Tingkah Polah Manusia!

Di akhir abad 18, publik Spanyol gempar melalui kumpulan sketsa Goya yang diberi judul Los Caprichos (The Caprice atau ‘tingkah polah’ dalam padanan kata bahasa Indonesia). Terdiri dari 80 sketsa[1], Los Caprichos merupakan kumpulan lukisan kritik sosial berupa satir[2] yang menyasar hampir ke setiap pilar pokok masyarakat: mulai dari agama, institusi pernikahan, sistem pendidikan, kesehatan, mitos dan tahayul, hukum, hingga tatanan elit monarki Spanyol. Melalui rangkaian sketsanya, Goya berhasil menampilkan wajah korup masyarakat Spanyol – sebuah realita, yang menurut Goya berasal dari kebodohan berskala massal. Reaksi publik terhadap Los Caprichos meruncing pada satu opini: bahwa apa yang ditampilkan Goya adalah kasar dan rendahan – sebagai bentuk penyimpangan dari fungsi seni, yang pada waktu itu (tahun 1799 ketika Los Caprichos diterbitkan) berlaku ideologi “art can only be exist for art’s sake”[3]. Namun, pembentukan opini ini hanya merupakan keributan yang tampil dipermukaan, karena Los Caprichos mendobrak lebih dalam dari sekedar standar (ideologis) seni, tapi sebagai bentuk eksposisi bobroknya moral masyarakat – sesuatu yang senantiasa tabu dibicarakan.

Dalam sebuah iklan publikasi Los Caprichos, Goya menyatakan: “In none of the compositions which form part of this collection has the author proposed to ridicule the particular defects of any one individual”[4]. Melalui pernyataan ini, Goya sepenuhnya menyadari “ketidaknyamanan” yang akan disebabkan oleh sketsa-sketsanya, sehingga ia merasa perlu menyampaikan bahwa satirnya tidaklah ditujukan pada seseorang. Namun, ambiguitas ini memberi dampak yang lebih buruk: karena (sketsa-sketsanya) tidak bernama, maka siapapun [seakan] menemukan dirinya disana. Alhasil, publikasi Los Caprichos merupakan bencana keuangan bagi Goya, dengan hanya terjual 27 dari 240 cetak. Ditambah dengan kritik tajam dan kemarahan gereja, dalam waktu singkat Los Caprichos ditarik dari peredaran. Publik Spanyol mengharapkan “El Pintor del Rey” (Sang Pelukis Kejaraan – posisi Goya saat itu), kembali menghasilkan masterpiece “sebagaimana mestinya”: dengan melukis kemewahan istana dan berbagai perayaan gaya hidup masyarakat Spanyol di bawah Charles Ke-3. Namun, ekspektasi publik jauh dari realita, karena ternyata Los Caprichos barulah awal dari eksplorasi sisi gelap manusia yang dilakukan Goya – setelah Los Caprichos, kritik ditujukan Goya pada hilangnya kemanusiaan dalam perang (diantaranya pada lukisan berjudul The Second of May 1808 dan The Third of May 1808), dan pemaknaan inner demon yang ia tampilkan dalam berbagai lukisan gelapnya (salah satunya dapat disimak melalui lukisan berjudul Saturn Devouring His Son[5]).

No. 05 Tal para qual
№ 5 Tal para cual (Two of a kind)

Sketsa dalam Los Caprichos dimulai dengan potret diri – sebagai sebuah pernyataan bahwa ia bertanggung jawab penuh atas kevulgaran didalamnya (karena jika saja Goya mencari aman, bisa saja Los Caprichos diterbitkan dalam bentuk anonim). Pada sketsa № 2 berjudul El sí pronuncian y la mano alargan al primero que llega (They say yes and give their hand to the first comer) – Goya langsung menyasar institusi pernikahan, salah satu institusi yang dianggap paling sakral pada konteks masyarakat Spanyol saat itu. Dalam skesta ini Goya menunjukkan wajah asli pernikahan yang tidak lebih dari transaksi bisnis untuk mengamankan posisi keuangan dan posisi sosial. Perselingkuhan di kalangan bangsawan adalah sasaran berikutnya – dalam sketsa № 5 berjudul Tal para cual (Two of a kind), Goya menggambarkan perselingkuhan yang terjadi pada kalangan elit monarki Spanyol. Tapi, sketsa ini tidak berhenti disana, Goya menghardik lebih tajam bukan pada para pelakunya, tapi pada institusi agama (digambarkan dengan para suster pada latarnya), yang hanya duduk diam, bahkan ketika tindakan ini dilakukan secara terbuka. Selain pernikahan, terdapat bentuk transaksional lain yang juga mendapat perhatian Goya, yaitu prostitusi. Sketsa № 20 (There they go plucked) dan sketsa № 21 (How they pluck her!) menggambarkan pola ironis “saling mencabuti” yang dilakukan oleh pelanggan dan pelaku prostitusi – di satu sisi, sang pelanggan selalu merasa dirampok oleh jerat-jerat harga yang tidak sesuai, namun disisi lain, ia pun melakukan “perampokan” yang sama terhadap ketidakberdayaan seseorang. Ayam yang telah dicabuti bulunya (plucked) adalah simbol kebencian masyarakat Spanyol abad 18 terhadap sistem transaksional prostitusi (catat: bukan pada prostitusinya sendiri) – dan kondisi ini dituangkan Goya dalam sketsanya, tanpa tedeng aling-aling.

No. 20 Ya van desplumados
№ 20 (There they go plucked)

Institusi agama adalah sasaran lain dari satir sketsa Goya – dan ia melakukannya dikala gereja memiliki kekuatan hukum (atau dikenal dengan istilah inquisisi). Dalam sketsa-sketsanya, Goya menggambarkan para pastur sebagai goblin (monster atau iblis berbentuk mini yang muncul dalam mitos-mitos eropa abad pertengahan). Pada sketsa № 49 yang berjudul Hobgoblin, terdapat gambaran pastur dalam keadaan mabuk; sedangkan pada sketsa № 69 berjudul Sopla (Gust the Wind), Goya menampilkan pedophilia dalam lingkungan gereja. Dalam sketsa lain, goblin digambarkan tidak ada bedanya dengan penyihir, yang terbang bersama seorang pelacur (Linda Maestra (Pretty Teacher), sketsa № 68) – sebuah sindiran yang mengacu pada pembacaan bahwa pelacuran tidak hanya terjadi dalam konteks tubuh, tapi juga dalam konteks gagasan dan kepercayaan (yang seringkali “dilacurkan” untuk kepentingan tertentu)[6]. Sketsa-sketsa mengenai institusi agama inilah yang menyebabkan Los Caprichos harus ditarik dari peredaran – dan satu-satunya alasan mengapa Goya dapat lolos dari hukuman yang lebih berat adalah karena imunitas yang diberikan kerajaan Spanyol kepadanya.

No. 37 Si sabrá mas el discipulo
№ 37Si sabra más el discípulo? (Might not the pupil know more?)

Satir lain dituju sketsa Goya pada sistem pendidikan – sebuah sketsa menggelitik berjudul Si sabra más el discípulo? (Might not the pupil know more?) (Sketsa № 37), dengan gamblang mengkritik institusi pendidikan yang arogan. Para pengajarnya kerap kali sibuk menegaskan diri sebagai pemilik pengetahuan, lupa menyadari kemungkinan jika sang murid lebih tahu dari dirinya. Pola – pengajar yang sok tahu – ini mengakibatkan kondisi yang ditunjukkan pada sketsa № 39 berjudul Hasta su abuelo (And so was his grandfather): bahwa hasil dari arogansi pengajar adalah pengetahuan yang tidak beranjak kemana-mana. Kritik terhadap sistem pendidikan diperkuat oleh kritik tajam tentang rasionalitas. Dan melalui sketsa-sketsa tentang rasionalitas inilah, Los Caprichos dikenal secara luas. Dua diantaranya adalah sketsa berjudul Ya tienen asiento (Now they are sitting well) – tentang jungkir baliknya pemikiran manusia; serta sketsa berjudul El sueño de la razón produce monstruos (The Sleep of Reason Produces Monsters) – tentang bagaimana pengabaian terhadap rasionalitas akan berujung pada kebodohan, tahayul, dan kejahatan (yang pada masyarakat Eropa abad 18 disimbolkan oleh burung hantu, kucing dan kelelawar).

No.43 El sueño de la razon produce monstruos
№ 43: El sueño de la razón produce monstruos (The Sleep of Reason Produces Monsters)

The Sleep of Reason Produces Monsters menghantarkan Francisco Goya sebagai salah satu modernist – bahkan jauh sebelum modern art menjadi arus utama dalam seni (yaitu satu abad setelahnya). Imaji dalam sketsa tersebut mendobrak pakem-pakem pengetahuan lama yang didasarkan pada agama juga tahayul – dengan menjadikan keduanya sebagai sumber kebebalan – merupakan salah satu alegori pertama tentang rasionalitas yang tertuang dalam sketsa. Lagi-lagi, statusnyalah yang menyelamatkan Goya dari tuduhan ekletik, sehingga ia dapat terus berkarya dan menghasilkan berbagai lukisan “mencekam”, sebuah kesan yang hadir karena Goya kerap kali menampilkan sisi gelap manusia – a painter, who could successfully make eloquent and morally urgent art out of human disaster[7].

Pada titik inilah kita harus mengakui kehebatan Goya – the last of the great masters and the first of the moderns. Ia memberikan fungsi lain pada estetika: yaitu sebagai bentuk kritik sosial, hal yang tabu untuk dilakukan secara terang-terangan pada masanya. Melalui Los Caprichos, Goya berhasil menghadirkan cermin agar publik dapat melakukan otokritik. Namun, terdapat hal yang begitu mengganggu ketika kita mengkaji karya sketsa Goya saat ini: bahwasanya cermin tersebut masih relevan, bahkan tiga abad kemudian. Sebuah reproduksi atas The Sleep of Reason Produces Monsters dilakukan Enrique Changoya[8] pada tahun 1999 dan hasilnya begitu mencengangkan: karena setelah beberapa abad berlalu, rasionalitas masih tertidur – sehingga kebodohan, ketamakan, kekerasan hingga bigotry, tidak pergi kemana-mana. Di sisi lain, bentuk korup dalam masyarakat pun masih terus berlanjut – kita tidak pernah kekurangan contoh atas penyalahgunaan (institusi dan doktrin) agama, kegagalan sistem pendidikan, serta ambivalensi terhadap pelacuran (karena walaupun mengumpat seperti ayam yang dicabuti bulunya ketika mendengar tarif prostitusi on-line yang selangit, fantasi tentang prostitusi toh tetap terus dipelihara). Realita ini merupakan bentuk pengulangan tragis atas tingkah polah (immoral) manusia – dan Los Caprichos adalah rekaman akan sebuah mimpi buruk tanpa ujung. Sehingga, selama gagasan tentang moralitas masih diperjuangkan, karya-karya Goya (sebagai prototipe cermin otokritik) akan tetap memiliki arti untuk diperbincangkan.

 

Keterangan dan sumber:
[1] Sketsa lengkap Los Caprichos dapat disimak pada link
[2] Satir dapat berupa karya sastra, drama, lukisan atau sketsa yang bersifat kasar, atau menunjukkan kebodohan atas sebuah kejadian atau seorang sosok yang penuturannya memiliki tujuan untuk mengkritik atau membuat perbaikan (Elliott, Robert C, 2004, “The nature of satire”, Encyclopædia Britannica)
[3] Pandangan filosofis bahwa seni hanya diperuntukkan untuk “seni” itu sendiri, dipisahkan dari fungsi moral ataupun fungsi utilitarian.
[4] Rosand, David, Introduction to Janis A. Tomlinson’s Graphic evolutions
[5] Dapat disimak pada link
[6] Interpretasi penulis
[7] Schwendener, Martha, 2011, Goya’s Dark Etchings From a Past Full of Horrors, New York Times
[8] ibid.

Share on:

3 thoughts on “Tingkah Polah Manusia!”

  1. wah dipanggil “ibu”…jadi berasa kartini haha. Gambar yang manakah do? they’re all appear when i checked it 😉

Leave a Comment