Kamis lalu sebungkus paket tiba, isinya tiga buah buku, tapi hanya satu yang membuat hati berdegup. Buku itu berjudul “Tifa Penjair dan Daerahnja” karya Hans Bague Jassin, ditulis dalam ejaan lama dan diterbitkan Gunung Agung pada tahun 1965. Buku tua selalu membuat saya kagum – lembaran kusam dan coretan tangan pemilik sebelumnya adalah tanda bahwa ia punya cerita. Tentang bagaimana kemudian ia sampai dijual, sama sekali bukan urusan saya – namun satu hal yang pasti: buku adalah pertarungan gagasan dengan waktu sehingga kepemilikannya dalam bentuk fisik adalah sebuah kehormatan. Oleh karena itu, ketika paket datang kamis lalu, buku karya HB Jassin-lah yang mula-mula saya buka, dan ternyata keberadaannya bukan hanya memukau sebagai lembaran berharga, tapi juga berisi kristalisasi gagasan tentang sastra Indonesia – yang oleh kebanyakan orang saat ini, tidak diambil pusing.
Pada bagian pembuka, buku ini menghentak melalui kutipan Profesor Elsner yang meyakinkan muridnya, Chopin sang Pianis Polandia, untuk terus mengasah diri sebagai seorang komponis, ungkapnya “Berdjuanglah dengan senimu, seni musik, sehingga dunia dengan kagum mengatakan: Tidak, negeri yang mempunjai seni jang begitu besar, tidak boleh lagi didjadjah oleh negeri lain”. Kutipan ini diangkat tentu bukan tanpa sebab, HB Jassin yang dikenal sebagai kritikus sastra indonesia, tahu betul bahwa kekuatan kebudayaan mampu menggerakan apapun – termasuk tembok penjajahan. Tapi politikus (baik pada jaman ketika buku ini diterbitkan hingga saat ini) ternyata memiliki kecenderungan yang sama, yaitu kerap mengkerdilkan kebudayaan dengan menjadikannya sebatas seni tari di acara penyambutan tamu. Mereka seakan-akan menutup mata dan telinga, menolak untuk mengakui bahwa sebuah negara seharusnya merupakan penjelmaan akalbudi manusia. Gagasan ini adalah inti dari “Tifa Penjair dan Daerahnja”, dengan mengkaji berbagai aspek budaya, khususnya kesusastraan Indonesia, karya HB Jassin lantang menyuarakan bahwa sebuah bangun visi kenegaraan bukan hanya tentang pengaturan pertumbuhan ekonomi dan strategi pertahanan, tapi juga perihal kebudayaan.
Adapun peta kesustraan yang diurai oleh HB Jassin dalam buku ini mencakup gambaran sastra indonesia dari berbagai sisi: mulai dari permasalahan penerbit (yang ternyata menjadi salah satu pembahasan utama pada rapat umum kebudayaan tahun 1946), tentang aliran sastra di Indonesia (mulai dari romantik, naturalistik, ekspesionisme, realisme hingga surealisme), analisis sosial masyarakat dalam sastra (dengan mengangkat cerpen yang bertema permasalahan kelas sosial hingga kemungkinan terjadinya revolusi), tentang minimnya peminat sastra (didalam sebuah essay berjudul “Seni, Seniman dan Peminat” Jassin dengan galak berujar: “jangan salahkan penyair yang membuat sajak yang sulit dimengerti, tapi salahkan juga masyarakat yang semakin tidak memahami sastra”), juga tentang fungsi sastra dalam membentuk kepekaan baik dalam etika politik ataupun perilaku masyarakat. Ringkasan ini sebetulnya tidak ada artinya, karena buku yang terdiri dari seratus tiga puluh dua halaman ini merupakan lapis demi lapis pandangan sang penulis tentang estetika sastra yang merupakan endapan dari berbagai gagasan mulai dari Immanuel Kant, Rabidranath Tagore, Pramoedya Ananta Toer hingga Ajip Rosidi. Berbagai pemikiran tokoh ini kemudian dipadatkan menjadi ajakan bagi siapa saja untuk memaknai kembali kebudayaan melalui karya sastra. Melalui analogi Tifa, sejenis gendang kecil asal Papua, karya HB Jassin tersebut seakan mengundang para penyair dan pengarang untuk senantiasa bersuara.
Gagasan lain yang dikemukakan HB Jassin dalam buku ini adalah tentang betapa pentingnya pemahaman sejarah juga filsafat bagi seorang pengarang. Menurutnya, sebuah tulisan yang baik adalah tulisan yang mampu menjalin berbagai gagasan secara utuh dan bertalian. Adapun bagi para pengarang pemalas, ia (lagi-lagi dengan galak) berujar: “Djika ilham sadja yang ditunggu dengan tidak banjak-banjak berusaha, maka jang keluar hanya getaran perasaan jang dangkal, seperti kerut-kerut air didanau tenang jang ditiiup angin”. Memang, ungkapan ini masih terbilang sopan jika mengingat pendapat Idrus terhadap tulisan-tulisan awal Pramoedya yang diungkapnya melalui sebuah kalimat terkenal, “kamu tidak menulis Pram, tapi kamu berak”. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: apa kabar jika Idrus melihat tulisan pengarang saat ini yang kebanyakan hanya letupan pemikiran sesaat yang dihasilkan dari otak-otak hampa tanpa isi dan imajinasi?, sungguh tidak terbayang apa jadinya. Sehingga ungkapan HB Jassin tentang kepengarangan patut kita ingat (gagasan ini ia tulis dalam essay berjudul “Dasar bagi Pengarang”). Menurutnya, dibelakang setiap ciptaan (baik sajak, prosa, essay, ataupun fiksi) hendaknya ada perpustakaan, museum, pengalaman serta daya pikir yang luas. Dengan kata lain, HB Jassin menuntut dua hal utama yang harus dikenali oleh pengarang, yaitu filsafat dan manusia – pengenalan pada filsafat berfungsi sebagai penghubung berbagai gagasan, sedangkan pengenalan terhadap manusia menghantarkan pada kematangan jiwa. Tanpa keduanya, seorang pengarang menanggalkan tanggung jawab utamanya, dan hanya tunduk pada nafsu ketenaran semata.
Asosiasi adalah gagasan sastra lain yang diangkat dalam buku ini. Secara definisi, asosiasi merupakan penggambaran atas sebuah pikiran yang berhubungan dengan pikiran lain. Contoh paling mudah adalah bau menyan yang membangkitkan asosiasi tentang malam Jum’at atau hantu gentayangan, atau ketika seseorang melihat lukisan persimpangan jalan maka asosiasi yang muncul dapat berarti perpisahan (walaupun interpretasi bagi contoh yang kedua lebih beragam bentuk asosiasinya). Hal ini ternyata mendapatkan perhatian penuh dari seorang HB Jassin. Menurutnya pengetahuan soal asosiasi ini penting sekali bagi seorang pengarang, agar apa yang hendak diutarakan pengarang dapat ditangkap oleh pembaca. Oleh karenanya, ketelitian dalam melakukan observasi terhadap objek yang ditulis sangatlah penting. Pandangan ini nampaknya mencoba menetralisir gagasan Roland Barthes tentang the death of author yang digaungkan pada era yang sama ketika “Tifa Penjair dan Daerahnya” diterbitkan. Jassin menyatakan, bahwa jika seorang pengarang benar-benar hebat dalam mengolah asosiasi, maka gagasannya dapat melesat tepat pada sasaran. Dalam sejarah sastra indonesia sendiri, bentuk ketepatan asosiasi ini hadir ditangan Rendra dan Wiji Tukul dalam menyuarakan gagasan politik dan kebudayaan. Melalui sajak-sajak realisme, keduanya mampu membentuk metafora tajam sehingga sajak mampu memunculkan asosiasi intersubjektif yang dapat menyatukan berbagai pandangan dikalangan pembaca.
Namun, semua tahu: senjakala kesusastraan indonesia berada didepan mata. Kita seakan kehilangan arah ketika para pujangga serta kritkus handal seperti HB Jassin tidak ada lagi untuk memberikan karya dan pijakan bagi bangun kesusastraan indonesia. Penyair dan pengarang memang ada, tapi itu juga teramat sulit ditemui (maksudnya penyair dan pengarang sublim yang berfilsafat dan paham jiwa manusia, karena jika yang dicari sebatas penyair dan pengarang dangkal, jangan khawatir, mereka ada dimana-mana). Rasa pesimis akut ini semakin terasa mengganjal sejalan dengan halaman demi halaman yang habis kubaca. Dan ketika selesai membaca halaman terakhir, pesimisme diganti rasa ketidakberdayaan yang datang dari konteks sosial masyarakat saat ini yang semakin jauh dari nilai-nilai kesusastraan. Pada akhirnya, buku ini – yang begitu padat dengan kekayaan gagasan seorang HB Jassin – hanya bisa kusimpan dalam rak tanpa tahu harus melakukan apa. Walaupun demikian, “Tifa Penjair dan Daerahnya” bagiku lebih dari sekedar buku tua yang bisa dipamerkan. Ia adalah asosiasi akan keberadaan lampu jalanan, sendirian menetang waktu dalam kegelapan malam – kata, kalimat, paragraf didalamnya lantas menjelma syair ganjil, yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berterbangan di udara.
kontak via editor@antimateri.com