Terdapat sebuah cerita menarik yang saya dapat ketika tengah bertugas mencari data lapangan di tengah konflik sipil Myanmar–yaitu cerita tentang bagaimana ingatan suara, menyelamatkan seseorang dari kegilaan dan depresi yang melanda selama berada di tengah konflik yang berkecamuk. Sebutlah namanya Joni, seorang pemuda kelahiran Jombang yang tidak pernah membayangkan sekalipun bahwa dirinya bisa berada ditengah desingan peluru antara Border Guard Force (GBF) dan Arakan Army. Joni dan timnya, kala itu ditugaskan memberikan bantuan medis dan makanan ke jantung konflik di Arakan. Namun, konvoi damai sekalipun tidak luput dari aksi penembakan, dan walaupun tidak ada korban jiwa dalam insiden tersebut, kepanikan melanda seluruh tim–termasuk seorang relawan dari Singapura yang semerta-merta terkena panic attack. Bisa dibilang hanya Joni seorang yang mampu menceritakan secara detil arah asal tembakan, berapa kali ia mendengar tembakan (lima kali, ungkapnya), dan bagaimana kemudian ia mampu menyatakan bahwa kondisi mereda dan memutuskan konvoi bisa berjalan kembali. Saya mendengar kisah Joni ketika kami berbagi kendasaan di Yangoon, saya lalu bertanya, sekedar penasaran: “apa yang bisa membuatmu begitu tenang?”, jawab Joni: “karena saya biasa main counter-strike, itu loh yang game tembak-tembakan; saya ingatnya suara tembakan game pas kejadian, jadi ya biasa aja”.
Komentar Joni yang terkesan sekenanya, mengingatkan saya pada konsepsi ‘earwitness’ yang digaungkan oleh Schafer (1974) dan Birdsall (2009), untuk menggambarkan sebuah pengalaman individu yang terekam dalam ingatan suara. Dalam hal ini, suara dipahami bukan hanya sebagai obyek pasif, tetapi sebagai bentuk performatif yang dapat menyalurkan trauma, nostalgia, atau dalam konteks Joni, responsifitas banal atas sebuah eksposisi kekerasan. Dalam ranah hukum, ingatan suara memiliki kredibilitas rendah jika tidak terekam; namun tidak demikian dengan studi psikokultural yang berpandangan bahwa suara tertanam dalam ingatan, dan mampu membentuk representasi identitas tertentu. Birdsall (2009) lebih lanjut mengklasifikasikan tiga jenis ingatan berbasis suara: (1) habit memory–yaitu ingatan yang terbentuk melalui kebiasaan sensorik (seperti bunyi bel di sekolah pertanda jam pelajaran di mulai); (2) intentional remembering–penggunaan suara atau musik secara sadar untuk mengingat (contoh paling umum di acara-acara memorial dengan menyanyikan atau memutar lagu-lagu tertentu, atau dalam konteks personal, sebuah lagu tertentu akan mengangkat ingatan tertentu pula); dan (3) involuntary remembering–ingatan yang muncul secara tak terduga melalui suara tertentu (bentuk ini biasanya traumatis, namun kasus Joni memberikan pemaknaan lain yaitu fungsi banalitas suara).
Jika pengalaman Joni dan ingatan counter-strike-nya adalah personal dan tidak dapat dibandingkan (praktis karena belum ada penelitian lebih lanjut tentang ini), maka Birdsall (2009) mengangkat ingatan kolektif dan warisan sonik dengan studi kasus di Düsseldorf, Jerman. Temuan Birdsall sangat menarik, diantaranya keterhubungan antara lagu-lagu propaganda masa Nazi yang tidak dapat dihapus dari tubuh. Lagu ini bukan hanya tertanam dalam ingatan namun menjadi semacam habit memory dan menjadi bagian dari koreografi tubuh. Ungkap Birdsall, “lansia di Düsseldorf tidak lagi ingat cara dansa selain dari yang diajarkan Nazi”. Bentuk ini memberikan kekuatan argumen bahwa terdapat hubungan antara ingatan suara (dalam bentuk lagu dan musik) dan bentuk-bentuk propaganda sonik yang mendisiplinkan tubuh dan pikiran. Kondisi ini bukan hal yang aneh sebetulnya, karena secara tidak sadar gesture kitapun dibentuk oleh penanda-penanda suara serupa (seperti notifikasi dari WA atau notifikasi dalam bentuk lain yang merangsek kedalam ingatan bawah sadar kita).
Sekarang, mari kita kembali ke Joni. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: apakah ingatan Joni termasuk ingatan suara sebagaimana disampaikan oleh Birdsall? Jawabannya adalah tidak, tapi sekaligus ya. Dalam konteks pengalaman, tentu berbeda; terutama dalam pengalaman kekerasan yang tidak dialami Joni, berbeda dengan warga Düsseldorf. Namun, Birdsall menyatakan bahwa ingatan suara tidak selalu harus berasal dari sumber organik, namun bisa juga bersifat metonomik dan mimetik (contohnya: kita bisa mengingat suara seseorang karena mendengar rekamannya). Poin inilah yang dapat menyandingkan pengalaman Joni (melalui game counter-strike) menjadi ingatan suara yang membentuk persepsi dan tindakan Joni ketika menghadapi tembakan Arakan Army.
Kajian terbaru terkait migrasi suara dari Scheding (2025), rasanya mampu memberikan pandangan tambahan atas ingatan suara. Dalam artikelnya, Scheding menggambarkan bahwa ingatan suara ternyata mampu melampaui batas dan bermigrasi. Musik blues, adalah contoh nyata bagaimana ingatan perbudakan bisa termuat dalam notasi dan nada lalu tersebar ke seluruh dunia; atau samba yang kental dengan ingatan tentang kemiskinan juga mengalami fase penyebaran yang sama (di Indonesia, mungkin musik Dangdut Pantura memiliki karakter yang sama). Dalam konteks perang dan kekerasan, Scheding mengangkat kasus perang Ukraina-Rusia, ungkapnya: “bahwa suara, seperti halnya manusia dan barang, juga bermigrasi dan memainkan peran aktif dalam membentuk opini publik dan solidaritas internasional”. Terdapat satu contoh menarik yang disajikan Scheding, yaitu single kolaborasi “Hey Hey Rise Up” karya Pink Floyd dan penyanyi Ukraina Andriy Khlyvnyuk. Single ini menjadi salah satu contoh bagaimana musik mampu menyebarkan ingatan (dalam bentuk metonomik dan mimetik) untuk membangkitkan pesan tertentu. Melalui musik, Scheding berpandangan bahwa individu dapat menyusun lanskap sonik pribadi mereka dan membangun jembatan emosional lintas batas dan waktu, dan bersentuhan dengan kejadian di luar pengalaman mereka.
Mungkin, bentuk lintas batas dan lintas waktu inilah yang juga dialami oleh Joni. Ia bahkan mengalami siklus bulat sempurna, ketika pengalaman mimetiknya bersinggungan dengan pengalaman nyata di Myanmar. Dan jika mengacu pada konsep ingatan suara Birdsall, bentuk ingatan suara bawah sadar (baik dalam bentuk habit memory atau involuntary remembering) jauh lebih berperan dalam membentuk persepsi dan tindakan daripada ingatan suara (seperti musik dan lagu) yang bersifat disengaja (intentional remembering). Namun, tulisan ini bukanlah sebuah anjuran untuk mengonsumsi game penuh kekerasan atau memutar lagu Hey Hey Rise Up kencang-kencang. Tapi merupakan sebuah refleksi akan ingatan suara yang senantiasa kita konsumsi, dan kerap tanpa kesadaran. Terlepas dari perkembangan teknologi yang memberikan nuansa baru dalam kajian soundscapes dan sonic memory, suara adalah bagian dari praktik dan konstruksi identitas–baik secara individu ataupun kolektif. Jika musik dan suara bisa menjadi pengingat peristiwa pribadi, demikian pula untuk peristiwa yang dialami sebuah bangsa. Seperti ungkapan Joni: “Bisa stress saya [dengar tembakan], untungnya ya tadi itu, udah biasa; kaya orang-orang sini, mereka udah biasa juga”.
Sumber Gambar: Spectrogram (Wikimedia Commons)
Sumber Percakapan: Joni (Anonymous, 2024)
Sumber Bacaan:
Birdsall, C. (2009). Earwitnessing: Sound Memories of the Nazi Period. dalam K. Bijsterveld & J. van Dijck (Eds.), Sound Souvenirs (hal. 169–181). Amsterdam University Press.
Schafer, R. M. (1994 [1977]). The Soundscape: Our Sonic Environment and the Tuning of the World. Destiny Books.
Scheding, F. (2025). Sounds across Borders and the Ukraine War. dalam B. Anderson (Ed.), Rethinking Migration: Challenging Borders, Citizenship and Race (hal. 194–202). Bristol University Press.

kontak via editor@antimateri.com