Vanity of Vanities, all is Vanity
(Ecclesiastes 1:2)
Memasuki abad ke 16 dan 17, Belanda dan ‘negara bawah’ lainnya (mengacu pada Luxemburg dan Belgia), berada pada puncak kejayaan. Bagi seorang yang sedikitnya pernah membaca buku sejarah, pasti tahu sebabnya: Belanda memonopoli rempah dari pulau-pulau di Nusantara, sedangkan Antwerp (Belgia) adalah pusat perbankan Eropa menggantikan London yang bangkrut karena kurang mampu mengimbangi lonjakan aktivitas finansial saat itu. Namun tidak banyak yang tahu bahwa dari kekayaan, kemewahan serta kenyamanan yang melimpah, lahir sebuah aliran seni lukis yang menjadi oposisi biner dari geliat kehidupan dengan segala bentuk gairahnya. Aliran tersebut dikenal dengan istilah Vanitas – sebuah genre seni lukis yang sarat dengan simbol kematian dan segala bentuk kesia-siaan hidup. Kini lukisan vanitas dikenal luas akan pengaruhnya pada aliran seni lukis simbolisme dan still life (objek tidak hidup). Namun pada abad 16, vanitas memiliki arti lebih dari sekedar gaya atau perspektif [lukis]. Agama adalah salah satu alasannya; residu perang agama (Katolik dan Protestan) satu abad sebelumnya masih menggema dalam ingatan. Hal ini menyebabkan alusi-alusi seni dalam vanitas begitu intens. Vanity of Vanities, all is Vanity, adalah penegasan Protestan atas bentuk kontemplasi diri yang bersinggungan dengan realita –bukan melalui kisah orang suci atau keajaiban surga. Dengan kata lain, lukisan vanitas merupakan sebuah kontemplasi diri yang tertuang di atas kanvas. Adapun simbol yang lajim ditemukan dalam lukisan vanitas antara lain: (1) Tengkorak menyimbolkan memento mori, bahwa hidup hanyalah singkat; (2) Lilin sebagai representasi jiwa manusia; (3) Buku menyimbolkan pengetahuan manusia yang tidak akan berpengaruh apapun ketika kematian tiba; (4) alat musik, menjadi lambang kenikmatan duniawi; (5) Buah yang membusuk menyimbolkan waktu yang perlahan dan usia menua; dan (6) jam atau penanda waktu lainnya yang merupakan simbol atas batas waktu seorang manusia. Melalui eksposure akan hal-hal diatas, lukisan vanitas dimaksudkan untuk menyoroti kerapuhan dan kefanaan hidup manusia, sekaligus menekankan arti dari kekosongan dan ketidakberartian harta duniawi. Namun, terlepas dari interpretasi keagamaan, lukisan vanitas juga memiliki kekuatan tajam dengan membentuk narasi. Di pengaruhi oleh sang maestro realisme Belanda Vermeer, lukisan vanitas memiliki ketajaman dalam menampilkan objek sehari-hari layaknya Vermeer (walau harus diakui bahwa para pelukis vanitas mampu membedakan diri dengan realisme Vermeer melalui eksposisi chaos dan disorder yang juga melambangkan kesia-siaan tatanan dan aturan). Barolsky adalah salah satu diantara pengamat seni lukis yang bersikeras mengapresiasi lukisan vanitas berdasarkan kualitas, dan bukan moralitas. Ungkapnya: “When in overly moralized interpretations we reduce such paintings to pictorial sermons on vanity, we fail to grasp adequately the ambiguous wholeness of these images, which prompt us to reflect not upon mortality alone, but upon the ways in which life and death define each other”. Dengan memandang lukisan sebagai lukisan itu sendiri (dan bukan bagian dari kitab suci), maka karya maestro vanitas – antara lain: Jan Davidsz de Heem, Pieter Claesz, Willem Claesz Heda, Maria van Osterwijck, atau David Bailly–muncul dalam bentuknya sendiri untuk memberikan narasi tentang realita. Dan nampaknya para maestro tahu, bahwa tidak ada realita yang lebih meminta perhatian, selain daripada kematian.
Lukisan Vanitas (beberapa diantaranya)
Sumber Gambar: Wikipedia commons
Sumber Bacaan:
Adams, A. J. (2013). The temporality and the seventeenth-century Dutch portrait. Journal of Historians of Netherlandish Art, 5(2), 1-30.
Barolsky, P. (2007). Vanitas Painting and the Celebration of Life. Notes in the History of Art, 26(2), 38–39.
kontak via editor@antimateri.com