menjelaskan implikasi AI dan iklim kekaryaan di tengah dataraya algoritma dan konsekuensinya terhadap dunia kritik sastra.

Kemudian kita uji eksperimen Martin dalam Penyair Sebagai Mesin dengan pertanyaan sederhana: Bagaimana nasib karya baik puisi atau prosa, yang mendekati jelek saja belum, untuk dikata salah asuhan dan salah silsilah dalam pohon sastra Indonesia, yang dibabarnya dari era kolonial sampai era milenial ini? Apakah justru bagian dari yang bukan bagian itu merupakan penyair sesungguhnya, penyair-assemblege sesungguhnya? Atau jangan-jangan kita sedang mengidap kelatahan skizofrenik, sebentar-sebentar melankoli, sublim kadang-kadang, radikal sesekali waktu, dalam tabung gema AI, padahal yang sesungguhnya bekerja tak lain adalah “mesin”?

Babak 1: Melihat Mesin-Afrizal Bekerja

Penyair Sebagai Mesin adalah eksperimen penulisan jarak jauh Martin Suryajaya atas puisi-puisi Indonesia sejak Angkatan Pujangga Baru (1933 – 1942) sampai angkatan milenial Rintik Sedu. Sebuah percobaan yang menuntun pembacanya untuk menelaah ulang karya-karya penyair Indonesia dengan kacamata baru yakni kacamata humaniora digital. Dengan bantuan teknologi kecerdasan-buatan (AI) yang ia jadikan alat utama dalam mengungkai korpus penyair, pembaca mendapati semacam pengalaman yang-lain dari aktivitas ‘membaca puisi’. Sekaligus mempertanyakan apakah produk AI itu benar puisi atau belaka oplos-mengoplos kata. Apakah Rintik Sedu sedang berpuisi seperti halnya Afrizal Malna berpuisi–seperti halnya AI berpuisi?

Martin bertolak dari telaah Deleuze menyoal mesin sebagai assemblage atau rakitan. Bahwa pengertian mesin adalah semacam robot, agen yang memproses informasi dan bertindak atas dasar informasi tersebut (Suryajaya, 2023, hal. 18). Komposisi yang membentuk robot tak lain berupa kodifikasi berlapis dari mekatronik hingga jaringan sibernetik digital. Karenanya, sahih bila robot adalah mesin, sebab mesin adalah suatu rakitan. Deleuze dan Guattari menggambarkan rakitan ini sebagai susunan yang terbentuk dari “tubuh tanpa organ”. Suatu kawasan yang tersusun oleh intensitas, oleh materi tanpa bentuk, tanpa struktur, tanpa kesatuan organik yang mencirikan sebuah organisme (Deleuze & Guattari, 2005, hal. 253).

Dengan landasan yang sama, Martin menguliti penyair sebagai persona rakitan, assemblage Deleuzian. Subjek adalah suatu kemenjadian terus-menerus dari hal-hal yang dirakit-pasangkan pada dirinya. Menukil aktivitas receh di keseharian penyair, seperti membaca instastory, check out shopee, atau membaca puisi Di Beranda milik Goenawan Mohamad—aktivitas yang mau tak mau turut berkontribusi dalam mentransformasi diri si penyair menjadi mesin kata-kata. Sang penyair kemudian menjadi penyair yang-lain; menjadi-receh sekaligus subversif; menjadi-instastory; menjadi-GM. Proses apropriasi terus-menerus ini dimungkinkan oleh sebab yang dasariah, bahwa inspirasi tak bakalan ditemukan di ruang kedap budaya, melainkan sesuatu yang berada di luar subjek, di luar diri sang penyair.

Kemenjadian yang cyclic ini, mengutip Sajak Kecil Tentang Cinta karya Sapardi, rupanya tak cukup menjadi sebatas siul untuk mencintai angin; ricik untuk mencintai air; terjal untuk mencintai gunung; jilat untuk mencintai api; menebas jarak untuk mencintai cakrawala, dan menjadi aku untuk mencintai-Mu. Kemenjadian adalah menjadi-seluruh. Diri si penyair adalah sebuah rakitan (assemblage) dari berbagai proses tersebut. Bagi Delezue & Guattari, seorang penulis malahan bukan seorang manusia-penulis melainkan sesosok manusia-mesin. Sang penyair tersusun dari siul-ricik-terjal-jilat-sekaligus-aku. Pada titik ini Martin mempersoalkan persona ‘aku’ dalam serangkaian puisi-puisi Indonesia. Baginya, luruhnya perbedaan antara mesin dan manusia di abad digital mengantarkan kita ke semacam pencarian modalitas baru untuk berkata ‘aku’ dalam konteks sejarah puisi modern Indonesia di era post-human.

Guna memuluskan pencarian sang ‘aku’ yang-lain–dan bukan lagi yang-skizoid, Martin menerapkan penulisan jarak jauh. Mengedepankan NLP (natural language processing) untuk kemudian mengasahnya lewat deep learning yang dieksekusi oleh Long Short-Term Memory (LSTM); Recurrent Neural Network (RNN); Bidirectional Encoder Representations from Transformers (BERT); juga Generative Pre-Trained Transformer (GPT). Mereka adalah alat komputasional utama yang tugasnya menghasilkan komposisi baru dari sejumlah korpus para penyair yang diayak ke dalam model-model pengolahan tersebut. Korpus Chairil Anwar, misalnya, diayaknya untuk memunculkan frekuensi penggunaan kata tertentu. Kata-kata yang frekuensinya paling kerap itu kemudian dijahit ulang (assembly) menggunakan pemodelan AI sehingga menghasilkan buah karya Chairil-mesin.

Hasil dari pemodelan yang hanya dipantik dengan 5 kata yang frekuensi kemunculannya paling tinggi dalam korpus para penyair itu, adalah gelak tawa yang amat menghibur jika bukan tawa yang ironik. Semacam puisi mana suka, disusun hanya dengan preposisi ‘di’ atau ‘ke’; konjungsi ‘dan’ atau ‘yang’; pronomina ‘aku’ atau ‘ia’, serta adverbia ‘tidak’ atau ‘tak’. Sisanya adalah keberuntungan jika didapati bait yang dihasilkan mesin tersebut koheren dengan logika bahasa, dengan sintaksis sederhana yang kesalahannya dapat dianggap wajar. Kadangkala justru didapati sesuatu yang di luar nurul kebahasaan. Dikata abstrak pun dirasa kurang abstrak. Seperti cuplikan Aku Ingin Lari, Subagio Lain berikut:

Saya pungut israel duwit untuk melayani zaman ini
dari batu ambang pintu sendiri
seperti muka nyawa lari ke meja
dan gemar putih kepadaku
—masih sepi

Tak ada kesinambungan arti terlebih makna yang benderang ihwal apa maksud ‘Saya pungut israel duwit’ itu. Tak ada gita puitik, temaram, gelap, tak ada komposisi alusi yang imajinatif, yang notabene didapat dari kalimat yang puitik, dari puisi. Hal yang mubasir bila pembacaan produk AI itu diungkai menggunakan pembacaan dekat atau bahkan sastra bandingan. Oleh karena kebuntuan tersebut, hasil daripada penulisan jauh itu hanya mampu didekati oleh pembacaan yang juga jauh (distant reading). Martin kemudian menyajikan data hasil pembacaan mesin atas karya mesin itu. Melalui teknik text clustering terpampang representasi vektor heat-map sebagai penggambaran jauh-dekatnya kemiripan puitik seperti pola, nuansa, stilistika, antara penyair asli dan penyair-lain (mesin AI).

Menariknya, hanya Afrizal Malna yang diolah menggunakan arsitektur jaringan neural RNN sementara penyair-penyair lainnya dalam buku ini menggunakan BERT atau LSTM (hanya mengolah di tingkatan kata). Kasus Malna membutuhkan alat yang lebih mikroskopik, dengan RNN yang mampu mencopot satu persatu karakter kata-kata yang dipakai penyair Malna dalam korpusnya. Dengan pengelompokan data, hasil yang terpampang dari eksperimen didapati bahwa Afrizal Lain dan Afrizal Asli membentuk sebuah klaster tersendiri yang menunjukkan betapa karibnya mereka. Buah karya Afrizal Lain yang mirip itu salah satunya dapat disimak dari Yang Berlari 1984: ‘membuat puing-puing dalam bahasa ibunya’. Di sini Afrizal Asli lebih mirip dengan Afrizal Lain daripada dengan para Penyair Asli lainnya dalam sejarah puisi Indonesia (Suryajaya, 2023, hal. 144).

Pertanyaannya, mengapa bisa demikian mirip? Apakah Afrizal Asli lebih dulu menggunakan AI dalam menghasilkan puisi-puisinya? Atau jangan-jangan Afrizal Malna adalah sejatinya AI yang menubuh, berdaging, dan berjalan tegak selayaknya manusia? Kita tahu Malna adalah penyair yang obskur. Ia mencoba keluar dari tradisi lirikisme puisi Indonesia dengan memasukkan traktor, objek-objek pejal di ruang urban, sampai format .JPG ke dalam puisi-puisinya. Percobaan keluar dari lirikisme itu bukan tanpa dasar, ia hendak membalikkan suatu kinerja penciptaan yang semula dianggap final yakni bahasa itu sendiri. Bila AI dimungkinkan mencipta dari suatu kondisi yang kapiran, nir-pengalaman dan nol pengetahuan puitik dengan produk final berupa bahasa, maka karya Malna adalah yang berada-di-antara, yang ia lakukan dengan sadar.

Malna manganggap bahasa bersifat imaterial, medan utama di mana ragam pengalaman fisikal maupun traumatik merumahkan dirinya. Adalah mungkin untuk selalu dipertentangkan perannya sebagai representasi, sekaligus dimungkinkan untuk seorang penyair agar tak melulu bekerja “di dalam bahasa”. Dalam Buka Pintu Kiri misalnya, puisi melibatkan tubuh penyair dan membuka kemungkinan penciptaan puisi di mana bahasa ditempatkan sebagai medium eksternal: puisi sebagai praktek penciptaan “sebelum atau sesudah bahasa”. Dengannya, sifat kerja representasi puisi dalam medan bahasa cenderung berlangsung di luar kaidah-kaidah bahasa (Malna, 2018, hal. 9). Cita rasa estetik bergeser, semula mengarah pada bentuk dan konten, menuju ke arah proses mencipta yang bahan bakunya dicomot dari puing-puing reruntuhan bahasa, dari data. Nubuat ini telah Malna bubuhkan dalam puisi berjudul Algoritma Snowden. Katanya, “Data adalah estetika.”

Lebih lanjut, dalam esai bertajuk Sastra dan Pabrik Pembatalan Aku, (Media Indonesia, 6 Januari, 2013), Malna mengajukan semacam pembaruan atas pengayaan sang aku yang justru harus bertolak dari luar sejarah linear. Baginya:

linearitas itu mengonstruksi ruang sastra hanya sebagai dua dimensi seperti ruang dalam foto; objek dan latar. Objek berusaha mendapatkan riwayatnya melalui latar. Seolah-olah latar mampu membuat bayangan baru terhadap objek, padahal tidak. Ia dicetak dan berlalu. Latar yang mengeksternalkan objek berada dalam representasi mimesis, lalu mengeksternalkan ruang-waktu. Identitas bentuk (estetika) menjadi syarat reproduksi ruang (sastra).

Bahwa aku tak lagi terbit dari narasi yang berundak akibat ‘pembesaran sejarah’ yang penuh hiruk-pikuk dan kekaburan selain reproduksi belaka. Menjadikan aku yang melulu tergantung pada latar, pada semacam mazhab atau tradisi dan genre. Sastra yang diharapkan mampu melawan arus justru menjadi bagian dari eksternalisasi kebudayaan dan kehilangan pertanyaan untuk dirinya sendiri. Sastra kemudian hanya hidup sebagai media representasi latar. Bentuk sebagai identitas, bahasa sebagai aksioma. Malna melanjutkan dengan menyebut bahwa reproduksi yang demikian “posisinya bahkan lebih rendah daripada bahasa. Sebab, bahasa tidak bekerja di tingkat representasi latar.”

Eksperimen dalam Penyair Sebagai Mesin kiranya dapat disejajarkan dengan upaya Malna di atas. Penyair Sebagai Mesin, yang salah satu pokoknya hendak mengangsur pondasi bagi mereka yang tak memiliki sejarah akan apapun selain melankolia dan kebaperan hit et nunc. Mengadvokasi mereka yang bukan siapapun untuk menjadi dan mengalami kemenjadian. Untuk membangun kosmologi aku ‘yang di sini’ tanpa perlu berhutang pada ‘yang di sana’. Sayangnya, pada Malna upaya ini seolah hendak meratapi kepulangan institusi kuratorial yang efeknya seperti pisau katana. Di satu sisi mampu mendemokratisasi sang aku, di sisi sebaliknya malah tak ubahnya suatu perayaan akan kegenitan intelektual (baca: sastrawi) yang tercerabut dari pembacaan publik dan kritik yang bernas akan reproduksi objek-objek kapitalisme. Meski demikian, Malna merevisi pandangan tersebut lewat Festival Puisi Jelek (2021). Selain kebingungan, hasilnya pun sesuai dengan namanya.

Baik Malna dan AI dalam Penyair Sebagai Mesin sama-sama menghadirkan pengalaman estetik yang terdeformasi. Aktivitas membaca dan mengalami puisi para Penyair Lain itu dapat menghadirkan sensasi yang janggal. Seperti muda-mudi yang pengalaman estetiknya setelah mengenakan busana block core terganggu akibat mengetahui bahwa Ucup Bajaj Bajuri telah lebih dulu mengenakannya dalam keseharian tanpa sama sekali motif untuk terlihat modis. Sensasi itu, perasaan dan pengalaman tersebut akan tetap tinggal, hanya bentuk daripada sensasinyalah yang mengalami deformasi.

Analogi yang menarik dipaparkan Žižek dalam Sex and the Failed Absolute (2019) lewat topologi Botol Klein. Sebagai objek yang permukaannya tidak dapat diorientasikan. Botol Klein dalam matematika adalah manifold dua dimensi yang sistemnya tidak dapat didefinisikan secara konsisten untuk menentukan bidang vektor. Secara informal, Botol Klein adalah permukaan satu sisi yang, jika dipersepsikan, dapat berbalik ke asal mula dimulainya titik vektor. Sedang dalam bentuk tiga dimensinya, Botol Klein dapat mengaburkan mana bagian interior dan mana bagian eksterior; paralaksnya adalah yang mana isi (content) dan mana yang merupakan bentuk (form).

Ide dasarnya adalah terdapat kesenjangan epistemik yang memisahkan dunia fenomena (objek-objek) dari sesuatu yang an-sich. Ontologi paralaksis ini adalah interpretasi Žižek terhadap argumen Hegel bahwa substansi menunjukkan dirinya sendiri sebagai subjek. Yang absolut pada yang partikular. Bahwa aku-lirik yang merindukan kekasihnya di seberang pulau itu adalah aku yang mengalami, aku yang berpuisi, aku sebagai sang penyair. Suatu kondisi yang diandaikan lahir dari semacam intellectus archetypus.

Sebaliknya, Žižek malah merenungkan tentang mustahilnya intellectus archetypus, yaitu mustahilnya akses langsung ke ranah noumena. Kemustahilan yang merupakan conditio sine qua non dari kebebasan subjek sebagai agen. Kesenjangan antara penampakan dan yang an-sich, karena konstitutif dari kebebasan subjek. Jika substansi adalah subjek, kesenjangan tersebut tetap merupakan konstitutif dari subjek yang diontologikan beserta otonominya. Ini adalah kesenjangan paralaksis dalam substansi yang mengarahkan Hegel, menurut pandangan Žižek, untuk menolak gagasan intellectus archetypus, yaitu pemahaman ilahiah, morale luminaire, yang menjurus pada subjek tanpa kesenjangan paralaksis.

Pada saat yang bersamaan, kita dapat menghubungkan ketidaklengkapan ontologis ini dengan abstraksi yang diperlukan bukan sebagai fitur pemikiran manusia yang unik dan puitik, melainkan “sebagai fitur paling dasar dari realitas itu sendiri yang kesatuan organiknya selalu dan secara definitif telah hancur” (Žižek, 2019, hal. 343). Jika realitas, dengan kata lain, tidak pernah sepenuhnya lengkap, upaya kita untuk memikirkannya selalu akan menghadapi abstraksi yang dipahami dalam istilah Hegelian, sebagai “kelebihan negativitas abstrak yang tidak dapat disublasi ke dalam totalitas konkret” (Žižek, 2019, hal. 345).

Konsekuensinya, surplus negativitas abstrak itu cenderung menggiring kita untuk membacanya sebagai patologi bahasa. Sebagai efek dialogis yang tak terhindarkan dari ketiadaan yang-sakral atas apokalipsnya realitas. Bahwa perasaan estetik dalam seni dan berkesenian lahir akibat tak lagi hadirnya kesakralan sebagai jangkar subjek dalam semesta simboliknya. Bila demikian, maka masuk akal puisi mantra Sutardji Calzoum Bachri dapat menyeruak ke permukaan; tema religiusitas dalam puisi terasa jauh lebih religius dan sublim tinimbang ayat-ayat kitab suci. Bahwa “teori bulu kuduk” Acep Zamzam Noor mengenai apa yang estetik dan yang biasa saja dapat diganti tempatnya menjadi apa-apa yang terkesan religius.

Memangnya, mengapa yang-sakral bisa hilang? Modernitas, sejauh yang dapat kita pahami, bukan hanya menelurkan kebolehan subjek atas penguasaan akan alam lewat serangkaian techne-sentris. Konsekuensi lanjutnya, pemaknaan atas dunia eksternal subjek itu bukan lagi dalam kerangka antroposen melainkan omnipresen. Apa yang semula diasalkan dari alam dan diejawantahkan sebagai hal yang ilahiah–tak terbingkai bahasa—perlahan luntur dan posisinya jatuh menjadi eksternalisasi subjek. Bahwa sesuatu yang semula dimaknai sebagai ilahiah pun hanyalah efek mekanis dari semata omnipresen. Nenek moyang kita masih bisa berpendapat bahwa ilahi adalah kausa prima, dan tindakan kesakralan adalah representasi dari ketundukan. Kini, kita dengan ironi dapat berkelakar: Manusia adalah kausa prima, mengatasi segalasanya, omnipresen, omnibus.

Oleh karena itu, kredo puisi Sutardji di tahun 1973 dapat dibaca sebagai penanda klimaks: “Kata-kata bukanlah alat untuk mengantarkan pengertian… Kata-kata haruslah bebas dari penjajahan pengertian, dari beban ide. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauannya sendiri (Sutardji, 1973, dalam pertemuan yang digelar Bengkel Puisi Swadaya Mandiri (BPSM), 30 Maret 1973). Tak berhenti di situ, Sutardji kemudian melanjutkannya sebagai berikut, “…menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantra.”

Hal di atas dapat merujuk pada garis melintang dalam barred subject Lacanian, bahwa subjek ≠ objek. Dalam arti ini, garis melintang merupakan konstitutif dari subjektivitas, untuk apa yang Lacan terakan pada yang Freud sebut sebagai Ur-Verdraengung, sebagai represi primitif, dan bukan penekanan ke-dalam-unconscious dari konten yang ditentukan tetapi pembukaan rongga yang kemudian dapat diisi oleh konten yang direpresi. Untuk menjelaskannya secara singkat, subjek (datang) diinterpelasi, interpelasi gagal, dan subjek adalah hasil dari kegagalan ini (Žižek, 2019, hal. 370). Gerak pembukaan rongga yang dapat diisi oleh konten yang direpresi itulah representasi Botol Klein, yang mengambil paralaks sebagai penekanan ke-dalam-unconscious.

Penyair flamboyan Oscar Wilde dalam The Critic as Artist menulis “Man is least himself when he talks in his own person. Give him a mask, and he will tell you the truth.” (Wilde, 2019, hal. 34). Bahwa orang tidak sepenuhnya menjadi dirinya ketika ia bicara atas nama dirinya. “Berilah ia topeng maka ia akan mengatakan kebenaran”, katanya. Menyampaikan apa yang sesungguhnya terdapat pada subjek adalah sesuatu yang mengerikan, yang monstrous, aspek traumatik yang selalu gagal terbahasakan. Dengan meminjam topeng, menjadi yang-lain atau menjadi mesin, mendeteritorialisasinya, ibarat merekahkan rongga yang kemudian bahasa mengambil bentuk-bentuk penanda, bentuk-bentuk identifikasinya.

Hal serupa yang yang membuat Martin kecele, adalah dengan mengutip penyair modernis Amerika, T.S. Eliot, “Puisi bukanlah pelepasan emosi, melainkan pelarian dari emosi; bukan ekspresi kepribadian, tapi pelarian dari kepribadian”, dan berhenti sampai di situ. Ia tidak melanjutkan bahwa, “Tapi, tentu saja, hanya mereka yang memiliki kepribadian dan emosi yang paham apa artinya ingin lepas dari hal-hal ini”. Pelepasan akan kepribadian dalam T.S. Eliot adalah motif yang serupa dengan topengnya Wilde. Bahwa proses menuju bahasa, apalagi puitik, adalah proses yang deteritoritatif ke dalam untuk menjadi ke luar.

Hanya gara-gara apa yang dianggap sebagai makna, sebagai isi itu terlampau bombastis, gagasan terlampau mengilap sehingga membuat silau dan jeri para pembaca, kita seolah boleh mengabaikannya dengan berceloteh: puisi ini terlalu berat; terlalu politis; puisi ini seperti pamflet. Sebaliknya, hanya karena bentuknya begitu indah, tampakannya begitu memesona, sublim, obskur, kita seolah terbius: puisi ini indah dari bentuk, bahwa bentuk yang paling pertama dirasakan dan bukan makna. Kedua contoh pendekatan di atas merupakan gejala paralaksis.

Itu sebabnya asosiasi bebas Freudian selalu mencurigai subjek yang dapat dengan tenang merepresentasikan yang traumatik dengan bahasa rapi dan terstruktur jika bukan bagian dari mekanisme paralaksis Botol Klein. Bahwa content yang traumatik dapat mendeformasi bentuk. Bukan hanya pembacaan yang telaten dapat mengungkai isi (content) berkat cangkang-cangkang semantik yang dikuliti, melainkan dapat meneroka bahwa jangan-jangan isi hanyalah gejala daripada bentuk, bahwa jangan-jangan bentuk adalah isi itu sendiri. Pada titik ini tak heran mengapa korpus Malna sukar direpro dan diayak sebagai Malna Lain melainkan Malna itu sendiri.

Yang mengerikan adalah bukan aku-mesin sebagai aku-subjek hasil kegagalan interpelasi, melainkan efek dialektisnya yang justru beresiko untuk mengalami pembalikan, dari yang semula tubuh-tanpa-organ menjadi organ-tanpa-tubuh. Organisme papa yang berkembang di luar kendali aparatus kesadaran, di luar terang otonomi subjek. Žižek memberi contoh yang menohok dalam hal ini, misalnya, bagaimana jika superkomputer yang dijalin ke sel-sel otak Stephen Hawking yang hanya merespon jika diberi perintah sederhana guna membantunya beraktivitas itu justru memerintah balik tuannya?

Babak 2: Melihat AI Bekerja

Studi terbaru dari University of Montana menunjukkan bahwa AI dapat mengungguli manusia dalam tes kreativitas. Penelitian ini menemukan bahwa ChatGPT mampu menandingi satu persen responden teratas pada tes kreativitas standar. Studi ini menggunakan Tes Kreativitas Torrance (TTCT), sebuah alat yang umum digunakan untuk menilai kinerja ChatGPT. Para peneliti tersebut mengajukan delapan pertanyaan ke ChatGPT dan mencatat tanggapannya, sekaligus mengumpulkan tanggapan dari 24 mahasiswa/I Universitas Montana. Membandingkannya dengan tanggapan dari 2.700 responden dari seluruh negeri yang mengikuti TCCT, untuk dinilai oleh Layanan Pengujian Akademik yang tidak mengetahui respons AI yang dinilai.

TTCT terdiri dari dua penilaian yang berbeda, penilaian verbal dan penilaian grafis. Keduanya mengukur pemikiran divergen, proses berpikir yang digunakan untuk menghasilkan ide. Dalam penilaian bahasa, peserta tes memberikan gambar dan/atau petunjuk lisan dan meminta tanggapan tertulis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kreativitas jawaban AI sebanding dengan responden paling kreatif yang mengikuti tes. ChatGPT mengungguli sebagian besar responden dari seluruh negeri. Eric Guzik, asisten profesor di University of Montana, menyambut temuannya dengan berpendapat bahwa AI dapat membantu menerapkan pemikiran kreatif pada proses bisnis dan inovasi.

Pertanyaannya, bukankah hal demikian telah menghegemonik dan menuju pada monokultur, menenggelamkan kekhasan dan ke-lain-nannya, yang lazim ditemukan berkat algoritma media sosial belakangan ini? Bahwa dataraya hanyalah semacam alat ideologis, semacam aparatus ideologis belaka yang menekan aneka keliyanan yang, meminjam Malna, hanya mencuplik latar belaka guna menjadikannya bangunan tiga dimensional dengan kesan-kesannya yang kontekstual? Tak heran mengapa Writers Guild di 2023 selain menuntut sistem kerja dan upah yang layak, mereka pun menolak penggunaan AI untuk menggantikan labor. Bahwa AI sah hanya sebagai alat, bukan tujuan.

Apa yang dilakukan Moretti dan Martin sebenarnya hanyalah respon dari penguasaan atas alat, atas techne. Keduanya terpukau oleh alat. Bila alat utamanya berubah dalam suatu proses, maka suasana dan nuansa dari hasilnya pun berbeda bentukan satu dan lainnya. Bahwa tetap saja modus produksi memberi kita determinasi relatif atas aneka corak ekspresi kultural. Bila Martin memilah konjungtur berdasar peristiwa sejarah, maka di bawah ini saya ajukan satuan generasi yang mengondisikan sebuah karya puisi dapat terlahir. Generasi Mesin Tik pernah merasakan Generasi Tulis Tangan pada Kertas, namun belum tentu mahir untuk memperbaharui alat produksinya–sebagai mesin itu—untuk sepenuhnya menjadi Generasi Smartphone. Generasi Komputer pernah mencicipi mesin tik namun belum tentu mau (dan mampu) menggunakan laptop untuk berkarya. Begitu seterusnya.

  1. Generasi Tulis Tangan pada lontar atau kulit pohon dan hewan: Penyair Babad Tanah Jawa
  2. Generasi Tulis Tangan pada kertas: Shakespeare
  3. Generasi Mesin Tik: Remy Sylado, GM, Wiji Thukul, dll.
  4. Generasi Komputer: Afrizal Malna, Hasan Aspahani, dll.
  5. Generasi Laptop: Dea Anugrah, Aan Mansyur, dll.
  6. Generasi Smartphone: Berto Tukan, Rintik Sedu, Tere Liye, dll.
  7. Generasi AI: Mikael Johani, Dadang Ari Murtono, Martin Suryajaya

Pertanyaan yang sejatinya dapat dijawab dengan sederhana menyoal, mengapa Martin mengoplos generasi yang sempat mengalami kekhawatiran ihwal sejarah sastra hingga melahirkan aneka polemik kebudayaan, dengan generasi yang, dalam taraf tertentu, terkesan masa bodoh dan cenderung memberi rasa khawatir tambahan tentang masa depan sastra? Untuk mengatasi kesenjangan tersebut Martin mengajukan argumen yang memisahkan antara kreatifitas dan ketidak-kreatifan dalam suatu penciptaan.

Misalnya dalam Aku Auto Complete karya Mikael Johani, didapati puisi yang bisa dibilang hasil kolaborasi antara pantikan sang penyair berbekal “Aku” Chairil Anwar, dengan usulan keempat yang disugesti google auto complete tiap kali kata pertama dari setiap baris puisi “Aku” dimasukkan ke kotak pencarian. Tentu kita dapat melanjutkan keisengan ini. Misalnya dengan menggunakan InferKit, dan mengambil baris pertama lirik Barisan Nisan karya Homicide. Saya meng-auto-komplitkannya dengan parameter nucleus sampling top 0,9 dan sampling temperature 1. Hasilnya sungguh di luar nurul:

Matahari terlalu pagi mengkhianati
jualan iklim dengan produk lain yaitu santri,
pick-up yang kini dipertingkat ke jalur kekuatan tangguh
penerbangan. Pada Januari 2014, Matahari memperkirakan
total volume tahun lalu bertahap mau ber.

Sekali lagi, sungguh kreativitas yang berada di luar nurul. Kreativitas yang kini seolah memasuki wahana baru yang dikokohkan dengan demokratisasi medium ekspresi. Lewat Tiktok dan Youtube kreativitas dirayakan, Ridwan Kamil menjuduli Bandung sebagai Kota Kreatif, sementara negara membuatkan kementerian kreatif lengkap dengan tukinnya. Selama berkenaan dengan ekspresi artistik, Martin menganggap bahwa kita tak lagi kekurangan kebebasan (Suryajaya, 2023, hal. 417). Pernyataan yang tentu saja ngawur. Adakan saja pameran karya-karya perupa LBTQ+ atau festival puisi-puisi kiri dari para penyair yang kidal. Argumen Martin tersebut valid bila dalam satu atau dua hari perhelatan itu tak disatroni antek-antek fundamentalis. Minimal tidak didatangi tukang cuanki berbekal HT.

Martin hanya menyarankan untuk memulai suatu penciptaan yang non-kreatif atas apa yang menjadi sumber problem keakuan dalam puisi, yakni dengan pemisahan antara kesenian dan keakuan, dan pemisahan antara kesenian dan kreativitas (Suryajaya, 2023, hal. 418). Pendekatan tersebut dijamin mampu memisahkan diri si penyair dengan bahan sekaligus buah karyanya. Ia mencontoh karya-karya heteronim Fernando Pessoa dan Nirwan Dewanto meski tanpa menjalankan pemisahan antara kesenian dan kreativitas, dan keduanya belum dapat dikata berhasil untuk tidak kreatif. Apa yang dimaksud dengan non-kreatif di sini sesungguhnya merujuk pada semacam constraint atau batasan-batasan sadar yang oleh seorang penulis pilih dalam proses pengkaryaan, misalnya pada gerakan Ouvroir de Littérature Potentielle (Oulipo) atau gerakan L=A=N=G=U=A=G=E. Wabil khusus Penyair Sebagai Mesin, sebagaimana telah dilancarakan oleh Franco Moretti, pembatasan itu oleh Martin lakukan dengan sadar lewat parameter-parameter teks generatif.

Alangkah mengasyikkan bila penyair dapat dengan sadar, dalam kewaskitaan otonomnya, mengatur batasan dan parameter dalam proses pengayaan teks. Betapa antusiasnya berproses bilamana penulis mampu memilih apakah hendak menulis novel tanpa huruf E atau tanpa kata kerja sekalipun. Kemudian mengandaikan bahwa produk daripada saripati intelektualitasnya itu bebas dari bias antroposen, dari hantu-hantu subjektivitas, dan karenanya aman untuk dikonsumsi secara mana suka oleh khalayak sastra. Akan tetapi bagaimana jika skenarionya demikian: seorang hipnoterapis, sebut saja Uya Kuya, menanamkan perintah sugestif pada Saut Anugrah, sang pasien yang mengalami fobia kecoa. Saut Anugrah yang telah terhipnotis diberi perintah untuk tidak takut lagi pada kecoa, dan dalam hitungan 3-2-1 ia pun terbangun. Seketika Uya Kuya memberinya kecoa, Saut Anugrah kita merasa biasa-biasa saja dan tak menunjukkan ketakutan sama sekali.

Kita dapat mengganti ‘kecoa’ itu dengan fobia puisi jelek, misalnya, atau dengan fobia manikebu, dan mengganti Uya Kuya dengan Instagram, atau dengan basis material dan corak produksi buruh pabrik sepatu. Pertanyaannya kemudian, bagaimana jika constraint itu, batasan-batasan serta parameter-parameter itu sudahlah tertanam lebih dulu dalam diri penulis sebagai yang traumatik dan terepresi, yang bahkan tak disadari sepenuhnya ketika ia tengah berkarya? Tidakkah batasan-batasan itu telah secara inheren tertinggal dan mengendap dalam diri subjek, mendeformasi pengalaman estetiknya, dan mengganggu kestabilan bentuk daripada isi? Jangan-jangan, kondisi ini yang benar-benar merujuk pada kondisi pascamanusia sesungguhnya. Bahwa segala macam aktivitas rakit-merakit itu tak lain hanyalah kegagalan subjek terus-menerus, pembalasan aparatus algoritmik yang meregulasi aneka tindak-tanduk kepenulisan, baik prosa maupun puisi.

Meski demikian, kita dapat mengakui penulisan jarak jauh memang masih terbilang baru dalam konteks kritik sastra Indonesia. Pembacaan Martin atas konjungtur ini sedikit banyak memberi kita nuansa ‘kebaruan’ atas temperamen sastra Indonesia. Ia menafsir ulang kanon-kanon puisi yang bentuknya telah ter-disassembled dengan melakukan reassembly “teknis” untuk menerakan kisah baru padanya. Tidak kita temukan, misalnya, Sia-Sia Chairil dalam pembacaan semiotis berdasarkan ikon, indeks, simbol, makna denotatif/konotatif, yang toh apa yang diungkai tak lain menyoal dua orang yang mengalami kesia-siaan dalam percintaan. Martin mengusung hal lain yang memperkaya penglihatan kita atas horizon karya sastra Indonesia.

Terlepas dari kesan kebaruan itu, upaya ini tentu saja semakin meneguhkan bahwa institusi sastra akademik, di Indonesia khususnya, terbilang usang. Padahal, konteks perakitan (assemblege) Deleuzian yang melandasi penelaahan Martin dalam kekaryaan itu telah disinggung Subagio Sastrowardoyo di tahun 1998 dalam seminar Menjelang Teori dan Kritik Susastra yang Relevan yang diadakan di Padang (Hae, 2021, hal. 57). Ia mengemukakan keresahan akibat efek teori kesusastraan yang dilancarkan para akademisi tak pernah terasa konkret. Seperti halnya apa yang dikerjakan Michael Riffaterre misalnya, ahli semiotik yang kacamatanya acap dipinjam-pakai di Indonesia menyoal Stéphane Mallarmé. Subagio berpendapat bahwa wadah dari kesusastraan (literariness), sekurang-kurangnya, dapat disebut bila kesusastraan itu terwujud dalam puisi, mampu mencapai titik di mana puisi itu merupakan suatu bentuk yang sama sekali kosong dari pesan dalam arti yang biasa, tanpa emosi, nir-moral, sonder filsafat. Bahwa puisi dibolehkan sebagai eksperimen teks generatif.

Di momen yang demikian pembacaan sekaligus penulisan jarak jauh terasa diperlukan guna mengatasi kemarau kritik sastra (dan karya sastra). Suatu pokok yang sama penting dengan pembacaan dekat itu sendiri. Tidak mungkin bagi keduanya untuk saling mengungguli dan memberi validitas antar satu sama lain. Keduanya sama penting untuk sebuah pembacaan yang lebih jauh dari pembacaan jauh itu sendiri, yakni sebagai pembacaan politis yang personal, agar kita tak serta-merta kehilangan hak prerogatif dan cengkeraman akan realitas konkret di bawah desakan dataraya algoritmik yang pasar-sentris.

Barangkali, ini yang hendak disasar Herbert Marcuse dalam Essay on Liberation menyoal Sensibilitas Baru itu, sebagai jawaban atas kondisi estetika pascamodern, sejak pasticheparodikitschcamp-skizofrenia dalam menyosongsong post-human. Tentang bagaimana sejatinya produksi bertransformasi menjadi kreasi. Bahwa Phyton dan Omeka sama pentingnya dengan post-kolonial atau strukturalisme sebagai alat kritis yang dapat menguar pelbagai kemungkinan tak terbatas baik dari proses berkarya maupun hasil daripadanya.

Jika demikian, sudah seharusnya kritik sastra tak lagi dianggap sebagai suplemen belaka, sebagai eksponen belaka dari bunga rampai kesusastraan Indonesia, melainkan sebagai sastra itu sendiri. Harapannya sederhana: kita tak perlu lagi menggunakan formula bulu kuduk untuk bergidik menyaksikan Rupi Kaur membacakan puisinya. Sebab hak prerogatif itu rasanya tak lagi memiliki semacam otonomi, malahan terkesan paradox. Sastra, secara institusi akademik, kini berada di bawah Fakultas Ilmu Budaya. Suatu keadaan yang seolah-olah mengamini kemenangan teori kajian budaya, atau cultural theory, yang mana sastra menjadi bidang yang tak luput untuk dibungkus ke dalamnya.

Bila pembacaan dekat yang setia pada tradisi konvensional kritik sastra secara fakultatif berada di bawah ilmu budaya, yang berujung pada humaniora, apakah humaniora digital mampu mengadakan penyegaran atasnya sekaligus memberi demarkasi yang jelas tentang sastra? Sebaliknya, apakah kritik sastra dapat menjawab Sastra (dengan ‘S’ besar) yang kini saling berjalin-kelindan dengan aneka kebaruan teknologi digital sebagai piranti berkarya?

Atau malah, ragam kebaruan teknologi sebagai moda berkarya itu, gelagatnya sama saja dengan apa yang terjadi sejauh perkembangan sastra dan seni di Indonesia pada umumnya. Yang tak lain sebagai lintasan, sebagaimana seni rupa dapat terus melintas saat bertemu moda kreasi bernama desain grafis pada tahun 1950-an sampai 1999; bertemu NFT Ghazali, untuk kemudian dipertemukan lagi dengan Midjourney di tahun 2022. Begitupun dengan sastra, melintas zaman dan berpapasan dengan sastra siber di awal 2000-an, bertemu Fiksimini di tahun 2010, dan kini berhadapan dengan AI.

Pertanyaannya tentu saja, apakah kita sesungguhnya benar-benar membutuhkan AI sebagai alat berkarya, khususnya dalam konteks sastra? Sama halnya dengan sastra cetak keredaksionalan vis a vis sastra siber yang lebur dengan sendirinya. Sama lebur dengan seni rupa, tentang mana yang konvensional, setengah digital, atau seluruhnya dibuat oleh mesin. Menggiring perupa atau penulis menjadi sebatas kurator dari kata, warna, garis, dan nuansa. Tak ada kebaruan. Bermain-main di era digital menjadi similar dengan praktik setengah asketik, untuk tidak mengatakan seutuhnya kembali ke era para penulis Babad Tanah Jawa.

 

Sumber Gambar Muka: Poetry Machine, Palmerston North City Library

Pustaka:
Deleuze, Gilles, & Guattari, Felix. (2005). A Thousand Plateus: Capitalism and Schizophrenia (Brian Massumi, Trans). Minneapolis: University of Minnesota Press.

Hae, Zen. (2021). Sembilan Empat Lima. Yogyakarta: Penerbit JBS.
Johani, Mikael. (2014). aku auto complete. Divagyrations
Kellner, Douglas. (2001). Herbert Marcuse dalam Turner, S & Anthony  (Ed), Profiles in Contemporary Social Theory, London: Sage Publications.
Malna, Afrizal. (2018). Buka Pintu Kiri. Yogyakarta: Diva Press.
Malna, Afrizal. (2019). Sastra dan Pabrik Pembatalan Aku. Media Indonesia, 6 Januari, 2013.
Marcuse, Herbert. (1969). An Essay on Liberation. Source: libgen.
Sammer, Kate. (2023). How AI Took Center Stage in the Hollywood Writers’ Strike. CNBC.
Shimek, Cary. (2023). UM Research: AI Tests Into Top 1% for Original Creative Thinking. University of Montana 
Suryajaya, Martin (2023). Penyair Sebagai Mesin, Sebuah Eksperimen dalam Penulisan Jauh dan Sejarah Lain Puisi Indonesia. Jakarta: Gang Kabel.
Wilde, Oscar. (2019). Critic as Artist. LA, London: David Zwirner Books.
Žižek, Slavoj. (2019). Sex and the Failed Absolute. London: Bloomsbury.

 

Catatan Editor:
Artikel ini tidak sepenuhnya merefleksikan opini editor ataupun direksi antimateri. Penulis dapat dihubungi melalui email: f.ilham.satrio@gmail.com

Share on:

Leave a Comment