“Chaplin, Boudu, Hulot, are the enemies of conformity,
they are the awkward squad”
Kalimat pembuka di atas dikemukakan oleh Pauline Kael, seorang kritikus film, yang mengelompokan para gelandangan-komikal (the tramp) dalam berbagai film komedi terbaik yang pernah dibuat – salah satunya tentu saja Boudu – kedalam agen-agen yang leluconnya seringkali menimbulkan dampak kekacauan tak terhindarkan. Kekacauan yang dimaksud adalah bagian dari plot cerita dimana si gelandangan-komikal, dengan gerakan atau mimik khasnya, mampu mengubah adegan biasa menjadi begitu konyol karena satu hal – ia melakukannya dengan tidak biasa. Kekacauan dalam genre komedi ini adalah inti dari pertunjukkan – sesuatu yang diluar dugaan (atau kebiasaan), namun menimbulkan kesan lucu dan eksentrik – sebuah hiburan permukaan yang dapat membuat penonton tertawa dengan mudah. Namun dibalik segala kekonyolannya, tidak disangkal bahwa dalam beberapa kasus, komedi para gelandangan-komikal dapat membuat kerusakan dalam bentuk yang lain, yaitu getaran pada konformitas sosial. Sebut saja Chaplin, yang rasa-rasanya sulit mengatakan bahwa “kemiskinan” yang dipertontonkan olehnya berada diluar tujuan kritik dan hanya lelucon belaka – karena karyanya yang kental dengan kritik sosial, pada akhirnya filmnya dilarang diputar di Amerika, sedangkan Chaplin sendiri erat disandingkan dengan komunisme. Karakter lain, seperti Hulot atau Marx Bersaudara, dalam beberapa titik juga menggambarkan satir sosial. Namun Boudu – yang secara psikologis lebih “ngaco” dari Chaplin dan Hulot – memberikan gambaran lain yang khas Renoir sang sutradara, yaitu kehangatan humanisme dan kebebasan absolut.
Gelandangan dan Borjuis (dan Insiden Buku yang Diludahi)
Boudu sauvé des eaux (Boudu Saved from Drowning) terlahir dari naskah drama René Fauchois dengan judul sama yang kemudian diadopsi oleh Jean Renoir menjadi sebuah film pada tahun 1932. Kolaborasi Renoir dan Michel Simon sang pemain utama, berhasil menjadikan Boudu sebagai salah satu gelandangan paling tenar di seantero kota Paris yang pengaruhnya terasa pada rentang generasi film selanjutnya. Plot film ini mulai menanjak ketika suatu pagi, Lestingois, sang borjuis pemilik toko buku secara tidak sengaja melihat Boudu terjun ke sungai dengan tujuan bunuh diri. Dorongan kemanusiaan menyebabkan ia menyelamatkannya dan memberinya jaminan hidup – karena ternyata Boudu menyalahkan Lestingois karena menyelamatkannya dan menghalang-halanginya untuk mati.
Ketika melihat rangkaian adegan ini, terdapat suatu hal yang tidak kita temui – yaitu retorika ideologis tentang perbedaan kelas yang kerap muncul dalam satir-satir sosial serupa. Boudu yang gelandangan tidak pernah menempatkan dirinya sebagai proletar yang menjadi korban struktur kelas. Juga Lestingois yang borjuis, tidak bergerak atas dasar nilai-nilai keagungan yang ditawarkan masyarakat – penyelamatan yang dilakukannya semata-mata atas dasar altruisme terhadap sesama – sebuah kehangatan humanisme yang sulit untuk didapatkan. Renoir memang kerap mengangkat tema humanisme dalam filmnya, salah satu yang kemudian menjadi tonggak karyanya adalah Grand illusion (1937), saslah satu film komedi terbaik yang berhasil menggambarkan bahwa humanisme adalah sanctuary terakhir dalam perang, sebuah tempat dimana kisruh ideologi tidak dapat mengotorinya.
Diluar pesan humanisme yang terekam kamera, sepanjang cerita ini, kita – yang berada pada jajaran manusia “normal” – dibuat tertawa (dengan sedikit kesal dan gemas) oleh tingkah laku Boudu yang seenaknya. Ia mengacak-ngacak rumah, memecahkan piring dan gelas, melakukan tindakan tidak senonoh, bahkan di atas semua itu, ia meludahi (buku) Balzac dan Voltaire. Yang terakhir inil membuat Lestingois marah besar dan memutuskan tidak dapat lagi mentolerir kekurang-ajaran Boudu – untuk itu ia menyuruh istrinya mengusir Boudu, tindakan yang ternyata merupakan sebuah kesalahan fatal karena sang istri malah memiliki keasikan tersendiri dengan si gelandangan. Pada akhir cerita, Boudu mendapatkan lotre dan lalu menikahi pelayan di rumah tersebut (untuk menambah kompleksitas cerita, ia juga ternyata memiliki skandal dengan tuannya), namun tanpa disangka-sangka pada hari pernikahannya Boudu “kembali tenggelam”, meninggalkan seluruh hartanya, dan kembali menggelandang bebas tanpa beban. Renoir dalam hal ini, memilih merayakan kebebasan dengan caranya sendiri.
Boudu: Bukan Charles Manson
Sekilas, melalui karakter Boudu, Renoir seakan-akan sedang melakukan kritik terhadap norma baku dan konformitas sosial. Namun, dengan memahami bahawa kritik merupakan upaya dalam mengawali sebuah perubahan (dengan landasan dialektika Hegel), maka tindakan Boudu sama sekali diluar daripada itu. Boudu yang ditempatkan sebagai gelandangan oleh konstruksi masyarakat, tidak menganggap dirinya sebagai gelandangan – dalam satu adegan ia memberi uang pada seorang borjuis – sebuah penolakan eksplisit atas pandangan masyarakat akan dirinya. Dengan demikian, Boudu berdiri diluar pergulatan kelas. Ketika ia mengacak-ngacak rumah, memecahkan barang dan meludahi buku, tindakan tersebut sama sekali bukan sebuah aksi vandalisme ala Charles Manson yang membenci ide kepemilikan materi, tapi lebih karena ia tidak merasa nyaman berada dalam kungkungan sebuah [konsep] rumah dan segala aturan di dalamnya. Boudu tidak dalam misi mengubah apapun, ia hanya menginginkan kebebasan dalam bentuk absolut yang kadang sulit dipahami sebagian orang. Penulisnya sendiri, René Fauchois, memiliki pandangan yang berbeda tentang karakter Boudu – ia membuat sebuah akhir yang bahagia, dengan mendapat lotre dan menikah – namun Renoir mengubahnya menjadi sebuah akhir dengan sentuhan hippies yang kental. Untuk tujuan inilah kiranya Renoir membentuk karakter Boudu – sebuah simbol kebebasan yang mengejek (bukan mengkritik) konformitas sosial yang ada.
kontak via editor@antimateri.com