“We can comprehend only a world which we ourselves have made” – Nietzsche
Pendefinisian adalah salah satu dosa terbesar umat manusia. Akui saja, karena kebanyakan dari kita akan cenderung melakukan konseptualisasi terhadap suatu hal melalui peta pengetahuan yang tergambar di kepala. Nietzsche menyebutnya sebagai paradoks pengetahuan: bahwa pada setiap upaya merumuskan atau mendefinisikan dunia, kita tengah melakukan sebuah kebodohan. Dari paradoks ini terciptalah dua kutub ekstrem: di satu sisi terdapat kalangan penakluk dunia dengan slogan will to power, sedangkan di sisi lain terdapat para nihilist yang mengusung pandangan bahwa dengan terbatasnya pengetahuan, maka tidak ada satupun konsep, pengetahuan atau nilai yang dapat menjadi pijakan kebenaran. Kedua kalangan, baik para penakluk pengetahuan ataupun para nihilist, berisi jajaran nama besar dalam sejarah. Namun, untuk alasan “kesukaan subjektif”, tulisan ini hanya akan menilik sisi nihilist, atau lebih tepatnya empat orang nihilist yang tergabung dalam sebuah band bernama The Stooges. Stooges sendiri mengacu pada arti sepele atau dapat juga diartikan: “peran tidak penting (dalam sebuah sandiwara)”. Dengan nama tersebut, mereka menjelma menjadi salah satu grup nihilist paling primitif yang pernah terekam dalam sejarah musik populer. Dengan kata lain, The Stooges merupakan musisi yang berhasil menampilkan ekspresi artistik nihilisme–melalui kesadaran akan insignifikansi yang menohok.
Kehadiran The Stooges sendiri tidak terlepas dari paradoks pengetahuan: bahwa pada akhirnya grup ini kerap dilabelkan sebagai grup musik punk rock, hanya karena agresifitas, keliaran musik, dan perilaku tanpa ampun para personilnya–dan Iggy Pop sang vokalis dinobatkan sebagai “the Godfather of Punk”, sebuah subkultur yang bahkan belum lahir saat itu. Pembacaan lebih bertanggung jawab menyandingkan The Stooges kedalam jajaran proto-punk, sebutan bagi berbagai genre musik yang mempengaruhi punk. Sekilas, terdapat dua hal yang menjadikan The Stooges panutan bagi generasi punk, yaitu musik dan agresifitas, namun apabila ditelusur, pandangan ini menjadi tidak beralasan. Pertama, adalah tidak adil jika permainan gitar blues-rock Ron Asheton disandingkan dengan estetika minimalis punk, karena sama sekali tidak ada kata minimalis dalam kamus Ron–jika tidak percaya, simak solo gitarnya dalam T.V Eye atau dalam 1969, Ron sama sekali bukan pengusung kesederhanaan 3 chords. Kedua, bahwa agresifitas dan keprimitifan yang ditampilkan oleh The Stooges bukanlah sebuah pernyataan politik atau gerakan sosial seperti yang mendasari kelahiran punk di era 70an–melainkan sebuah ekspresi artistik yang secara sadar dihadirkan untuk membangun narasi nihilisme. Dalam hal ini, para personil The Stooges hanya memainkan peran yang menampilkan teater penghancuran batas, tanpa tenggelam dalam kemarahan dan agresifitas komunal seperti yang terjadi pada generasi punk satu dekade kemudian. Formula The Stooges hanya satu: menjadi band yang lebih menggangu daripada The Rolling Stones dan lebih nihilist dari Velvet Underground.
Lalu, jika The Stooges bukanlah bagian dari punk, lalu apa yang menjadi benang merah antara generasi beda jaman tersebut? Proses penghancuran nilai, yang menurut Nietzsche merupakan pengalaman sejarah yang berulang, dapat menjadi salah satu jawaban. Pada akhir dekade 1960, The Stooges hadir untuk menghardik norma peace and love yang tinggal menjadi slogan, sedangkan di akhir 1970, subkultur Punk mendobrak tata kemapanan yang tidak lagi sesuai dengan realita sosial. Namun ketika Punk era 70an bergerak dalam ritme anarki yang menyuarakan penghancuran otoritas lama, seperti yang juga diusung oleh Sex Pistols, The Clash dan subkultur punk setelahnya–The Stooges nampaknya tidak begitu peduli pada penghancuran otoritas, ataupun diskursus politik di jamannya. Mereka nampaknya berpijak pada pandangan nihilist dalam bentuk yang ekstrem, dimana penghancuran nilai ditujukan untuk kehancuran itu sendiri.
Dalam lirik 1969, Iggy berujar: “its 1969, another year for nothing to do”–lirik ini, dan juga lirik lain lagu-lagu mereka adalah gelombang skeptisisme bertubi-tubi. Iggy bukanlah seorang revolusioner yang mengusung perlawanan pada otoritas dan menawarkan dunia yang lebih baik. Ia tidak menawarkan apapun, dan dengan sadar menyatakan bahwa pada akhirnya “kita semua akan hancur” (tergambar dalam anthem kehancuran, We Will Fall). Bahkan lirik “I wanna be your dog” mengingatkan pada tokoh Lucky dalam drama Samuel Beckett “Waiting for Godot” – bahwa Lucky menjadi begitu menakutkan karena ia melakukan penghancuran nilai paling esensial: yaitu melalui penghancuran (nilai) diri dan membiarkan tali kekang Pozzo, menyeretnya sepanjang cerita. Bagi The Stooges, pengaruh ini mereka peroleh dari band destruktif yang lahir sebelumnya, The Doors – dan Iggy, seperti halnya Morrison melakukan tindakan penghancuran nilai yang sama berbahayanya. Namun The Stooges melakukan apa yang tidak berani dilakukan oleh The Doors: mereka melakukan penghancuran diri, juga dalam segi musik. Sehingga, musik kasar nan mentah The Stooges bukanlah bentuk ketidakmatangan (atau ketidakmampuan dalam bermusik seperti yang didengungkan oleh media), akan tetapi sebagai bentuk pernyataan sikap, baik dalam bentuk nihilistik ataupun estetik para personilnya.
The Stooges menggebrak dalam waktu singkat dengan mengeluarkan tiga album fenomenal: The Stooges (1969), Fun House (1970) dan Raw Power (1973)–dan kembali bergabung pada tahun 2003 untuk tujuan (mungkin hanya) nostalgia. Ketiga album tersebut tidak mendapatkan banyak pendengar karena bunuh diri musikalitas yang mereka lakukan dari awal. Dan keempat pemuda yang tergabung dalam The Stooges: James Ostenberg (Iggy Pop), Ron Asheton, Dave Alexander, dan Scott Asheton – tidak bermain-main dalam penghancuran musik yang mereka lakukan, karena dalam proses pembuatan albumnya terdapat nama John Cale dan David Bowie, dua musisi yang juga dikenal dengan perilaku nihilist dosis tinggi. Iggy Pop memberikan penggambaran singkat akan musiknya: It was free-fall. We didn’t stop till we hit the bottom. Keberanian inilah yang menjadikannya prolific–bahwa dalam setiap kemandegan nilai yang hadir dalam sejarah, kita merindukan sosok Iggy, sang nihilist tanpa ampun. Keberanian, yang sulit kita temukan pada nihilist-nihilist era millenial.
kontak via editor@antimateri.com
no fun, my babe..no fun!
Ranum gini li? Masa gk ada yg protes? Fucking Sheep! Ahahaha..
doped, i guess…
Keren-keren tulisan nya mba, boleh minta kontak nya? line / pin bb. buat sharing2 hehe