Nama Diego Velázquez erat kaitannya dengan kehidupan istana. Tentu saja, mengingat posisi Velazquez sebagai pelukis utama kerajaan Spanyol di bawah Raja Phillip IV yang berkuasa pada kirasan 1621-1665. Lukisan-lukisannya lantas menjelma sebagai epitome kedigdayaan Spanyol yang tertuang dalam imaji heroik kemenangan perang serta potret-potret para bangsawan yang [sepertinya] tidak pernah mengenal penderitaan–kecuali derita dan perjuangan untuk duduk diam ketika lukisan tengah digarap. Namun, sebelum berkutat dengan para patron kaya raya, Velázquez menghabiskan masa mudanya di tengah geliat kota Sevilla–yang pada abad 17 M merupakan pusat perkembangan seni di Semenanjung Iberia–dan menghasilkan jajaran lukisan tentang aktivitas keseharian di sudut rumah dan kedai-kedai rakyat jelata, atau dikenal dengan sebutan lukisan Bodegón (Robinson, 1906). Adapun ulasan kali ini akan mengkhususkan diri pada koleksi Bodegón sang maestro kenamaan atas alasan yang sederhana saja: karena gaya ini menjadi penciri awal karir Velázquez, sekaligus mencari sensitivitas khas Spayol dalam gelas-gelas anggur serta interaksi hangat di sudut-sudut dapur.
Lukisan Bodegón (atau Bodegónes dalam bentuk jamak) sekilas memiliki banyak kesamaan dengan gaya genre painting (lukisan tentang aktivitas keseharian orang biasa, berkembang di Belanda pada abad 17 M) atau gaya still life (lukisan tentang objek/benda yang tidak bergerak, banyak dipengaruhi aliran Flemish dan Baroq Italia pada kisaran 15 dan 16 M). Namun, baik genre painting ataupun still life senantiasa berada di bawah bayang-bayang kemegahan neo-klasik dan realism baroq, menjadikan posisi keduanya lebih berfungsi sebagai dekoratif (terlepas dari fakta bahwa terdapat genre painting karya-karya Vermeer misalnya, yang memiliki kerumitan setara realisme Rembrandt; atau eksposisi still life Caravaggio yang tidak bisa dilepaskan dari gagasan-gagasan mitologi klasik).
Posisi sekunder ini, sebaliknya, tidak dialami oleh gaya lukis Bodegón–sebuah kondisi yang membedakan Bodegón dengan gaya genre painting dan juga still life. Setidaknya terdapat dua alasan utama yang mengangkat Bodegon setara dengan gaya realisme, baroq, dan neo-klasik Spanyol. Pertama, Bodegon–walaupun berkutat pada aktivitas banal–kerap menggunakan alusi biblikal ataupun simbolisme mitologi klasik, membuatnya berbeda dengan kebanyakan genre painting khas Belanda yang mengacu pada konsepsi realisme. Kedua, lukisan-lukisan baroq dan neo-klasik yang berkembang di Spanyol lebih sederhana ketimbang lukisan baroq dan neo-klasik Italia ataupun Flemish–yaitu dengan memunculkan sensitifitas emosi (dengan pengaruh pencahayaan yang redup) ketimbang kemegahan angkuh yang dimunculkan dalam simbol dewa-dewi dan permainan warna yang memukau. Karakter inilah yang kemudian menyejajarkan tema Bodegón dengan gaya lukis lainnya: selama ada sensitivitas disana, maka perbedaan tema tidak menjadi penting.
Velázquez adalah salah satu maestro yang ikut mempopulerkan gaya Bodegón dengan landasan ide pada pengamatan sehari-hari serta pengaruh dari gurunya, Francisco Pacheco. Dari sekian lukisan Bodegón yang dihasilkan Velázquez, terdapat setidaknya tiga yang menarik untuk diulas (lebih tepatnya menarik perhatian saya sendiri :p). Pertama, lukisan berjudul Cristo en la casa de María y Marta/Christ in the House of Martha and Mary (1618) yang merupakan interpretasi Velázquez tentang kisah biblikal tatkala Yesus dan pengikutnya diterima secara terbuka di rumah dua orang saudari, Martha dan Mary. Yang menarik dari interpretasi Velázquez adalah eksposisi ruang dapur yang lebih dominan dibanding penerimaan Yesus itu sendiri. Interpretasi ini sebetulnya telah berkembang bersama tema vanitas (gerakan protestan) sejak abad 16 (sebagaimana digambarkan oleh Joachim Beuckelaer dan Pieter Aertsen). Namun, Velázquez, memberi sentuhan ‘Spanyol’ dalam lukisannya: yaitu sensitivitas emosi Martha dan Mary yang tertuang jelas dalam lukisan.
Sensitivitas emosi ini juga muncul dalam lukisan El Aguador de Sevilla/The Waterseller of Seville (1620); sebuah potret pria penjual air yang memberikan segelas air kepada seorang anak kecil dengan latar figur kabur dibelakangnya. Tidak ada hal yang istimewa dalam subjek yang dipilih karena memang tidak disandingkan dengan tema biblikal ataupun simbolisasi tertentu. Namun, lukisan ini dinyatakan mampu menjembatani gaya realism dan impressionisme–dimana yang hal nampak menyatakan dirinya sendiri, dan bukan ‘dibingkai’ untuk menyatakan sesuatu (Ortiz, dkk., 1989). Dua abad kemudian, Édouard Manet, maestro lukisan modernisme Perancis, menyatakan kuatnya pengaruh gaya lukis Velázquez dalam karya-karyanya (eksposisi figur sebagaimana dilukiskan dalam El Aguador de Sevilla)–dan rasa-rasanya kita akan mengangguk setuju ketika melihat lukisan Manet berjudul Boy Carrying a Sword.
Lukisan Bodegón Velázquez lain yang menarik perhatian adalah lukisan berjudul Las Hilanderas (The Spinners). Walaupun masuk kedalam kategori Bodegón, lukisan ini dihasilkan di akhir karir sang maestro, yaitu pada kisaran 1657. Dalam Las Hilanderas, Velázquez menunjukkan kelasnya, yaitu dengan menampilkan dua lukisan dalam satu bingkai. Pada latar, Velázquez menampilkan lukisan baroq khas italia, sedangkan aktivitas banal perempuan penenun diangkat menjadi tema utama. Terlepas dari detil Bodegón yang memukau, Las Hilanderas juga menampilkan interpretasi mitologi Ovid tentang Arachne yang menantang Athena dalam kompetisi menenum. Athena yang iri pada kemampuan Arachne lantas mengubahnya menjadi laba-laba. Mitologi ini memberikan layer tambahan pada tema Bodegón, yaitu ketika aktivitas sehari-hari mampu menterjemahkan (atau diterjemakan sebagai) mitologi klasik.
Dalam khasanah seni lukis Spanyol, Bodegón memiliki tempat tersendiri–terlebih ketika lukisan Bodegón tersebut lahir dari guratan kuas seorang Diego Velázquez. Atas kuatnya sensitivitas dan gaya lukis khas yang memberi pengaruh kuat pada generasi selanjutnya, Velázquez dinyatakan sebagai salah satu pilar seni lukis Spanyol (besama Goya dan Picasso, dua pelukis yang juga sangat kuat dipengaruhi oleh Velázquez). Gagasan tentang karakter lukis Velázquez yang ia kembangkan selama menjadi pelukis kerajaan akan disampaikan pada kali lain. Sebagai penutup, syair dari penyair Sevilla, Rafael Alberti, nampaknya mampu mewakili kekaguman atas karya-karya Velázquez. Ungkapnya:
En tu mano un cincel,
pincel se hubiera vuelto,
pincel, solo pincel,
pajaro suelto.
In your hand a chisel,
would have become a brush,
a brush, an ordinary brush,
a bird on the wing.
Sumber Gambar: Wikimedia Commons
Sumber Bacaan:
Robinson, J. C. 1906. The Bodegones and Early Works of Velázquez. The Burlington Magazine for Connoisseurs, Vol. 10, No. 45 pp. 172-183.
Ortiz, A., Sanchez, A., Gallego, J. 1989. Velázquez. The Metropolitan Museum of Art
kontak via editor@antimateri.com