God-intoxicated Man[1] atau manusia yang mabuk akan Tuhan, adalah sebutan bagi seorang filsuf kenamaan Belanda yang hidup pada abad 17: Baruch Spinoza atau juga dikenal dengan Benedictus de Spinoza. Semasa hidupnya ia dikenal hanya sebagai pembuat lensa, namun diantara jeda pekerjaannya, Spinoza berhasil merangkum dua perubahan besar arus pemikiran yang hadir pada masa itu, yaitu: peralihan filsafat tradisional ke filsafat modern, juga pertentangan antara ortodoksi agama dengan gerakan reformis. Melalui buku berjudul Ethics, Spinoza mengurai dengan tajam sebuah pijakan filsafat yang bukan hanya menyentuh sisi rasionalitas, tapi juga religiusitas – filsafat tersebut kemudian dikenal sebagai: Filsafat Pantheisme Spinoza.
Pantheisme[2] merupakan sebuah pandangan bahwa segalanya dalam alam semesta adalah (atau identik dengan) Tuhan. Dalam rentang pemikiran tentang Ketuhanan, Pantheisme adalah lawan paling ekstrem dari atheisme – karena ketika atheisme menekankan pada pesimisme dan ketiadaan Tuhan, maka dalam Pantheisme, Tuhan bersifat immanen: Ia meresapi apapun yang ada di dunia[3]. Namun, Ethics yang dipublikasikan setelah Spinoza meninggal, tidaklah ditujukan untuk mengkritik atheisme (karena pandangan ini baru populer ketika memasuki abad 19 dan 20) – tapi terlahir dari kritik Spinoza terhadap gagasan dualisme yang dikemukakan oleh Descates. Menurut Descates, terdapat pemisahan jelas antara tubuh dan pikiran – dan melalui pandangan dualisme tersebut, Descartes meletakan gagasannya secara luas mencakup etika, matematika (dengan mewariskan koordinat Cartesian), juga tentang konsepsi Ketuhanan. Dalam pembacaannya tentang Ketuhanan, dualisme Descartes memungkinkan adanya dunia “jiwa abadi” yang terpisah dari dunia fisik[4].
Dengan pijakan dualisme, Descartes memberikan dasar pada filsafat modern melalui gagasan apriori[5] pada setiap kejadian alamiah, dalam persepsi ini: alam mengacu sepenuhnya pada logika dan pengetahuan individu. Gagasan Descastes tentang alam inilah yang melahirkan kritik tajam Spinoza, karena menurutnya: manusia hanya bagian dari alam, dan mendapatkan pengetahuan melalui kesatuannya dengan tatanan alamiah (natural order).
“Each of us is, like a little worm in the blood. Nature is like the entire circulatory system or like the entire organism; each of us lives within that system or organism, interacting with only a small part of it and experiencing only a very limited region. Even if we grasp the fact that there is a total system and understand its principles to some degree, our experience is so circumscribed and narrow that we are bound to make mistakes about our understanding of the system and our place in it..” (Spinoza, Letter to Henry Oldenburg, 1665)
Ethics sendiri dibagi kedalam lima bagian: i) Tentang Tuhan, ii) Alam dan Pikiran Manusia, iii) Alam dan Emosi, iv) Hubungan Emosional antar Manusia, dan v) Kebebasan Manusia. Gagasan tentang Pantheisme dijelaskan pada bagian pertama melalui berbagai proposisi dan aksioma, sedangkan bagian kedua hingga kelima melengkapi gagasan Pantheisme melalui hubungannya dengan pikiran juga emosional. Buku ini ditutup dengan sanggahan Spinoza pada gagasan free will Descates yang menekankan pada kapasitas rasional seseorang untuk memilih tindakan dari berbagai pilihan yang ada.
Filsafat Pantheisme Spinoza
Menurut Spinoza, dalam (konteks) pikiran, tidak ada yang absolut, ataupun bebas, karena pikiran ditentukan oleh hal lain, yang juga ditentukan oleh yang lain, dan begitu seterusnya[6]. Pada titik ini, Spinoza mempertegas bahwa pikiran manusia adalah bagian dari alam, dan alam adalah (identik dengan) Tuhan.
Walaupun pantheisme saat ini merupakan salah satu aliran filsafat yang mengemuka, namun pada awalnya, kehadiran imanensi Tuhan dianggap sebagai pandangan sesat. Giordano Bruno – seorang filsuf-biarawan yang memberikan pengaruh besar dalam pemikiran Spinoza – dibakar karena menyebarkan pandangan imanensi dan ketidakterbatasan Tuhan. Begitupun pandangan Manunggaling Kawula Gusti sebagai salah satu aliran sufisme dalam Islam, mendapat tentangan dalam penyebarannya. Konsepsi agama Transenden yang mengacu pada personalitas Tuhan berbeda pandangan dengan pantheisme yang menyatakan bahwa Tuhan bersifat impersonal (impersonal karena Ia berada di dalam semesta). Namun, terlepas dari perbedaan konsepsi antara imanensi (kesatuan ilahian) dan transendensi (ilahiah yang tidak terjangkau), terdapat konsepsi agama lain yang sejalan dengan Pantheisme, salah satunya adalah Hindu. Dalam ajaran Hindu, penyatuan antara Atman (diri) dengan Brahman (realitas semesta) adalah pencapaian tertinggi – sehingga imbalan tertinggi bagi manusia adalah moksa, yaitu ketika seseorang meninggalkan sisi duniawinya dan menyatu (kembali) dengan alam. Konsepsi lain hadir dalam Upanishad dengan analogi air dan garam: garam melarut dalam air, begitupun yang Ilahi larut dalam kehidupan.
Dalam Pantheisme, sifat ilahiah yang meresap dalam setiap wujud alamiah menjadikan kebenaran hakiki tidak terletak di atas (yang tidak terjangkau), tapi tersirat dalam tatanan alam (natural order). Melalui pandangan ini, maka filsafat Pantheisme banyak dikembangkan oleh para naturalist yang juga meletakkan kebenaran pada sublimasi universal alam semesta. Albert Einstein secara terbuka menyatakan diri sebagai seorang pantheist. Juga Carl Sagan yang dikenal dengan pandangan bahwa Tuhan tidak berada dibalik alam, tapi merupakan alam itu sendiri, sebagai sesuatu yang tunggal dan setara[7]. Dalam perkembangan filsafat kontemporer, gagasan pantheisme memiliki tempat yang sangat luas sejalan dengan penyebaran gagasan-gagasan deep ecology[8]. Dan memasuki pertangahan abad 20, ketika filsafat modern dianggap telah kehilangan sisi “manusiawinya” akibat terlampau rasional dan logis – banyak dari pengkaji ilmu pengetahuan mengalihkan perhatiannya dari eksperimen ilmiah menuju agama. Salah satu persinggungannya mewujud dalam konsepsi “Tarian Siwa” yang dikemukakan oleh Fritjof Capra – menurut Capra, tatanan kosmik merupakan sebuah tarian indah dewa Siwa dalam proses penciptaan dan penghancuran yang terjadi dalam setiap wujud kehidupan. Ia lalu mengembangkan buah pikirnya dalam buku berjudul Tao of Physics, yang dianggap sebagai salah satu karya yang mampu membangun dunia parallel antara keilmuan modern dengan mistisisme timur. Dalam Taoisme sendiri dikenal ungkapan: “seluruh semesta adalah aku”, sebuah ajaran yang didalamnya melekat gagasan pantheisme.
Capra menulis Tao of Physics pada tahun 1975. Pada titik inilah, ide Spinoza tentang sandingan ilmu pengetahuan dan spiritualisme yang ditulis empat abad sebelumnya, kembali hadir ke permukaan. Spinoza dengan latar belakang ortodoksi agama, masih memandang bahwa dengan memahami Tuhan (dalam konteks ilahi), manusia akan mampu mengetahui segala rahasia pengetahuan alam semesta – mengingat Tuhan dan alam adalah kesatuan. Akan tetapi, ketika Capra mengemukakan konsepsinya tentang “Tarian Siwa”, ia tidak mendapatkan gagasannya melalui pemahaman atas keagamaan tertentu, tapi dari keterpukauannya melihat gerakan ombak. Perbedaan titik tolak ini menghadirkan pertanyaan: Tuhan lebih dulu atau Alam lebih dulu?. Namun, atas kebingungan ini Spinoza telah meletakkan pijakann tegas bahwa dalam Pantheisme berlaku aksioma: “deus sive natura”, (Tuhan atau Alam) keduanya memiliki kebenaran yang tunggal, terserah paham mana yang akan digunakan[9]. Sehingga dalam keterpukauannya terhadap alam semesta, Capra layaknya Spinoza – adalah manusia yang senantiasa mabuk akan Tuhan.
Keterangan:
[1] Intoxicated memiliki padanan kata terpengaruhi, mabuk atau teracuni. Dalam tulisan ini kata “mabuk” dipilih untuk merangkum pandangan pantheisme secara luas, bukan hanya dalam konteks Spinoza.
[2] Dalam Bahasa Yunani Pan berarti segala, dan Theos berarti Tuhan
[3] Magnis-Suseno, Franz, 2006, Menalar Tuhan, Kanisius, Yogyakarta (hal. 193)
[4] Hart, W.D., 1996, “Dualism” dalam A Companion to the Philosophy of Mind, Blackwell, Oxford (hal, 265)
[5] Apriori merupakan pengetahuan yang ada sebelum pengalaman, pandangan ini didasarkan pada filsafat empirik dengan hanya menekankan pada logika
[6] “In the Mind there is no absolute, or free, will, but the Mind is determined to will this or that by a cause which also determined by another, and this again by another, and so to infinity” (Curley, Edwin. M, 1985, The Collected Work of Spinoza, Princeton University Press, Princeton (hal . 379)
[7] Sagan, Dorion, 2007, “Dazzle Gradually: Reflections on the Nature of Nature” (hal. 14)
[8] Deep Ecology adalah cabang filsafat lingkungan yang mengacu pada gagasan saling ketergantungan dari seluruh eksistensi kehidupan.
[9] Magnis-Suseno, Franz, 2006, Menalar Tuhan, Kanisius, Yogyakarta (hal. 195)
kontak via editor@antimateri.com
Oh, mein mir/mich (?). Mo gaya tp gak bisa basa Jerman, wakakkakakka..
@aang, sama aja kan? hehe
Mau diganti apapun subjeknya, eh apa objeknya ya (?) hasilnya tetap sama. deus sive nature (Alam, Tuhan, Pintu, Batu, atau apapun sama). Lacan pernah ngebahas incest oedipus, dan dia bilang kejahatan terbesar dari incest adalah rusaknya grammar, sepertinya ada kesamaan disini. Alam atau Tuhan, kita nyembah alam /= nyembah tuhan. Makhluk /= Khalik.
Pertama kali baca Spinoza, tanggapan pertama yang muncul adalah wow, keren! Manusia menyatu dengan Tuhan? Indah bener? Tapi pas dipikir lagi, gak mungkin juga kan? bagaimana menghitung dosa karena kita manusia (eh, tuhan?) bagian dari tuhan (atau alam?), buat apa berbuat baik atau berbuat dosa (setidaknya menurut konsepsi agama) apabila tuhan (atau alam atau manusia?) bersatu dengan manusia (atau tuhan atau alam atau pintu atau pohon?), apakah tuhan bisa menghukum tuhan? atau memberikan pahala bagi tuhan?. bingung kan?
Masalah lain muncul ketika alam berkembang atau meluas, apa itu artinya tuhan juga meluas?. ketika semua masih bersatu, semuanya dalam bentuk yang kecil, bodoh dan sederhana. Laertius (atau pythagoras ya? lupa) mengatakan dari monad kemudian muncul dyad dari sana muncul banyak. dari yang banyak muncul titik, kemudian garis, dari garis muncul entitas dua dimensi, kemudian tiga dimensi, ada kelompok tertentu dan empat element: tanah, air, udara dan api yang merupakan penyusun utama setiap entitas. sekarang setelah semuanya berkembang sekian trilyun tahun, tentunya alam semesta lebih besar, pintar, dan kompleks. Ini tidak saja menghilangkan ke-omnipotent-an, tapi tuhan (atau alam?) dipaksa harus dinamis dan maju (pernah bodoh dulunya). sebelum bersatu kembali tentunya.
Ketika terjadi evolusi (mutasi, survival dan seleksi terjadi) dimana order dan chaos saling berinteraksi keduanya sama dan satu, bukankah itu sama saja mengatakan bahwa good dan evil menyatu juga? sekarang setan = tuhan?. Dengan pemikiran semacam itu wajar (apalagi di zaman ketika spinoza hidup) ia diasingkan dari komunitas yahudinya, ia kemudian melarikan diri ke belanda dan mengganti namanya dari baruch (nama yahudi) menjadi benedictus (nama latin).
Sebagai faham keagamaan, Spinoza is Suck. Tidak bisa dipungkiri juga bahwa Spinoza dan kemudian Leibniz (panantheism) memberikan sumbangsih besar bagi perkembangan pemikiran manusia terutama mengantarkan dari descartes ke Hegel. Konsepsinya tentang monad (kemanunggalan?) dipakai Hegel sebagai batu fondasi untuk menyusun sistem besar (sistem total = totalitarianisme) yang ia susun. Logico-eksperimental dia, menginspirasi munculnya berbagai sains baru yang terspesialisasi dan lebih sophisticated. Disisi lain, Hegel juga menginspirasi Marx (dialektikanya) dan bahkan mungkin juga fasisme (ide totalitariannya), dua ide besar yang menurut saya banyak menimbulkan kesengsaraan dan korban jiwa yang banyak. Marx tidak selalu berarti negatif, utopianismenya yang menginginkan masyarakat yang ter-emansipasi patut diteladani, dan Fasisme atau setidaknya Nazisme sangat yakin dengan ide kemajuan yang harus diperjuangkan. Disini tidak berarti bahwa faham lain seperti kapitalisme bersih dosa, namun tentunya bukan tempat dan tulisan tepat untuk membahasnya. Apabila kita mengamini Hegel, setidaknya ada dua sisi disetiap pemikiran, teori, ideologi, kepercayaan. Keduanya diperlukan, tentunya sintesisnya adalah fakta baru yang ditemukan.
Ide totalitarian dan keyakinan akan kebenaran dan kemajuan yang terlalu percaya diri dari manusia menurut saya adalah sesuatu yang buruk. Ini tidak berarti bahwa semua pemikiran yang aneh, unik (kadang sebenarnya popular sih) dan berbeda harus kita hapuskan dan dilarang, karena kita melakukan sesuatu yang totalitarian juga tentunya (kita menjadi sesuatu yang kita benci), tetapi sebaliknya. semua itu harus diungkap dan dijadikan wacana agar kita mengenal secara kritis, menimbang setiap celah kelebihan dan kekurangannya, sehingga individu atau masyarakat atau alam (tergantung preferensi moral anda) bisa menikmati keuntungannnya (ataupun diacuhkan dan tentunya harus ditoleransi, apabila anda bukan penganut utilitarian). Kadang sesuatu yang aneh dan tidak sesuai dengan pendapat umum di satu waktu dan tempat, muncul kembali di masa depan dalam wujud yang popular dan bermanfaat (dan kalau tidakpun setidaknya menghibur). Setidaknya sekarang Pantheisme (atau lebih tepatnya modifikasinya, dalam panantheisme-korpuskularis) juga bisa diterapkan setidaknya dalam penjelasan terhadap masyarakat kompleks, musik baroque dan quantum mechanics.
Oh, dan saya kurang setuju dengan pandangan bahwa pantheisme merupakan lawan dari atheisme. salah satu cosmogony dalam atheisme seperti Lawrence Krauss identik dengan pantheisme namun sebelum ada satu kesatuan, awal mulanya adalah kekosongan (A Universe From Nothing: Why There Is Something Rather Than Nothing). Dekat, dengan sedikit modifikasi.
Makasih Bu Ali buat bacaan pengingatnya, semoga ini juga mengingatkan pembaca yang lain agar lebih kritis dan tidak menerima begitu saja apa yang di dengar atau dibaca atau dinikmati hanya karena di sampaikan oleh orang ‘keren’ atau terkenal atau profesor atau orang pintar. Oh, bagaimana kalau dilanjutkan ke Leibniz?
Hiy, mantap ni mas agung….kena juga pancingan saya hahaha. Iya, setuju, Spinoza dimasukan ke populasi filsuf saja, jangan ke populasi agamawan hehe biar ga rancuu :p
Oya, sebetulnya dari judulnya saja saya udah ngasih hint: bahawa ketika manusia bisa mabuk (baca; teracuni) Tuhan dalam konteks phanteism, maka konsekuensinya: Tuhan juga teracuni manusia…
Terus terus soal atheisme…hmm, ga komen deh, situ pan ahlinya gkgkgkgk
Leibniz nanti2 aja, selanjutnya mau nulis musik dulu ah, biar populer :))))))
Trims penjelasan tambahannya ya….mantap (dan panjang seperti biasa) #kaburr :)))))
Teh, mau tanya aja. Apa teteh melihat ada kesamaan (krn perbedaan pasti bnyak) antara patheism Spinoza dgn aliran tassawuf Ibn Arabi’ atau Syekh Siti Jenar misal?
hai fazar…sebetulnya pertanyaanmu ini merupakan intisari dari buku berjudul “Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam suluk Jawa” karya Zoetmulder. dalam bab awal buku tersebut diuraikan secara gamblang tentang pantheisme dan monisme (sebagai filsafat ketuhanan) yang juga ditemukan dalam pandangan manusia (jawa) ketika mencoba memahami zat ilahi.
Pada khasanah jawa dikenal sebuah idiom “bahwa kita tidak akan pernah memahami hakikat secara mutlak sebelum dapat memadukan mikrokosmos dengan makrokosmos”, dari pandangan ini hadir pembacaan bahwa sistem reliji jawa (yang kemudian meresap pada jiwa sufisme) juga didasarkan pada pantheisme: bahwa manusia adalah bagian dari semesta, dan sebelum menyadari hal tsb, maka pengetahuan mustahil didapat. Kesamaan penghayatan alam hadir dalam keduanya, mungkin itu bisa sedikit menjawab pertanyaanmu (yang sebetulnya bukan pertanyaan, tapi lebih sharing pandangannya ya, coz i thought you’re already figured it out hehehe).
Kiranya seperti itu pembacaanku 🙂
Indah sekali.