Wild (Kind of) Poetry

Terasa ada yang ganjil ketika menelusuri scene punk New York di akhir tahun 1970an – disana tentu kita menemukan chaos: kekacauan sistematis yang ditampilkan The Ramones, New York Dolls hingga The Voidoids. Juga kita akan menemu para pemberontak artistik dipimpin oleh David Byrne, pentolan Talking Heads, bersama Blondie dan Suicide yang memelintirkan makna (punk)rock sehingga dunia mengenal genre new wave. Dua hal tadi: kekacauan dan pemberontakan menjadi warisan turun temurun dalam perkembangan scene musik setelahnya – mulai dari post- punk, no wave, grunge, hingga alternative – yang kesemuanya berpijak pada (katakanlah) landasan ontologis yang sama. Namun, terdapat satu pembeda antara gairah punk akhir tahun 70an yang tidak dimiliki oleh generasi selanjutnya, yaitu: sublimitas – karena hanya pada era tersebutlah kita menemukan skena musik punk dalam bentuknya yang paling puitis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sublimitas memiliki arti “menampakkan keindahan dalam bentuknya yang tertinggi; amat indah; mulia; atau utama”. Bagi para pendengar berpengalaman, sandingan kata sublim untuk punk yang terlahir pada era tersebut tidaklah berlebihan – terlebih ketika seluruh tanda penunjuk arah berujung pada satu album yang dirilis pada tahun 1977, Marquee Moon – maka tersadar lah kita bahwa memang ada yang ganjil pada scene punk di awal kelahirannya.


(Television, Torn Curtain)

Marquee Moon adalah sebuah karya jenius yang merupakan hasil pencapaian tertinggi dari Television, dan salah satu album terbaik dalam sejarah musik modern. Awalnya, saya tidak ambil pusing dan percaya saja pada apa yang dikatakan media ketika Marquee Moon dikategorikan dengan gampangnya sebagai art-punk. Kategori ini muncul tiba-tiba karena jajaran lagu didalamnya terlalu “progresif” untuk punk pada umumnya (single sekaligus judul album, Marquee Moon, berdurasi sepuluh menit dan lagu lain dalam album ini rata-rata berdurasi lima menit, sedangkan format umum yang dipopulerkan oleh The Ramones berdurasi maksimal tiga menit). Namun pemahaman akan art (seni) yang telah begitu cair, menjadikan pelabelan media tidak lagi memuaskan. Postmodernisme sedikit banyak bertanggung jawab atas hal ini, karena pada akhirnya kita harus mengakui bahwa nilai sebuah karya seni tidak lagi didasarkan pada konsensus adiluhung (apalagi media), tapi pada pemaknaan personal. Lalu, jika bukan kategori art dan non-art, apa yang membuat Marquee Moon dan scene punk New York di penghujung 70an menjadi berbeda?. Puluhan kali saya tersesat dalam upaya memahami konteks jaman ini, hingga takdir mempertemukan saya dengan sebuah buku mungil berjudul The Night. Buku ini ditulis oleh salah satu pasangan paling populer dalam sejarah musik: Patti Smith dan Tom Verlain. Dari buku inilah saya menyadari bahwa scene ini menjadi berbeda karena dihuni oleh para musisi setengah penyair yang tergila-gila bukan hanya pada Velvet Underground dan The Stooges, tapi juga pada Arthur Rimbaud, William Blake, Stéphane Mallarmé, Charles Baudelaire, Gustave Kahn, Ezra Pound hingga Paul Verlain (penyair yang terakhir ini jelas berbekas bagi Tom – yang kemudian mengadopsi nama sang penyair). Pengaruh ini memberi warna (puitis) yang sangat kental bagi Television, karya-karya Patti Smith dan juga The Voidoids yang dibentuk oleh Richard Hell paska perseteruan dengan Verlain. Mereka jugalah yang membawa punk ke panggung utama CBGB dan menjadikan New York sebagai sentral bagi punk borjuis (nampak tidak mungkin, tapi sungguh ada). Juga menyandingkan scene punk dengan dunia transenden para pujangga kawakan seperti Allen Ginsberg dan William Borrough – sebuah benturan antara dua kutub bersebrangan yang menghasilkan sublimitas liar – warna yang tidak ditemui pada generasi punk setelahnya.

Magnetic disorder!
Brutal exhalation! I breath and breath
like a toppling steeple! The old Style
cover me like a blanket of needles.
(Tom Verlain, ii, The Night)

Entah bagaimana, atmosfer sublim ini hilang ditelan jaman. Dan kini, rasanya agak sulit menemukan sosok seperti Tom Verlain dan Richard Hell – dua anak muda Dellaware yang menjajaki New York untuk menjadi penyair (dan bukan musisi, pada awalnya). Keduanya merupakan bohemian dengan selera tinggi pada sastra dan musik. Referensi Verlain mencakup musik klasik hingga jazz, dan baru mengangkat gitar ketika mendengar Velvet Underground (dengan penekanan: ia bosan memainkan piano dan menemukan gitar sangat mudah dimainkan). Sedangkan Hell merupakan penulis lirik yang piawai (salah satu gubahannya, Blank Generation, menjelma lagu kebangsaan yang merangkum kegelisahan lintas temporal). Keduanya membentuk The Neon Boys tapi tidak bertahan lama karena perbedaan teknikalitas antara Verlain dan Hell – perseteruan ini berakhir dengan Verlain menyingkirkan Hell lalu membentuk Television. Dalam Television Verlain merancang sebuah fusi antara punk dan puisi, sehingga hadirlah Marquee Moon, yang jika harus digambarkan, mungkin akan berbunyi seperti ini “sebuah album yang menggabungkan lirik simbolis, pandangan nihilist, percikan mimpi surrealist serta eksplorasi musikalitas dinamis“. Tapi tentu, gambaran tersebut adalah omong kosong, karena musik tidak dapat sepenuhnya dirangkum oleh kata-kata: ia membutuhkan bunyi dan sunyi.


(Television, Marquee Moon)

I remember how the darkness doubled
I recall, lightning struck itself
I was listening, listening to the rain
I was hearing, hearing something else

Lirik di atas merupakan penggalan dari Marquee Moon yang kerap dinyatakan kritikus sebagai salah satu lagu terbaik sepanjang masa. Namun, karena visi perfeksionis Television berbenturan dengan arus utama musik (punk) saat itu, maka penjualan album tersebut tidak memberikan jaminan kesuksesan bagi para personelnya. Gelagat seperti ini sebetulnya bukan hal asing, karena industri lebih memilih untuk menjual gaya hidup daripada kualitas musik. Hal ini jelas terpampang, bahkan ketika Lloyd dan Verlain dinobatkan sebagai duet gitaris terhebat dalam genre punk, dan pengerjaan demo album yang digarap tangan dingin Brian Eno, tidak menjadikan Television sukses secara komersial. Kondisi ini berlanjut ketika Television merilis album kedua yang berjudul Adventure pada tahun 1978, kesuksesan komersial semakin menjauh ketika kritikus memberikan beban bayang-bayang orisinalitas Marquee Moon pada album kedua tersebut – menjadikan Adventure secara harfiah menjadi petualangan terakhir bagi Verlain bersama Television. Memang mereka bergabung kembali pada tahun 1990 dan merilis album berjudul Television, namun keajaiban Marquee Moon nampaknya menjadi kutukan tersendiri: karena apapun yang terlahir setelahnya (termasuk solo karir para personelnya), senantiasa dibandingkan dengan kemegahan album tersebut. Seperti ada kekesalan terpendam bagi Verlain pada keberhasilan album yang menempatkan namanya di papan atas musisi punk, tapi sekaligus menjadi boomerang pada karya-karya selanjutnya. Kekesalan ini nampak jelas karena hampir dalam setiap wawancara ia menolak untuk membicarakan “era CBGB” dan kebesaran Television di penghujung tahun 70an – sehingga seringkali wawancara dengan sosok jenius ini berakhir dengan perbincangan tentang puisi dan penyair, tanpa membicarakan musik sama sekali. Bagi saya sendiri, Tom Verlain dan Television adalah satu lagi kisah tentang korban dari sang Muse yang datang pada penyair – ketika ia hadir, bulan nampak begitu tanpa cela dan terciptalah sebuah rangkaian puisi liar dalam Marquee Moon – lalu sang Muse pergi seketika tanpa meninggalkan pesan apapun. Hanya penyair sekelas Arthur Rimbaud yang tahu kapan Muse akan pergi sehingga ia memutuskan berhenti untuk berpuisi. Tapi bagi para panyair lain, kepergiannya kerap berakhir dengan matinya kata-kata – dan upaya pencarian kembali, dalam istilah Rimbaud, akan menjadi A Season in Hell.

Share on:

Leave a Comment