Teorema (Theorem) merupakan film garapan Pier Paolo Pasolini yang dirilis pada tahun 1968 dan memiliki waktu edar sangat singkat – satu tahun. Setelah peluncurannya, Teorema mendapatkan penghargaan dari the Office Catholique International du Cinema sebagai salah satu film yang berhasil mengangkat esensi religiusitas, namun setahun kemudian pemberian penghargaan tersebut disesali dan dibatalkan – didasarkan pada protes terhadap tampilan seksual yang ekspilisit – hingga pada akhirnya, Teorema karya Pasolini dilarang beredar justru oleh organisasi yang memberinya penghargaan. Dibalik hiruk pikuk seputar pelarangan filmnya, Pasolini nampak tidak bergeming – ia tidak memberikan pernyataan apapun terhadap protes Gereja ataupun penjelasan yang memadai untuk pembacaan filmnya. Hanya satu kalimat yang diungkap Pasolini (yang sekilas sama sekali tidak berhubungan dengan masalah yang mengemuka): bahwa dengan Teorema ia mengukukuhkan diri sebagai film theoriest – penteori film – yang mengungkapkan gagasannya melalui visualisasi [film]. Dan hanya melalui penjelasan yang terbatas tersebut, para penikmat film dituntut untuk melakukan interpretasi atas apa yang dicoba diungkap Pasolini dalam Teorema.
Sebelum mencoba merunut alur teori Pasolini, sebuah hal menarik patut juga diperhatikan dalam keterkaitannya dengan Teorema – bahwa film ini, dari segi artistik dan gaya merupakan sebuah counter movement terhadap aliran neo-realist[1] yang tengah mengemuka di Italia saat itu. Neo-realist yang berkembang sejak tahun 1940an dianggap sebagai aliran paling ideal untuk mengangkat ide-ide sosial[ist], yang dalam perkembangannya memberi pengaruh pada sineas di beberapa negara, diantaranya Perancis dan Spanyol, namun berkembang sangat pesat di Italia. Ditengah kegandrungan terhadap [aliran] neo-realisme inilah, Pasolini berpaling ke arah lain – ia membuat film dengan teknik pengambilan gambar yang matang dengan ragam simbol terselip disana-sini – membuat Teorema menjadi anti-tesis bagi neo-realism: bahwa kontestasi ideologi dapat pula hadir dalam visual yang begitu artistik, tidak melulu muram dan kasar seperti yang ditonjolkan dalam neo-realism. Dan untuk mendukung counter-movementnya, Teorema menggunakan aktor profesional – sesuatu yang jarang dilakukan dalam film-film neo-realism Pasolini sebelumnya – sehingga muncullah deretan aktor/aktris kenamaan, diantaranya Terence Stamp, Silvano Mangano, Massimo Girotti, Anne Wiazemsky, Laura Betti dan Adreas Jose Cruz Soublette. Mereka lantas tampil dengan tuntutan akting yang mirip model foto: penekanan ekpresi pada setiap adegan, karena film ini begitu minim kata-kata.
Sentuhan “Tuhan”
Penteori film, seperti yang ditegaskan Pasolini tentang diri dan karyanya, menjadikan Teorema bergerak di ujung batas definitif sebuah film – di tangan Pasolini, film bukan hanya karya seni dengan alur pemikiran dan teori yang tertuang didalamnya, tapi merupakan teori itu sendiri: pandangan ini yang membuat Teorema memiliki sudut penekanan yang berbeda – akting, alur ceritera, kesinambungan adegan, hanya berfungsi sebagai pendukung ide/teori yang akan ia kemukakan. Hal ini bisa begitu berbahaya jika saja yang menggarap bukan Pasolini – kemungkinan film akan berakhir menjadi deretan adegan “kering” sangatlah besar. Namun, latar belakang Pasolini yang juga seorang penyair menyelamatkan Teorema dari kehancuran, sehingga yang kita dapatkan adalah alur puitis atas ide/teori Pasolini tentang transformasi manusia menuju kebebasan – dan layaknya sebuah puisi, alur Teorema padat akan metafora. Melalui Teorema kita bisa melihat bagaimana kehebatan Pasolini sebagai seorang intelektual/penyair/sosialist radikal – yang juga atheis –, membuat bangun logika spiritual yang dapat melampaui nilai-nilai borjuis dan membebaskan sebuah keluarga dari kekangan materialisme yang mengungkung.
Alur ceritera Teorema sendiri berjalan bagai sebuah siklus – diawali dengan wawancara semi dokumenter tentang keputusan pemilik pabrik yang mengalih-tangankan kepemilikan pabriknya kepada para buruh, dan diakhiri dengan sebuah teriakan sang majikan yang mengakhiri segala beban materialnya. Pasolini lantas merangkainya dengan narasi sinis terhadap kehidupan keluarga borjuis yang diberi warna shepia –menggambarkan pemikiran [mapan] satu dimensi – yang kemudian berubah menjadi penuh warna seiring kedatangan seorang tamu misterius di keluarga tersebut: tamu yang datang entah dari mana, entah dengan tujuan apa, dan menetap entah sampai kapan. Warnapun menjadi semakin mencolok sejalan dengan ketertarikan setiap anggota keluarga terhadap kekuatan mistis transenden sang tamu – kekuatan yang termanifestasi dalam daya tarik seksualnya.
Sang tamu yang diperankan oleh Terence Stamp, merupakan gambaran sempurna sebuah godaan yang lantas memunculkan rasa penasaran pada para anggota keluarga – ayah, ibu, kedua anaknya dan juga pembantunya. Merekapun lantas mendapatkan apa yang mereka inginkan karena ternyata sang Tamu sangat akomodatif – menuruti hasrat seksual seluruh anggota keluarga, tak terkecuali. Adegan-adegan seksual inilah yang kemudian memunculkan protes dari kalangan gereja. Alur pemikiran Eropa yang cenderung menempatkan seks kedalam tataran material – sebagai pemenuh kebutuhan dan hasrat – terkaget-kaget ketika Pasolini mengembangkan pandangan bahwa seks dapat memicu pencapaian transenden, sebuah gagasan yang sebetulnya tidak asing dalam alur pemikiran Asia.
Dalam Teorema, sang Tamu yang menjadi perpanjangan sentuhan “Tuhan”, memberikan dampak yang besar bagi setiap anggota keluarga. Dan ketika Tamu tersebut pergi, dimulailah fase transformatif setiap individu dalam keluarga tersebut dengan jalannya masing-masing: Sang anak laki-laki mengejar hasrat [seksual]nya melalui penciptaan berbagai lukisan sureal, sang ibu mengejar kebebasan pada lelaki-lelaki muda, sang anak perempuan mengalami kelumpuhan saraf dan jatuh kedalam katatonia[2], sang ayah melepaskan segala miliknya – termasuk pakaiannya – dan berkelana di tengah-tengah gurun gunung Etna. Sedangkan transformasi paling fenomenal dialami oleh sang pembantu, ia menjadi santa penyembuh luka umat manusia dan memberikan pengorbanan agung dengan mengubur dirinya hidup-hidup.
Hermeneutika Diri: Godaan, Pengakuan dan Transformasi
Setelah Teorema dirilis – dan dijegal peredarannya – Pasolini kemudian mengalih-mediakan cerita ini kedalam bentuk novel. Namun, sebagaimana filmnya, dalam novel pun Pasolini tidak memberikan penjelasan gamblang tentang teori yang diusungnya – alhasil ruang interpretasi terbuka lebar. Salah satu bentuk pembacaan terhadap Teorema [dapat] didasarkan pada tiga rangkaian fase spiritualitas manusia, yaitu godaan, pengakuan dan transformasi. Ketiga fase ini dengan jelas dapat kita temukan dalam Teorema: godaan muncul melalui daya seksual sang Tamu, dilanjutkan dengan fase pengakuan setiap anggota keluarga sesaat sebelum kepergian sang Tamu, dan transformasi yang dialami setiap anggota keluarga pada akhir cerita. Melalui ceritera tersebut, Pasolini ingin menampilkan sebuah imaji tentang hermeneutika diri, yaitu pencarian kebenaran subjektif yang dalam agama kristen, hanya dapat tercapai melalui sebuah pengakuan dosa – bahwa keselamatan diri dapat dicapai dengan mengetahui setepat mungkin siapa diri sendiri, melalui penyataan seeksplisit mungkin kepada orang-orang tertentu (confession)[3].
Kenali dirimu sendiri – gnothi seauton – dapat kita temukan juga dalam berbagai pandangan agama lain termasuk Islam, bahkan pada ajaran pagan. Dalam Teorema sendiri – Pasolini yang atheis – tidak seluruhnya meletakkan dasar pemikirannya di atas pijakan kristiani, ia lantas beranjak dari jalan agama dengan memberi akhir yang begitu filosofis. Argumen ini didasarkan pada kenyataan bahwa fase terakhir dari fase hermeunetika diri – yaitu transformasi – tidak seluruhnya dibaca melalui pandangan nilai-nilai kristen. Pada akhir ceriteranya, Pasolini memberikan ruang yang terbuka: bahwa siapapun dapat bertindak atas kebenaran dirinya sendiri. Gambaran ini jelas terlihat melalui adegan transformasi setiap anggota yang berbeda satu sama lain – sebagaimana dikemukakan dalam filsafat Yunani bahwa transformasi individu tercapai jika setiap manusia memiliki kemungkinan hidup yang berbeda, dengan caranya sendiri dapat lebih baik, dan lebih bahagia dari orang lain. Sehingga dalam Teorema jalan transformasi jauh lebih bervariatif dari jalan [orang] suci yang disarankan agama – ia bisa muncul dalam berbagai bentuk pembacaan kebenaran subjektif: dari lukisan sureal, katatonia, kebebasan seksual, pelepasan material hingga pengorbanan mengubur diri – yang kesemuanya memiliki bobot kebenaran masing-masing.
Proses hermeunetika dirilah yang ditawarkan oleh Pasolini dalam Teorema. Ia lantas memberikan gagasan bahwa terkadang perlu adanya sentuhan dari luar diri untuk memberikan pandangan lain (atau sebut saja godaan) terhadap kemapanan ide tertentu. Dalam Teorema gagasan mapan borjuislah yang disasar oleh Pasolini – melalui fase-fase diatas, sebuah keluarga borjuis dipaksa untuk mengikuti godaan tersebut, mengakui dosa-dosanya dan melakukan transformasi diri. Sang tamu misterius sendiri diibaratkan sebagai sosok penting demi munculnya diskursus sang guru (the master discourse), ia bertugas berbicara dan menjelaskan pemahaman tentang kehidupan yang memungkinkan jalan menuju sebuah transformasi. Dan seperti layaknya revolusi dalam tataran masyarakat, maka transformasi memikul beban yang sama: kebebasan membaca diri sendiri. Dan mengingat salah satu dasar kebenaran subjektifitas Pasolini adalah sosialisme, maka tidak aneh ketika film diakhiri melalui teriakan dahsyat salah satu tokohnya (sang Ayah), yang melepas segala beban kepemilikannya dan kembali menjadi manusia yang bebas dalam ketelanjangan.
Atas pembacaan diatas, maka Teorema dapat dirangkum dalam sebuah gagasan: bahwa transformasi melalui jalan spiritual ilahiah hanya akan bermakna apabila heurmenetika diri dikembalikan pada manusia sebagai subjek yang menentukan pembacaan dirinya – bukan yang lain. Dengan tujuan tersebut, maka Pasolini membuat sang Tamu misterius pergi meninggalkan layar di tengah cerita dan mengembalikan alurnya kepada para anggota keluarga – dengan beragam pergulatan hermeneutik umat manusia didalamnya.
Keterangan:
[1] Pembuat film berdasarkan plot yang berasal dari kehidupan riil, dengan otentisitas visual, pengambilan gambar langsung di lokasi, tanpa make up, dan hampir tidak menggunakan efek khusus
[2] Kondisi mental yang ditandai dengan kelumpuhan saraf
[3] Carrete, Jeremy, 1999, Religion and Culture, Routledge, New York
kontak via editor@antimateri.com
Setelah nonton deui, Catatonia-na kekna akibat munculnya kesadaran dan rasa kehilangan cinta (terhadap pengaruh daru luar) yang baru ditemukan.. sigana mah simbol kesadaran akan diri, ia mencoba melihat dan mengukur langkah2 yang telah ia lewati. Awalnya ia mencoba melupakan, dengan berlari2 kecil, namun percuma akibat kehilangan yang terlalu dalam yang tidak bisa ia lepaskan (lewat genggaman-mungkin tradisi atau kejadian masa lalu).
Siga na amnesia yang merupakan mekanisme survival, ketika dikuak, yang terjadi adalah stuck secara mental ketika masa lalu tidak bisa di damaikan dengan masa kini.. Ini berbeda dengan si artis yang malahan menjadi inspirasi bagi penciptaan sesuatu yang baru…