PJ Harvey, nama yang menyuguhkan sebuah ambigu. Ambigu karena saya membacanya pertama kali dalam sebuah artikel berbahasa Indonesia yang tidak mencantumkan keterangan jenis kelamin, sehingga gambaran yang terlintas adalah seorang laki-laki dengan flannel khas penebang kayu. Tebakan saya sepenuhnya meleset, PJ Harvey yang dikenal luas sebagai salah satu figur grunge dan musisi feminis, tidak mengenakan flannel – setidaknya dalam aksi panggungnya – dan dalam album yang akan saya bahas, dia mengenakan gaun vintage Victorian dengan pose mematung (yang harus saya akui cukup mengerikan). Adapun PJ adalah kepanjangan dari Polly Jean, nama seorang gadis manis khas sisi selatan Amerika.
Namun Harvey tidak manis sama sekali, jika standar manis masih dilekatkan pada musisi pop cinta alakadar. Harvey, selama yang saya ikuti, jauh dari itu. Dia adalah sorang bunglon yang senantiasa menghindari bahaya dari sebuah imajinasi statis. Di era 90-an Harvey adalah seorang feminist, salah satu figur utama dalam gerakan riot grrl, lalu secara teatrikal dia menanggalkan jubah feminisme dan mengubah diri menjadi seorang post-punk yang tidak kenal kompromi. Perubahan drastis muncul ketika pada tahun 1995 dalam tur To Bring You My Love, Harvey menampilkan sosok karikatur wanita yang mengkapitalisasi kefeminimannya secara sadar. Walau sudah terbiasa dengan perubahan karakternya, dalam album White Chalk, Harvey kembali mengejutkan dengan mengubah dirinya sebagai seorang gadis yang sekarat di meja aborsi.
Pada album White Chalk yang dirilis September 2007, dengan keangkuhan seorang pujangga avant-garde, ia memaksa kita memasuki sebuah ruangan. Hanya ada satu piano disana, terasa sangat aneh karena instrument yang biasa dimainkannya adalah gitar. Dengan White Chalk, Harvey ingin menggambarkan sesuatu. Berbusana gaun Victorian berwarna putih dengan latar hitam, dia memulai upacaranya, menekan tuts piano, ringan, dan mulai bernyanyi dengan nada rendah yang belum pernah dia lakukan “As soon as I’m left alone, the devils wanders into my soul”. Selesai mendengarkan lagu pertama, The Devils, kita segera tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
The Devils adalah gambaran ketakutan terhadap hasrat dan keinginan. Harvey menuntut kehadiran sosok yang dapat menghentikannya melakukan apa yang diminta oleh sang setan sehingga dia berteriak “Come! Come! Come here at once!“. Dalam lagu-lagu selanjutnya hasrat-hasrat yang ditakuti Harvey dalam The Devils membentuk imaji dengan kerangka lirik dan melodi. Lagu kedua lahir dalam alunan ghotic-folk yang berupaya merangkul kegelapan abadi, “Dear darkness, won’t you cover, cover me – again?”. Lebih dalam, kehampaan menyeruak dalam Broken Harp, yang mengekspos rasa sakit dan keputusasaan dengan sangat nyata hingga seakan-akan Broken Harp adalah gambaran dari urat nadi yang putus.
Harvey sama sekali tidak pernah memperhalus emosinya, setajam atau seburuk apapun. Untuk single pertama dari White Chalk, dia memilih lagu yang cenderung mengganggu, yaitu When Under Ether yang memberikan sketsa tentang aborsi. Kemudian nota bunuh diri dia sajikan dalam Before Departure, diambil dari potongan prosa yang dirobek paksa dari sebuah jurnal diiringi alunan chord gelap yang berulang, membuatnya terdengar sangat “menyayat”, jika memang kata itu bisa digunakan untuk sebuah lagu. Dalam The Piano, sebuah kerinduan terhadap kekerasan muncul disana, sadomasochism muncul dalam lirik “my fingers sting where I feel your fingers have been. Ghostly fingers moving my limbs. Oh, God, I miss you”.
White Chalk layaknya sebuah lagu agoni yang memaksa kita untuk patuh dan tunduk mengikuti ritual upacara sampai selesai. Gambar yang muncul setelahnya adalah warna hitam walau ditorehkan oleh kapur berwarna putih. Setelah White Chalk, Harvey melanjutkan kegemarannya merekonstruksi persona, tapi lama setelah album ini dirilis, kegetirannya emosi seorang gadis Victorian masih menghantui sampai saat ini. Terima kasih untuk teater absurdnya, Polly Jean, it’s really entertaining.
kontak via editor@antimateri.com