Ketika Sang Imam berbagi Ruang dengan Picasso dan Bacon

Gambar Muka:
A portrait of Ayatollah Ruhollah Khomeini faces works by the late artist Francis Bacon
(Atta Kanare/Getty Images via BBC)

Ada persoalan menarik yang luput dari perhatian di balik pemberitaan tentang Iran belakangan. Tentu saja, perang adalah institusi sosial paling brutal yang harus dibicarakan–namun, kebiasaan buruk saya yang selalu mencari celah untuk menelisik seni (baik dalam bentuk visual, audio, ataupun literatur), menghantarkan pada sebuah kontradiksi unik di tahun 2024, yaitu dibukanya pameran mahakarya para maestro dunia di Tehran Museum of Contemporary Art. Hal ini mengusik rasa penasaran, karena dibalik ekskalasi ketegangan kawasan dan gencarnya narasi anti-barat yang digaungkan Imam Besar Khamenei, kurasi Museum di Tehran menampilkan jajaran lukisan-lukisan yang notabene adalah puncak pencapaian seni polar opisisinya.

Sebagai upaya menghilangkan rasa penasaran, dua pertanyaan dilontarkan sekenanya sekedar mencari jawab: Siapa yang berada di balik kepemilikan lukisan mahakarya dunia tersebut? Dan narasi apa yang ditawarkan oleh pameran ‘seni Barat’ pada publik Iran? Dengan mengandalkan sumber literatur (terbatas) pada mesin pencari otomatis dan jurnal ilmiah berakses terbuka, mari kita ulas rasa penasaran di atas satu persatu. Semoga saja, kepenasaran kali ini, tidak ‘membunuh si kucing’ :D.

Untuk menjawab pertanyaan pertama, mari kita buka kembali lembaran sejarah Iran pra-revolusi Islam di tahun 1979. Tersebutlah Farah Pahlavi, permaisuri dari Mohammad Reza Pahlavi–Syah terakhir dari monarki Iran–yang terkenal memiliki visi seni tingkat tingginya. Pada kisaran 1960 hingga 1970an awal, Farah merealisasikan visi seninya dengan dua fokus utama: membeli kembali artefak-artefak bersajarah Iran yang tersebar di tangan para kolektor dunia, dan membeli karya-karya maestro ternama untuk melengkapi koleksi museum dan galeri seni di Tehran (Norman, 1992). Atas upayanya, kritikus seni menyatakan bahwa Iran memiliki koleksi lukisan mahakarya terbanyak kedua setelah Amerika Serikat. Jumlah lukisan mahakarya yang tersimpan di Museum Tehran mencapai 300 lukisan, mencakup karya Claude Monet, Pablo Picasso, Jackson Pollock, Andy Warhol, Salvador Dali, Francis Bacon, dan banyak maestro lainnya. Hal ini merupakan merupakan upaya Farah demi menjadikan Iran sebagai kiblat seni di [dunia] Timur (Klose dan Steininger, 2024).

Visi seni Farah menjadi kenyataan, namun hanya dalam waktu singkat. Paska Revolusi Islam Iran, Ayatollah Ruhollah Khomeini yang membangun fondasi kebangsaan di atas prinsip Islam dan anti-barat, lantas melarang segala bentuk pameran seni yang bersebrangan dengan kedua prinsip tersebut. Terlebih mengingat dana nasional yang dihabiskan Farah untuk melengkapi koleksinya mencapai angka fantastis (US$ 2,8 Miliar), menjadikan pencekalan atas koleksi seni Sang Ratu, sebagai salah satu kebijakan populer bagi Rezim yang baru berdiri. Alhasil, ketika Farah dan keluarga monarki diasingkan, karya-karya maestro dunia dimasukkan dan dikunci rapat dalam lemari-lemari besi. Keputusan rezim untuk mengubur ratusan lukisan tersebut menjadi sebuah perlawan simbolis bagi ‘dominasi Barat’. Murphy (2005) menyebutkan bahwa selama hampir dua dekade, ruang arsip Tehran Museum of Contemporary Art menjelma laiknya arena pertarungan bawah tanah antara estetika dan ideologi dari dua dunia yang bersebrangan.

Dua puluh tahun sejak pencekalan, pada tahun 2005, jajaran mahakarya dunia mendapatkan kembali panggungnya melalui pameran bertajuk ‘Modern Art Movement’. Pemberitaan Murphy yang dimuat Los Angeles Times (2005) hanyalah satu dari rentetan berita tentang pameran ‘mengejutkan’ yang ditampilkan Tehran Museum of Contemporary Art pada Oktober 2005 tersebut. Pameran ‘Modern Art Movement’ bertujuan untuk membangun konektivitas komunitas seni Iran yang tengah berkembang, dengan dunia global. Penggagasnya adalah Mohammad Khatami, mantan Presiden Iran dari kalangan reformis yang senantiasa mendorong keterbukaan Iran, termasuk dalam dunia seni. Namun, upaya Khatami mendapat tentangan dari partai garis keras yang tengah berkuasa saat itu, sehingga pameran berlangsung dalam tekanan kompromis dan sensor ketat. Walaupun dibuka secara umum, kebanyakan pengunjung pameran adalah guru, dosen, dan mahasiswa seni di berbagai sekolah juga universitas di Tehran. Murphy (2005) memberikan pembacaan kritis, menurutnya tujuan pameran ‘Modern Art Movement’ sangatlah jelas, yaitu ‘untuk mengambil inspirasi, tanpa mengubah identitas seni [Iran]’. Hal ini tercermin dari proses seleksi lukisan yang dilakukan; menampilkan hanya yang sesuai dengan nilai sosial dan politik saja, sisanya dibiarkan teronggok di gudang.

Dua puluh tahun berselang, Tehran Museum of Contemporary Art mengadakan kembali pameran kontroversial serupa, kini berlangsung dua kali, ‘Above the Fields’ (Maret-Mei 2024) dan ‘Eye to Eye’ (November 2024-Januari 2025). Namun, tidak seperti pameran ‘Modern Art Movement’ yang berlangsung singkat tanpa menimbulkan riak berlebihan, kedua pameran di tahun 2024 memunculkan banyak spekulasi, khususnya ketika pameran dilaksanakan bersamaan dengan ekskalasi konflik di Timur Tengah dan meningkatnya ketegangan nuklir Iran-AS. Gagasan tentang ‘diplomasi budaya’ menjadi analisis salah satu yang ditawarkan–khususnya gagasan Wastnidge (2015) yang berpandangan bahwa Iran memiliki modalitas kuat sebagai mercusuar seni guna memperhalus gaya diplomasinya. Namun jujur saja, jawaban dari sudut pandang tersebut, sulit untuk diterima mengingat posisi Iran yang kerap berada pada poros oposan bagi ‘dominasi Barat’.

Sebagai sandingan, terdapat gagasan yang lebih masuk akal, khususnya dalam konteks narasi sosial politik rezim Islam Iran: bahwa seni memiliki posisi utama dalam narasi nasionalisme untuk membangun identitas kebangsaan (Ejgerdi, Saber, dan Maher, 2024). Pembacaan ini rasanya lebih memiliki bobot dalam menjelaskan rangkaian pameran kontroversial yang dilakukan Tehran Museum of Contemporary Art. Memajang lukisan potret Sang Imam berhadapan dengan lukisan Francis Bacon (panel kanan dari Two Figures Lying on a Bed with Attendants), merupakan simbol kesetaraan antara Timur dan Barat (Nersessian, 2025). Tajuk ‘Eye to Eye’ memberikan makna serupa, yaitu dialog budaya hanya akan berlangsung jika dilakukan dalam posisi yang setara; selain itu pameran dilakukan dengan bobot berimbang, dengan menampilkan 43 seniman Iran dan 53 mahakarya dunia. Dengan membaca narasi dan ‘gesture’ di atas, pandangan bahwa pameran di Tehran adalah glorifikasi ‘seni Barat’ dapat dibantah dengan mudah–karena yang terpampang adalah narasi nasionalisme yang dibalut dengan apik dalam instrumentalisme seni. Narasi ini mungkin hanya dapat kita temukan di Iran, dimana lukisan karya Monet tidak lebih magis dari karya-karya Kamal-ol-Molk, dan lukisan Warhol tidak lebih modern dari karya Mehdi Sahabi–juga tentu saja, keliaran Bacon harus bertatap muka dengan sakralitas Sang Imam.

Berikut adalah beberapa contoh lukisan mahakarya dunia yang dipajang pada Pameran Eye to Eye:  
Andy Warhol (Jacqueline Kennedy II, Mick Jagger, The American Indian (Russell Means), juga potret Mao, Marilyn Monroe, dan Farah Pahlavi)
Pablo Picasso (Jacqueline with a Headband, Weeping Woman III dan Portrait of a Woman II, Painter and His Model)
Vincent van Gogh (At Eternity’s Gate)
Francis Bacon (Two Figures Lying on a Bed with Attendants, Man Lying with a Statue)
Claude Monet (Suburbs of Giverny)
Henri de Toulouse Lautrec (Girl with Accroche‑coeur Hairstyle)
Salvador Dalí (Butterflies of Antimatter)
Roy Lichtenstein (Reverie)


Sumber Bacaan:
Ejgerdi, K., Saber, Z., & Maher, S. B.(2024). Analysis of Museum as an Institution in Relation to Nationalism Discourse in the Pahlavi Period based on the Opinions of Laclau and Mouffe: A Case Study of Museum of Ancient Iran, Carpet Museum of Iran, and Tehran Museum of Contemporary Art. SciJPH, 14 (27): 83-99
Farzane. (2024). Eye to Eye exhibition extended at the Tehran Museum of Contemporary Art. Visit Our Iran. 
Klose, A. & Steininger, B. (2024). Tehran Museum of Contemporary Art. dalam Atlas of Petromodernity,  hlm. 181-186. Punctum Books.
Murphy, K. (2005). Iran’s Secret Modern Art Treasure Chest. Los Angeles Times. 
Nersessian, A. (2024). Eye to Eye Art Exhibition in Tehran Showcases Western Masterpieces. BBC News. 
Norman, G. (1992). Mysterious Gifts from the East. The Independent. 
Wastnidge, E. (2015). The Modalities of Iranian Soft Power: From Cultural Diplomacy to Soft War. Politics, 35 (4-5). 

Share on:

Leave a Comment