Titik Diam dari Bumi yang Berputar

Jemaa al-Fna atau Assembly of the Dead merupakan jantung kebudayaan Marrakesh, sebuah kota tua di utara Maroko. Tempat tersebut pada dasarnya adalah sebuah alun-alun–pasar tradisional sekaligus tempat bagi salah satu pesta musik tertua di dataran Afrika. Sejak 1985 alun-alun tersebut telah dimasukkan kedalam daftar UNESCO World Heritage site. Tentu saja, sebagai sebuah situs, Jemaa al-Fna telah menjadi saksi banyak hal: sebagai pusat perdagangan budak di Afrika Utara, sebagai simbol kemegahan penguasa  dan musik Maroko di masa silam, hingga menjadi tempat eksekusi terpidana mati pada kisaran tahun 1050 (dari sinilah asal muasal sebutan Assembly of the Dead). Namun statusnya berubah menjadi Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity pada tahun 2001 mengingat fungsi Jemaa al-Fna bukan sekedar sebuah situs (tempat bernilai purbakala, bersifat statis dan hanya digunakan sebagai ziarah atau nostalgia sejarah), tapi sebagai pusat kebudayaan yang hidup dan menggeliat baik siang ataupun malam. Jemaa al-Fna adalah poros budaya–menjadi magnet bagi seniman (baik yang berasal dari Maroko, bahkan dari luar Maroko), juga layaknya jam yang terus berputar (karena festival musik di Jemaa al-Fna telah berlangsung selama lebih dari ratusan tahun, tanpa henti hingga saat ini).

Sebelum melanjutkan uraian tentang pesta musik di Jemaa al-Fna, saya ingin bercerita sedikit tentang kali pertama saya mendengar nama alun-alun tersohor ini. Layaknya penikmat musik pada umumnya, hal trivial–seperti dari mana saja pengaruh musik seorang musisi idola–tidak saya lewatkan. Kebetulan ketika menelusur jejak musik Jimmy Page, muncullah nama Jemaa al-Fna, tempat ia dan rekannya, Robert Plant merekam beberapa karya untuk “No Quarter”. Page-lah yang pertama kali membuat saya penasaran–pasti ada apa-apanya jika musisi sekelasnya memiliki ketertarikan khusus pada skena musik kaum Berber ini. Yang terjadi kemudian adalah temuan mengejutkan, bahwa yang menjadikan Maroko (khususnya Jemaa al-Fna) sebagai kiblat musik, bukan hanya Page, tapi juga Jimi Hendrix dan sang pionir Rolling Stones, Brian Jones. Yang terakhir ini bahkan merilis album berjudul Brian Jones Presents the Pipes of Pan at Joujouka pada tahun 1968, hasil kerjasamanya dengan musisi-musisi Joujouka, sebuah desa di Pegunungan Rif, yang terletak di utara Maroko. Dalam sejarah musik modern (terutama yang lahir pada era Beat Generation), Maroko layaknya Mekah bagi para musisi–tempat sakral yang wajib dikunjungi dengan harapan menemu inspirasi dari roh-roh penguasa padang pasir. Eksotisme adalah daya tarik yang tidak terelakkan, namun alasan bahwa Maroko menjadi menarik karena “eksotis”, rasanya tidak cukup. Ada rangkaian pertanyaan yang masih menggantung, misalnya: Seperti apa musik yang berkembang disana? Bagaimana interaksi para musisi terbangun? Mengapa dapat bertahan selama lebih dari ratusan tahun? Apakah Islam (agama yang dianut mayoritas masyarakat Maroko) mempengaruhi warna musikalitas di sana?. Pertanyaan-pertanyaan ini tidak dapat terjawab ketika saya hanya mendekatinya dari sudut “para musisi kelas dunia yang terinspirasi musik Maroko” diatas. Hingga suatu hari saya membaca karya seorang antropolog kenamaan, Clifford Geertz, berjudul “Islam yang Saya Amati”–didalamnya saya mendapat gambaran mengapa Maroko (masyarakat, budaya, hingga perilaku bermusiknya) dapat dengan tangguh bertahan menghadapi busur dan panah waktu.

Dalam uraian Geertz, masyarakat Maroko digambarkan sebagai penganut islam puritan–moralis dan agresif. Tapi jangan dulu memandang kata puritan dalam konteks yang dangkal, karena “islam puritan” dalam penjelasan Geertz memiliki makna multi lapis. Melalui kata puritan inilah, pada akhirnya, saya mendapat sedikit gambaran tentang konsep keberlanjutan pesta musik di Jemaa al-Fna. Adapun pengaruh Islam tidak dapat dikesampingkan, karena pengaruhnya telah masuk sejak Dinasti Umayyah pada abad kedelapan masehi. Namun, titik puritanisme muncul ketika Islam beririsan dengan krisis politik yang mengubah sistem raja tradisional menjadi–apa yang disebut Geertz sebagai–periode anarki teokritik. Revolusi ini terjadi pada kisaran abad lima belas dengan menguatnya pengaruh Marabout, yaitu para pemimpin keagamaan, keturunan-keturunan nabi, pengkaji kitab suci, atau pemimpin persaudaraan Sufi. Para Marabout ini mengkritik pemerintahan raja, dan banyak yang kemudian berhasil mendapatkan kekuasaan. Islam kemudian menjadi instrumen moral bagi penyebaran pengaruh politik para teokratik tersebut–posisinya menjadi ganda, sebagai orang suci sekaligus pemilik otoritas politik. Era kekuasaan teokratis ini terkikis sejalan dengan hadirnya kolonialisme dan pembentukkan negara bangsa. Namun, pengaruhnya pada masyarakat telah sedemikian melekat dan menjadi “arus dalam” pada alur kebudayaan Islam di Maroko. Untuk menjelaskan betapa puritannya masyarakat Maroko, Geertz membandingkannya dengan Islam di Indonesia (yang menurutnya merupakan kutub oposisi yang menarik). Jika Islam di Indonesia (khususnya Jawa) memiliki sifat toleran–dengan sebisa mungkin selaras tanpa menonjolkan diri, maka Islam di Maroko bersifat agresif–hadir dalam bentuk doktrin yang dipertahankan dengan penuh kenekatan. Walaupun keduanya bersifat mistis, namun terletak perbedaan mendasar yang membentuk ritme budaya. Geertz merangkumnya sebagai berikut, “Cara pendekatan yang pertama [Indonesia] pada dasarnya adalah estetik, ia menggambarkan cita-cita. Yang kedua [Maroko] pada dasarnya adalah moral, ia memberi perintah”. Penjelasan inilah yang kemudian memberikan gambaran interpretatif atas keberlangsungan dan keberlanjutan gerak budaya. Indonesia terkenal dinamis–dalam arti, nyaris tidak ada yang bertahan lama–karena budaya merupakan cita-cita estetik yang sangat bergantung pada bentuk masyarakat (atau otoritas yang berkuasa). Sedangkan bentuk kebudayaan Maroko layaknya doktrin yang ditulis di atas batu dan harus dipatuhi hingga akhir jaman. Gambaran ini menimbulkan kesan, bahwa Maroko (khususnya kegiatan bermusik di Jemaa al-Fna), sebagai sesuatu yang bergerak, tapi tidak berubah.

Frase “bergerak, tapi tidak berubah” yang kerap digunakan untuk menggambarkan pesta musik di Jemaa al-Fna memiliki keterkaitan dengan bangun masyarakat di Maroko. Dalam hal ini bentang alam memiliki kekuatan mutlak. Geertz mengungkapkan bahwa Maroko bukanlah sebuah masyarakat yang dibangun atas dasar pembentukan kota. Ia lahir di wilayah pinggiran: di tangan para petani (dengan penghasilan pas-pasan karena lahan tandus) dan para penggembala yang senantiasa bergerak dari satu sumber mata air ke mata air lainnya. Kota hanyalah persinggahan: tempat transaksi, tempat mencari apapun yang dicari, hingga tempat menjarah apapun yang dapat dijarah. Sehingga keberadaan Kota (dengan alun-alun dan segala perlengkapan didalamnya) adalah penghubung satu suku dengan suku lainnya. Kondisi ini berlangsung hingga saat ini, tidak terkecuali Jemaa al-Fna. Theodore Grame dalam “Music in the Jemaa al-Fna of Marrakesh” menggambarkan bahwa dalam seminggu, minimalnya dua puluh lima musisi tampil di Jemaa al-Fna. Jumlah ini bertambah ketika musim panen tiba atau pada masa penjualan ternak. Mereka hadir dari berbagai wilayah, dengan berbagai warna musik (walaupun terdapat dua yang mencolok: musik kaum Berber yang mendapat pengaruh Arab dan musik Gnawa yang kental dengan ritme Afrika). Selain musisi, eksotisme Jemaa al-Fna bertambah dengan kehadiran para penjinak ular yang biasanya berasal dari suku Esawa. Berbeda dengan penjinak ular di India yang biasanya bersifat individual – para penjinak ular Esawa biasanya memiliki lima orang dalam kelompoknya. Bentuk atraksi lain yang terkenal menjadi daya tarik Jemaa al-Fna adalah tarian suku Shluh dari Maroko selatan. Biasanya kelompok tari ini terdiri dari beberapa musisi dan seorang anak laki-laki sebagai penarinya–namun nampaknya tidak ada aturan baku. Selain ketiga suku diatas, banyak musisi dari kota lain yang setiap hari datang dan pergi. Musisi Berber adalah penampil utama lainnya, mereka berbagi ruang bersama dengan musisi dari Pegunungan Rif hingga Doukalla. Ritme tanpa putus inilah yang menjadikan pesta musik Jemaa al-Fna tidak seperti festival musik pada umumnya. Musik di Jemaa al-Fna tidak mengenal hari, bulan, atau musim: layaknya para peziarah, mereka bergantian menghidupkan tradisi selama ratusan tahun.

Setelah menggambarkan sedikitnya tentang keberlanjutan dan pola gerak musik di Jemaa al-Fna, terdapat sebuah pertanyaan yang masih mengganjal: adakah fungsi khusus musik bagi masyarakat Islam di Maroko? Pertanyaan ini secara singkat dapat dijawab: sangat vital. Penjelasan akan fungsi ini berkelindan kembali dengan karakter islam puritan masyarakat Maroko dan otoritas para Marabout. Dalam uraiannya, Grame menjelaskan bahwa hampir setiap pertunjukkan memiliki elemen ritual esoteris–artinya, setiap kelompok memiliki tujuan khusus dalam mengangungkan Marabout (atau orang suci yang mereka anggap sebagai pemimpin). Esoteris sendiri memiliki makna bahwa gerak atau musik yang diciptakan hanya ditujukan untuk kelompok tertentu saja (dalam hal ini pemujaan bersifat kolektif, namun hanya dibagi dalam kelompok mereka sendiri). Misalnya para penjinak ular Esawa yang mengangungkan Sidi Muhammad Ibn ‘Aisa dalam setiap pertunjukkannya, adalah salah satu contoh dari bentuk esoteris tersebut. Bagi orang luar, musik dan tarian mungkin sebatas pertunjukkan. Tapi hal ini adalah perkara lain bagi para musisi–sehingga dapat dibayangkan, riuh musik yang menggema, adalah simbol puritanisme yang bertahan melampaui batas ruang dan waktu. Oleh karena itu, tidak berlebihan rasanya jika geliat Jemaa al-Fna dapat digambarkan dengan menggunakan kiasan T.S Eliot: sebagai titik diam dari bumi yang berputar.

Referensi Musik:
Koleksi Perpustakaan Batoe Api

Referensi Bacaan:
Geertz, Clifford, 1982, Islam yang Saya Amati: Perkembangan di Maroko dan Indonesia, Yayasan Ilmu Sosial
Grame, Theodore C., 1970, “Music in the Jemaa al-Fna of Marrakesh” dalam The Musical Quarterly 56(1): 74–87

Share on:

4 thoughts on “Titik Diam dari Bumi yang Berputar”

  1. Dear pembaca, ada kesalahan menggelikan yang telah saya ralat. Awalnya saya menulis islam masuk ke Maroko abad 4, seharusnya abad 8…(sehu langsung protes, abad 4 mah islam na belum ada wkwkwkw)

    Mohon maaf, u know lah, devil lies in details…

  2. liat kandinsky yng itu, kadang ada pikiran klo dia itu serius teu sih? mungkin buat ngaheureuyan art kritik hungkul, ngetest apakah masih muji ato gak.. membedakan antara teman dan penjilat..

Leave a Comment