George Bataille menyandangkan gelar yang tidak main-main kepada Edouard Manet: sebagai pelukis terbesar dalam sejarah Eropa sekaligus pencetus seni modern (Sheaffer-Jones, 2015). Sayangnya, kutukan abadi meastro jenius juga melekat pada Manet–ia dipinggirkan dan dianggap melenceng dari tatanan estetika pada jamannya. Lukisannya yang berjudul Le Déjeuner sur l’Herbe, ditolak oleh seluruh juri Salon (sebutan untuk galeri pameran lukisan di Paris) pada tahun 1863; alhasil kata scandaleuse dan controversée melekat pada sosok Manet (Hiddleston, 1992). Namun, seiring dengan waktu dan perkembangan dunia seni, karya-karya Manet membuktikan dirinya sendiri sehingga pada akhirnya kita mengangguk setuju pada pernyataan Bataille. Jajaran lukisannya, antara lain: Olympia, Monet in his Studio Boat, A Bar at the Folies-Bergère, The Balcony, The Fifer, merupakan jajaran karya yang mengokohkan nama Manet sebagai tonggak impresionisme. Ia juga dipandang sebagai penggagas seni modern karena menempatkan seni di tengah-tengah kehidupan–bukan sebagai sarana menyanjung dewa ataupun simbolisasi kekuasaan. Namun, mendekati akhir hayatnya, Manet menghasilkan sebuah lukisan ganjil (bahkan untuk standar ekletiknya sendiri) berjudul Le Suicide (1877-1881). Lukisan ini menjadi teka-teki tersendiri bagi banyak kalangan karena tidak ada keterangan jelas tentangnya. Manet memang nyaris tidak pernah berkata apapun tentang lukisannya, sehingga sosok yang digambarkan terbaring tak bernyawa masih misteri hingga saat ini (walau spekulasi menyatakan sosok tersebut adalah asisten yang melakukan bunuh diri di studio lukis Manet). Kondisi ini menjadikan Le Suicide jarang diulas oleh para pengamat seni dan seringkali luput dalam periodesasi gagasan lukis Manet. Baru belakangan, Ulrike Ilg (2002), memberikan interpretasi atas keterangan Emile Zola (sastrawan yang sejaman dengan Manet), juga membandingkan berbagai karya dengan tema yang sama. Hasilnya adalah sebuah kesimpulan yang mencengangkan: bahwa melalui Le Suicide, Manet berhasil mengubah paradigma “bunuh diri” dalam seni lukis–Ilg menyebutnya sebagai the Disappearance of Narration. Untuk menjelaskan simpulan ini, karya pembanding dibutuhkan.
Bunuh diri, dalam pandangan seni klasik, tidak pernah berada pada ruang kosong. Sebagaimana Socrates yang meminum racun, bunuh diri (yang dipaksakan) sang filsuf merupakan aksi heroik untuk mempertahankan kebenaran. Narasi heroik yang sama ditemukan pula dalam lukisan lain seperti dalam The Death of Seneca (1773) dan The Death of Marat (1793) karya Jacques-Louis David, The Death of Sardanapal karya Eugene Delacroix (1827/8), Cleopatra’s Death karya Arnold Bocklin (1872), atau The Suicide of Cato karya Giovanni Cignaroli (1734) (Ilg, 2002). Narasi lain yang tidak kalah kental mewarnai tema bunuh diri dalam karya seni adalah emosi puitis. Balzac pada tahun 1831 menulis novel berjudul Le suicide d’un poete atau Le Feu Follet (1931) karya Pierre Drieu La Rochelle yang ditulis satu abad kemudian, juga tidak terhitung berapa banyak karya sastra lain yang memiliki nafas serupa. Dengan kata lain, bunuh diri dalam karya seni dibangun atas pondasi narasi tertentu.
Pembanding lain yang diberikan oleh Ilg (2002) adalah narasi sejarah. Dua lukisan diatas merupakan versi awal dan versi revisi dari kematian Caesar karya Jean-Leon Gerome. Pada versi pertama, Gerome menampilkan kematian Caesar sebagaimana kematian seorang manusia pada umumnya: dingin dan sepi. Namun konsep ini ditolak publik sehingga Gerome memutuskan merevisi lukisannya dengan menampilkan imaji lengkap dengan gegap gempita, tata ruang, dengan berbagai narasi sejarah yang terangkum didalamnya. Baru pada bentuk inilah lukisan Gerome diterima khalayak dengan baik, bahkan Gerome dinobatkan sebagai pelukis-arkelog atas gambaran detil yang ditampilkannya. Dengan dasar dua narasi diatas, (1) emosional-moral dan (2) sejarah, maka gambaran kematian tanpa narasi yang ditampilkan Manet akan terjelaskan dengan sendirinya.
Dalam lukisan di atas Manet memunculkan versi radikal dari Cesar Mort (First Version) karya Gerome. Ia memereteli segala bentuk narasi yang mungkin melekat padanya. Tidak ada nama, keterangan tempat, bahkan tidak ada jejak sebab musabab. Manet memunculkan bunuh diri khas masyarakat modern yang terisolir, bahkan dari maknanya sendiri. Melalui Le Suicide dan Torero Mort, kita sekali lagi harus mengangguk setuju pada Bataille bahwa Manet berhasil mengubah fondasi gagasan realita kehidupan, termasuk paradigma tentang bunuh diri. Dalam kata-kata Ilg (2002) Le suicide by Manet is a person who has completely failed, who is not pushed anymore into the role of a hero, placed at the center of a composition animated by numerous other figures. On the contrary, he is the only person in the loneliness of a poorly furnished, anonymous room and so has become a paradigm of contemporary, human solitude.
Lukisan Edouard Manet Lainnya
Sumber Bacaan:
Sheaffer-Jones. C. (2015). Georges Bataille’s Manet and the ‘Strange Impression of an Absence’. dalam Framing French Culture. Adelaide: University of Adelaide Press.
Ilg, U. (2002). Painted Theory of Art: “Le suicidé” (1877) by Edouard Manet and the Disappearance of Narration. Artibus et Historiae. Vol. 23 (45): 179-190.
Hiddleston, J. A. (1992). Baudelaire, Manet, and Modernity. The Modern Language Review. Vol. 87 (3): 567-575.
kontak via editor@antimateri.com
baik-baik aja li?
jahhahaha grimm, yes…?
aneh nya.. ada semacam kekuatan nu tersembunyi pas liat.. lebih serem.. bayangan misteri cerita dibelakangna.. satu orang sendirian, dikamar, bunuh diri.. jangan-jangan potret masa depan urang, wkwk..
Ngapain, kacape2…mending baca komik aku mah :p. Btw, Gerome bagus juga ya, tar kapan2 ulik ang
asa kosong gerome mah nu bunuh2an na, gtw tapi, teu liat deket.. mun nu bukan bunuh diri na mah, warna na ampun ngejreng si eta, bagus pisan..