Township: Musik, Identitas dan Spiritualitas

Penelusuran musik modern (Jazz, Rock dan Blues) pada akhirnya akan bersentuhan dengan ritmis tanah afrika. Namun eksistensi minor afrika dalam arus utama kebudayaan dunia menjadikan pengetahuan tentang benua ini sangat terbatas. Termasuk pengetahuan tentang musik, khususnya Afrika Selatan, yang gaungnya hanya diwakili oleh segelintir musisi seperti Miriam Makeba dan Hugh Masekela (atau sesekali diangkat dalam panggung amal anti rasisme). Alhasil, musik rakyat yang menjadi jiwa bagi Afrikaaners[1] luput begitu saja dari perhatian, sedangkan fungsi musik bagi masyarakat Afrikaan bukan hiburan semata tapi sebuah pernyataan identitas juga ekspresi spiritualitas. Salah satu geliat musik Afrika Selatan kemudian dikenal dengan sebutan Township Music. Coplan (2007) menyebutnya sebagai: ritme yang lahir di bawah todongan senjata rejim apartheid. Namun ketika ditelusur lebih jauh, Musik Township memiliki pijakan pada penghormatan atas Ubuntu, Ubunye dan Amandla[2], kepercayaan yang mengatur ritme sosial masyarakat Afrika Selatan.

Skena musik di Afrika Selatan bersinggungan dengan sejarah kolonialisme. Semakin berkembangnya koloni pada awal tahun 1920an membawa serta memori budaya dari Eropa–sehingga selain gereja, dibangun pula teater pertunjukan dan pub lengkap dengan musisi Jazz-nya. Para musisi, penari, komedian juga aktor menjadi bagian dalam pengadopsian budaya vaudeville di Afrika Selatan. Musisi dan aktor tampil secara eksklusif di teater-teater Johannesburg dan pertunjukkan musik menjelma menjadi simbol status sosial yang hanya dapat dinikmati golongan elit (Rycroft, 1958). Pola elitist ini bertahan selama masa perang dunia, namun pada tahun 1976, sebuah gerakan pelajar (The Soweto Uprising) berhasil menyuarakan kembali nyanyian rakyat yang telah lama dibungkam. Soweto adalah singkatan dari South Western Townships, sebuah wilayah yang diperuntukkan bagi kulit hitam di Johannesburg. Gerakan massa ini berhasil menghentak dunia dan mendorong pada penetapan sangsi ekonomi atas rejim apartheid Afrika Selatan. Sejarah mencatat bahwa sejak The Soweto Uprising, butuh dua dekade lagi bagi Afrika Selatan untuk menghancurkan tembok apartheid. Namun tahun 1976 memiliki arti tersendiri bagi masyarakat Suweto yang berhasil menggapai sebuah kebebasan lain yang setara dengan kebebasan politik: yaitu kebebasan bermusik.

The Soweto Uprising berhasil merobohkan tembok-tembok teater elit dan membawa kembali musik ke tengah-tengah rakyat. Coplan dalam Township Tonight! (2007) menggambarkan bahwa paska insiden tersebut jalanan Soweto berubah menjadi pesta musik setiap malamnya. Coplan mengungkapkan: “Well, who could resist a place where people of all races carousing all night was considered a political victory; and playing illegally, as it was then, with an African band (Malombo Jazz) in an African township hall, produced not a single police report from the dozens of informers who must have been present. The gun against the drum, and the drum won: that was heart-thumping fun”. Pada pesta-perta musik illegal inilah hadir sederet musisi dengan rentang genre yang beragam–Rea Gale, Jikale Ewameni, Goli Kwela, Mkatakata, adalah beberapa diantaranya.

Secara harfiah, township dapat diartikan tempat penghubung antara satu kota dengan desa-desa di sekitarnya. Di Afrika Selatan, township merupakan sebuah wilayah tempat tinggal khusus bagi keturunan Afrika atau immigran dari India atau Melayu (yang semuanya dipukul rata: kulit hitam). Adapun dalam konteks musik, township merupakan metafora atas sebuah rute penghubung antara musik tradisi dengan musik modern. Para musisi Soweto sadar akan kegamangan identitas musik yang melanda Afrika Selatan. Di satu sisi, musik di Afrika telah banyak terpengaruh dan mengadopsi dengan sangat baik musik dari dataran Eropa juga Amerika (disini Afrika berhadapan dengan ironi karena mereka mengenal Jazz, Rock dan Blues dari selera bawaan para kolonial yang bermukim di sana–padahal, jiwa dari ritme tersebut berasal dari Afrika yang dipaksa menyebrangi atlantik dalam belenggu perbudakan). Di sisi lain, terdapat keinginan untuk kembali ke musik tradisi Afrika dengan menghidupkan kembali ritme-ritme ndunduma juga irama marabi (salah satu vokal-instumental tradisional Zulu) atau tula n’divile yang merupakan melodi khas Xhosa. Paduan kedua persepsi musik inilah yang menjadi dasar musikalitas township, sekaligus menjadi akar kegamangan identitas musik Afrika Selatan.

Kegamangan township terjadi ketika akar (musik) telah tercerabut sedangkan mimpi belum tercapai. Kondisi ini menjadi penjelas akan musikalitas para musisinya yang cenderung eksperimental dan multigenre. The Teen Troubadours dan Diepkloof Ekhaya bereksperimen pada alur jazz, Thomas Mabileza mencoba harmonisasi marabi dengan pop Tin Pan Alley, terdapat pula Nancy Jacobs and Her Sisters yang menggabungkan gaya vokal Zulu, Sotho dan Tsotsitaal. Dalam township tidak ada aturan baku, tidak ada konduktor, tidak ada pemisahan. Beberapa memang menyanyikan lagu perlawanan, namun tidak sedikit yang bernyanyi tentang cerita kehidupan pada umumnya (bahkan ada yang hanya bersenandung). Terdapat pula istilah lain yang melekat bagi musik township, yaitu dislokasie (dislocation), sebuah metafora yang menandakan bahwa musik yang mereka mainkan adalah musik antah berantah: belum mampu menggapai kembali pijakan masa lalu, pun belum mencapai bentuk ideal. Dalam pandangan Durand (1970): Townships represent a type of in-between culture, or even embody the schizophrenia of an in-between experience.

Terlepas dari kegamangan identitas, interaksi sosial memiliki peranan penting dalam skena township. Musik adalah ritme kehidupan–bahkan pijakan estetis bagi masyarakat tradisional Zulu dan Sotho. Musik juga bersinggungan dengan pemujaan tiga kepercayaan utama: Ubuntu, Ubunye dan Amandla. Guardini (1970) mengungkapkan, bahwa bagi masyarakat tradisional Afrika, pemahaman akan sekitar, juga pemahaman akan orang lain didapat melalui gerakan (tarian). Dalam pandangan masyakatat Zulu dan Sotho, tarian adalah upaya mengungkap realitas, dan musik berperan penting sebagai stimulan gerak. Dalam pesta-pesta township, Ubuntu (saya ada karena orang lain), Ubunye (integrasi kehidupan) dan Amandla (energi kehidupan)–mewujud dalam tarian komunal. Spiritualitas inilah yang membedakan township dari musik Afrika lain yang dipajang di etalase industri musik. Jika dapat diungkapkan dalam kata-kata, rasanya musik townships tidaklah menghardik layaknya musik protes, tidak membawa kepedihan layaknya blues atau kesenduan layaknya jazz, mereka hanya asik dengan keakraban mereka sendiri. Apabila mendengar sepintas, sulit untuk percaya bahwa musik township dibuat, dimainkan dan direkam dibawah tekanan rejim apartheid. Dengan kata lain, township menyajikan sebuah bentuk perlawanan subtil dari sebuah identitas yang telah porak poranda–bukan dengan kekerasan tapi dengan tidak mengindahkan lawan sama sekali. Coplan menggambarkan bahwa akhir setiap pesta musik township selalu sama: pada mulanya kebebasan politik adalah alasan utama mereka berkumpul, namun semua itu berakhir ketika musik mulai dimainkan, yang ada hanya kehangatan yang dibagi bersama.

Keterangan:
[1] Afrikaaners: seseorang yang dilahirkan di Afrika Selatan
[2] Kepercayaan tradisional Zulu dan Sotho yang mengacu pada kesatuan sosial dan energi kehidupan. Ubuntu (saya ada karena orang lain), Ubunye (integrasi kehidupan) dan Amandla (energi kehidupan)

Sumber Bacaan:
Coplan, David, 2007, In Township Tonight!, Jacana Media (Pty) Ltd, Auckland Park, South Africa
Duran dalam Cilliers, Johan, 2008, “Worshipping in the Townships–A Case Study For Liminal Liturgy?”, Praktisch-theologische Sozietät: Kirche und Gemeinde im urbanen Raum: Kulturarbeit – Bildungsarbeit – Begegnung der Religionen, Humboldt University, Berlin.
Guardini, Romano, 1997, The Spirit of the Liturgy, Crossroad, New York.
Rycroft, D. K., 1958, “The New “Town” Music of Southern Africa”, Recorded Folk Music 1 (Sept/Oct).

Sumber Musik:
Koleksi Perpustakaan Batoe Api

Share on:

Leave a Comment