Ultraviolence

Perlu empat orang untuk meyakinkan saya dalam memulai telaah tentang agresifitas, yaitu: seorang psikiater revolusioner abad 20, seorang pecinta binatang yang sok tahu, dan dua orang novelis dengan cerita memukau. Sang psikiater tidak lain dari Sigmund Freud yang terkenal dengan teori berlapisnya tentang kesadaran manusia, termasuk tentang agresifitas dan sebab musababnya. Sosok lainnya adalah Konrad Lorensz, pakar terkemuka dalam perilaku binatang, khususnya ikan dan burung, yang secara tiba-tiba membuat analisis tentang perilaku manusia. Tentu saja teorinya mendapat kritik tajam karena ia dianggap tidak kompeten, tetapi karena publik menyukainya, buku Lorensz laku keras. Alhasil salah satu teori terpenting tentang agresi lahir dari popularitas, bukan dari validitas ilmiah para pakar. Sedangkan dua novelis yang berhasil menggambarkan kekerasan secara ikonik, yaitu: Anthony Burgess melalui novel distopianya berjudul A Clockwork Orange, dan Manik Bandopadhyay melalui sebuah cerita pendek berjudul Prehistoric. Melalui pembacaan dan interpretasi terhadap gagasan dari keempat sosok diataslah, lambat laun teka-teki agresifitas (manusia) mulai terkuak – dengan meninggalkan lebam “keterkejutan” dalam setiap langkah pengungkapannya.

Cerita Anthony Burgess-lah yang pertama kali menganggu saya. A Clockwork Orange pertama kali saya temui dalam bentuk film adaptasi garapan Stanley Kubrick, namun karena begitu terkesan, saya lantas mencari bukunya dengan tekad menemu apa yang mungkin tidak tersampaikan dalam film. Pencarian tersebut agak sedikit sia-sia karena Kubrick menerjemahkan novel Burgess dengan sangat baik (bahkan karena kepiawaian Kubrick, A Clockwork Orange dalam bentuk film lebih mengemuka dari bukunya). Figur utama dalam buku ini adalah Alex, remaja 15 tahun dengan hobi yang sedikit ekstrim untuk anak seusianya, yaitu memperkosa, menyiksa, dan mabuk-mabukan – bersama dengan gengnya, ia menjarah dan menyiksa siapapun yang mereka inginkan. Tidak aneh ketika kesan pertama tentang A Clockwork Orange adalah eksposisi kekerasan. Namun, letak ketajaman Burgess bukan pada kekerasan dosis tinggi yang ditunjukkan Alex, tapi pada bagaimana “negara” berupaya merepresi kekerasan tersebut melalui sebuah eksperimen ganjil. Proses inilah yang menjadi alur utama cerita, bahwa Alex ternyata dapat diubah, dari seorang pecandu kekerasan menjadi seseorang yang sama sekali tidak berbahaya melalui satu tindakan: penghilangan agresifitas. Namun ketika sisi agresifnya hilang, Alex dihadapkan pada kenyataan bahwa dirinya tidak berbeda dari anjing pincang, atau lembu terlemah dalam kawanan – karena dalam susunan rantai kekerasan, ia berada pada posisi terbawah: sebagai korban.

Penggambaran Burgess tentang agresifitas senada dengan gagasan yang dikemukakan oleh Lorenz melalui On Agression yang keluar hanya berselang 4 tahun setelah A Clockwork Orange diterbitkan dan menggegerkan publik Inggris di tahun 1962. Melalui On Agression, Lorenz berpendapat bahwa agresifitas adalah insting bawaan yang hadir dalam setiap fase evolusi manusia. Untuk memahami kalimat ini, tumpukan interpretasi yang telah mendistorsi makna agresi harus dikesampingkan, karena apabila melihat definisi dalam kamus, agresi hanya dipahami dalam konteks yang destruktif. Untuk itu diperlukan pendefinisian secara harfiah, karena agresi pada dasarnya memiliki arti “bergerak ke depan”, berasal dari kata aggredi (gradus yang berarti “langkah”), dan memiliki lawan kata regredi yang berarti “bergerak ke belakang”. Insting “melangkah” inilah yang kemudian hadir dalam setiap fase evolusi: yaitu sebuah langkah yang diambil untuk bertahan dari tantangan yang dihadirkan oleh alam. Dengan demikian, agresi sebagai bentuk insting untuk mempertahankan diri harus dimiliki oleh setiap makhluk hidup. Lorenz menegaskan bahwa insting agresif merupakan pilar keberlangsungan hidup suatu spesies dan menjadi sarana dalam proses seleksi alam – dengan menyingkirkan (si)apa yang dianggap tidak perlu. Sehingga jika keberadaannya direnggut maka kondisi yang dihadapi oleh Alex, sang antihero dalam novel Burgess, akan menjadi kenyataan – menjadi korban dalam dikotomi mangsa dan pemangsa.

Bangun cerita lain yang menggelitik rasa penasaran tentang agresitifas berasal dari seorang penulis Bengali, Manik Bandopadhyay melalui satir sosial berjudul Prehistoric dengan sosok bromcorah bernama Bhiku sebagai figur utamanya. Dalam cerita ini tidak digambarkan bagaimana Bhiku mendapatkan energi agresif yang begitu besar, sehingga walaupun ia memiliki cacat fisik (tangannya tertembak dalam sebuah upaya perampokan yang gagal), Bhiku mampu membunuh seseorang yang memiliki kekuatan dua kali lebih besar darinya. Nampaknya Bandopadhyay secara sengaja tidak memberikan petunjuk tentang asal muasal agresifitas Bhiku dengan satu tujuan: ia ingin menampilkan agresifitas dalam konteks sosial, bukan psikologis. Dalam pandangan Bhiku, dunia selalu menanti untuk ditaklukan. Namun Bhiku berhadapan dengan sejarah, dimana manusia telah belajar menciptakan aturan dan hukum yang rumit sehingga penaklukan dapat dilakukan dengan cara yang lebih “beradab” – dua diantara aturan yang paling dibenci Bhiku adalah pekerjaan dan pernikahan. Bikhu lalu bertindak atas fitrah manusia yang telah diwariskan leluhurnya sejak jaman prasejarah: yaitu agresifitas melalui tindak kekerasan untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Melalui karakter Bikhu, Bandopadhyay berhasil menohok dengan sebuah realita: bahwa kejahatan tidak lain adalah prilaku prasejarah yang tercecer dalam masyarakat yang beradab – karena penaklukan, penghancuran, bahkan pembunuhan bukanlah sebuah kejahatan apabila telah diinstitusikan kedalam sebuah norma.

Diakhir cerita, Bikhu mendapatkan kemenangan paripurna, yaitu membunuh saingannya dan mendapatkan wanita yang ia inginkan – setelah mendapatkan keinginannya, ia menjadi tidak berbahaya untuk sementara waktu, sampai kondisi mendesaknya kembali untuk menjadi agresif. Sedangkan diakhir cerita Burgess, Alex mendapatkan kembali agresifitasnya yang dapat ia gunakan sesuka hati. Namun, ketika kedua cerita berakhir, agresifitas dalam dunia nyata tetap berlanjut, bahkan muncul dalam pengulangan – mulai dari Hitler hingga ISIS, agresifitas manusia hadir dalam skala destruktif yang mencengangkan. Violence (sebagai sarana agresifitas), dalam kasus ini telah berubah menjadi ultraviolence, yaitu kondisi dimana kekerasan muncul dalam bentuk masif, terbuka dan diterima sebagai sebuah bentuk kesenangan. Dalam A Clockwork Orange, Alex menghayati kekerasan dengan latar Symphoni kesembilan dari Beethoven – lagu yang juga dipilih Hitler untuk merayakan agresi dominan Nazi. Dan bukan tidak mungkin, dalam melakukan eksekusi mati, seorang teroris memutar sebuah lagu tertentu, agar tindak kekerasan yang dilakukannya – dapat lebih dinikmati. Melalui penggambaran ini, agresi telah melenceng jauh dari fungsi alamiahnya sebagai insting pertahanan diri. Di tangan manusia, agresi menjadi sesuatu yang destruktif – karena hanya manusialah yang mampu membunuh tanpa alasan keterdesakan biologis atau pertahanan. Binatang, bahkan singa sekalipun, tidak bertindak atas pola agresi destruktif ini.

Lalu bagaimana kita mampu memahami agresi destruktif? Darimana ia hadir? Karena jika mengacu pada konsepsi Lorenz tentang insting agresi, apa yang diwariskan oleh sejarah evolusi adalah agresi sebagai pertahanan diri, bukan penghancuran seperti yang nyata-nyata terpapar dalam televisi dan jaringan maya saat ini.

Jawaban atas pertanyaan tadi secara implisit telah dijawab oleh Manik Bandopadhyay dalam Prehistoric. Ada sebuah perubahan besar pada diri manusia ketika bersinggungan dengan revolusi sejarah: bahwa ketika hukum dan aturan terbentuk, manusia terjebak pada dilema memenjarakan atau membebaskan insting agresi – inilah yang oleh Freud dinyatakan sebagai hasrat. Kehadiran hasrat bersandingan dengan perkembangan masyarakat yang semakin kompleks, yaitu ketika manusia tidak mampu lagi menggunakan insting agresinya untuk mencapai keinginannya karena berbagai hambatan yang tercipta dalam struktur masyarakat, misalnya kelas, harta atau pendidikan. Dan karena keterbatasan untuk menggunakan instingnya, maka manusia bertindak sesuai dengan hasrat – pada titik inilah, kita melihat perubahan makna agresi dari sistem pertahanan menjadi energi destruktif. Alex merupakan penggambaran tentang energi destruktif murni – ia adalah manusia yang digerakkan oleh hasrat. Demikian pula Hitler, dan bukan tidak mungkin bahwa kekerasan model ini akan terulang kembali, karena tidak ada batasan dalam hasrat manusia. Teritori, ras, ideologi, ekonomi, agama, pernah menjadi horisonnya, dan kita tidak mampu membayangkan hasrat destruktif apa lagi yang ada di benak umat manusia. Hal inilah yang menjadikan novel Burgess begitu menggangu: bahwa salah satu takdir manusia adalah menyaksikan kehancuran demi kehancuran, tanpa mampu berbuat apa-apa. Burgess menyindir ketidakberdayaan manusia melalui kalimat Alex yang terkenal  – “Viddy well, little brother. Viddy well. This would sharpen you up and make you ready for a bit of the old ultra-violence.”

Referensi:
Bandopadhyay, Manik, 1961, “Prehistoric” dalam A Treasury of Modern Asian Stories, The New American Librabry, New York
Burgess, Anthony, 1962, A Clockwork Orange, William Heinemman Ltd., London
Fromm, Erich, 2000, Akar Kekerasan: Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia (terj), Pustaka Pelajar Yogyakarta
Freud, Sigmund, 1930, Civilization and Its Discontent, S.E, Vol. 21
Lorenz, Konrad, 1966, On Agression, Harcourt Brace Jovanovich, New York

Share on:

Leave a Comment