Jean-Louis: Mathematical hope. Potential gain divided by probability. With your hypothesis, though the probability is slight, the possible gain is infinite. In your case, a meaning to life. In Pascal’s, eternal salvation.
***
Dalam perbincangan dengan seorang kawan beberapa waktu lalu, sebuah pertanyaan tentang kira-kira tulisan apa yang paling populer untuk publik Indonesia, muncul ke permukaan. Sambil mengingat sepintas lalu, saya menjawab: tulisan tentang Tuhan. Tentu saja, Tuhan pada abad modern ini bermacam bentuknya. Ritus pemujaan tidak lagi vertikal, tapi juga horizontal – esensinya bisa mengada baik dalam narasi ideologi, budaya massa, gaya hidup hingga fanatisme game online. Namun ketika Blaise Pascal berbicara tentang Tuhan, maka yang ia maksud tidak lain adalah tuhan dengan ‘T’ besar – yang menurut Milan Kundera: Ia mengada semata-mata untuk mengganggu perhatian. Tapi rasanya bukan publik Indonesia saja yang keranjingan akan narasi Tuhan, karena sejak jaman Yunani Kuno entah berapa ribu buku serta karya seni yang didedikasikan untuk wujud imanen ini. Tidak terkecuali pada era renaissance, bahkan pada masa ini Tuhan dikaji dengan cara yang begitu canggih – di meja pertaruhan.
Blaise Pascal adalah biang keladinya. Filsuf ini lahir di penghujung masa renaissance, yaitu pada tahun 1623. Ia adalah seorang matematikawan populer peletak berbagai hukum dasar matematika (salah satunya hukum segitiga Pascal). Disamping itu, ia juga populer di kalangan agamawan – karena ketika Tuhan diletakkan di meja pertaruhan, maka menurut Pascal, hipotesis yang diperoleh adalah: akan lebih rasional untuk mengakui keberadan Tuhan, daripada tidak mengakuinya sama sekali. Hukum ini kemudian dikenal dengan Petaruhan Pascal (Pascal’s Wager). Tanpa bermaksud mengambil kesimpulan sepihak, saya rasa Shindunata mengacu pada gagasan Pascal ketika dalam kata pengantar bukunya (Bayang-bayang Ratu Adil, 1999), ia menyatakan: bahwa ketika seseorang beriman sebetulnya ia tengah bertaruh, karena siapa tahu Tuhan memang tidak ada. Tapi sebagaimana dasar hukum pertaruhan, logika ini memberikan ruang untuk kemungkinan lain, yaitu: siapa tahu Tuhan memang ada.
***
Maud: Don’t you want to be a saint?
Jean-Louis: Not at all.
***
Dalam Ma nuit chez Maud (My Night at Maud, 1969) sebuah film garapan Eric Rohmer, hukum pertaruhan Pascal ditampilkan dengan lugas. Debat logika yang (seharusnya) rumit, berhasil diurai dengan ringan – kontradisksi dan silang pendapat dihadirkan hampir menyerupai dedaunan jatuh – tanpa beban. Terdapat tiga tokoh utama dalam cerita ini: Jean-Louis, seseorang yang menggambarkan dirinya sebagai relijius sejati, Vidal sang Marxist dan Maud, liberalist yang meletakkan kebebasan tepat di tengah-tengah ruang tamunya (secara harfiah, Rohmer menyimbolkannya dengan menempatkan tempat tidur Maud di ruang tamu). Ketiganya kemudian bersinggungan baik secara emosional maupun secara gagasan (mulai dari gagasan tentang free-choice, kesempatan (chance) hingga bangun moralitas) dimana pertaruhan Pascal tetap menjadi narasi utama didalamnya. Dengan dialog yang intens, Rohmer berhasil menampilkan hukum lain dari sang filsuf: Segitiga Pascal – yaitu hukum yang menyatakan bahwa pola segitiga didasarkan pada penjumlahan dua angka diatasnya – sehingga setiap karakter dan dialog dalam film merupakan hasil persinggungan dari kejadian sebelumnya (berikut contoh sederhana: Maud baru saja bercerai karena suaminya memiliki hubungan dengan Françoise, wanita yang diidamkan Jean-Louis sebagai istri).
Dalam menjelaskan argumennya tentang Pertaruhan atas Tuhan, Pascal menggunakan Game Theory – melalui sebuah logika pragmatis yang dipilah atas empat kemungkinan utama. (I) Jika Tuhan ada dan anda adalah seseorang yang beriman, maka anda akan mendapatkan hadiah lotere berupa surga; (II) jika Tuhan tidak ada, tapi anda adalah seorang yang beriman, maka tidak ada pengaruh apapun, kecuali mungkin anda kehilangan kesempatan untuk merasakan kesenangan duniawi; (III) jika Tuhan tidak ada dan anda seseorang yang tidak percaya keberadaannya, maka anda tidak rugi apapun, karena memang tidak ada bedanya; (IV) jika Tuhan ada tapi anda seseorang yang tidak percaya keberadaannya, maka anda kehilangan jiwa anda (dan mendapatkan neraka sebagai bonusnya). Dari sudut pandang game theory ini, dengan mengacu pada perhitungan matematis, maka pilihan paling rasional adalah bertaruh bahwa Tuhan memang ada. Jika menang, maka akan menang banyak (baca: surga, bidadari, dsb., dsb.), sedangkan jika kalah, toh tidak rugi apapun. Berbeda jika anda bertaruh sebaliknya – menang tidak mendapat apa-apa, tapi bila kalah anda akan terkutuk selamanya. Pada titik inilah kita kembali ke tokoh Rohmer, Jean-Louis, seseorang yang bertaruh akan keberadaan Tuhan semata-mata atas dasar rasionalitas dan probabilitas – menurutnya: It’s nothing to do with religion.
(image source: Ludwig, Marina, “Adventures in Sainthood: Pascal’s Wager in Eric Rohmer My Night at Maud“, Anthropoetics, 17, No. 2, 2012)
***
Vidal: Just in that respect I have been lucky. Once in Italy with a Swedish girl. In Poland with an English girl. Those two nights are perhaps the happiest of my life. I’m all for affairs on journeys or at conferences. At least they avoid the clinging, bourgeois element.
Jean-Louis: In principle, I’m against. But since such a thing never happened to me…
***
Ma nuit chez Maud adalah seri ketiga dalam jajaran karya prestisius Rohmer yang dikenal dengan sebutan six moral tales. Moral dalam film ini disandingkan dengan kristianitas melalui alegori pertaruhan besar Pascal akan Tuhan. Namun, sebagaimana pandangan Jean-Louis, moral dan narasi tentang Tuhan adalah dua hal yang berbeda. Tuhan, berpijak melalui agama dan prinsip dogmatis; sedangkan moral merupakan tindakan yang dipilih ketika kesempatan hadir di depan mata. Dalam dialog diatas terselip sebuah makna subversif: bahwa seorang relijius seperti Jean-Louis tidak bermain wanita, hanya karena ia tidak pernah memiliki kesempatan untuk itu. Rohmer dalam Ma nuit chez Maud bermain dalam wilayah rentan ini: terkadang seseorang beragama tanpa relijiusitas – hanya karena konsekuensi dari tindakan terdahulu, atau karena tidak adanya kesempatan untuk melakukan tindakan (semacam) dosa. Dari awal Jean-Paul merupakan karakter yang dibangun Rohmer dalam realita ini. Motifnya pergi ke Gereja adalah untuk bertemu Françoise, dan ketika ia bertaruh bahwa Tuhan ada, adalah semata-mata karena perhitungan rasional dari permainan probabilitas yang kerap ia lakukan untuk mengisi waktu luang. Sekali lagi, kita mendengarnya bergumam: It’s nothing to do with religion.
Namun, sisi pragmatisme dalam Pascal’s Wager sedikit berkurang ketika kita membaca secara lengkap Pensées (Pensées: Blaise Pascal, A. J. Krailsheimer, Penguin Book Edition, 1995). Gagasan tentang pertaruhan sendiri tercantum pada bagian III, ayat 233 dengan kesimpulan yang telah diuraikan diatas – Let us estimate these two chances. If you gain, you gain all; if you lose, you lose nothing. Wager, then, without hesitation that He is – hingga akhir buku, Pascal tetap berada pada pijakannya bahwa Tuhan memang ada. Namun terdapat sebuah realita menarik, yaitu perbedaan jalan antara Pascal dan Jean-Louis dalam penghayatan terhadap taruhannya. Ketika Jean-Louis berpijak semata-mata pada pragmatisme, maka Pascal adalah seorang yang mempraktekkan asketisisme – dengan menyerahkan seluruh hidupnya untuk pengorbanan spiritual. Disinilah kita dapat melihat penokohan Jean-Louis yang merupakan kritik utama atas kelemahan Pascal’s Wager – bahwa rasionalitas akan Tuhan, sangat rentan berujung pada kehidupan beragama tanpa pemaknaan spiritualitas. Dari sudut inilah Rohmer menyisipkan sebuah pertanyaan tentang moral: apakah bertanggung jawab ketika seseorang beragama hanya didasarkan pada perhitungan rasional? dan menyandarkan keimanannya hanya pada (tidak adanya) kesempatan?. Untungnya Rohmer tidak menghadirkan jawaban klise, namun ia menggoda kita melalui sebuah dialog menarik antara Maud dan Jean-Louis untuk menyimpulkan kekosongan spiritualitas. Tapi lagi-lagi, Jean-Louis dalam dialog ini berpijak pada kepentingan yang sangat rasional: membuat Maud terkesan.
Jean-Louis: Mathematics distract from God. A useless, intellectual diversion – worse than other diversions.
Maud: Why worse?
Jean-Louis: Because its completely abstract and thus inhuman.
***
Sumber Gambar Muka: https://www.filmlinc.org/films/my-night-at-mauds/
kontak via editor@antimateri.com