“The Future of Rock Belongs to Women”

Judul di atas merupakan prediksi Kurt Cobain yang diungkapkannya pada tahun 1993, sedangkan tulisan ini sendiri merupakan versi cetak dari perdebatan saya dengan kawan saya* seputar band-band perempuan yang beredar dalam dunia rekaman. Perbedaan pendapat kami berpijak pada dua asumsi berbeda: kawan saya bersikukuh bahwa band perempuan memiliki kemampuan untuk mendefinisikan suara marginal kaumnya, namun saya berpendapat bahwa “kemampuan mendefinisi” tersebut juga didefinisikan oleh kekuatan lain, yaitu pasar. Dan mengalir lah sejumlah nama musisi/band perempuan yang menjadi objek pembanding dalam adu argumen kami.

Adapun kajian/wacana feminisme dalam musik rock baru mulai menggema pada gerakan-gerakan band pertengahan tahun 1970-an, yaitu ketika dunia musik mengenal gerakan punk, karena ternyata punk memberi ruang yang sangat luas terhadap ekspresi [suara] perempuan – sebuah kondisi yang sulit ditemukan pada era hippies. Di tahun 60an sendiri, feminism bukanlah isu yang mengemuka dalam dunia musik, dan sekuat apapun pengaruh Janis Joplin, Grace Slick, ataupun Marriane Faithfull, mereka tidak pernah melakukan manuver feminism secara eksplisit seperti pada musisi perempuan ketika memasuki tahun 1980an. Namun kondisi ini tidak sepenuhnya dapat kita terima sebagai bentuk subordinasi karena beberapa hal: Pertama, ideologi hippies memiliki agenda yang lebih besar daripada feminism, yaitu pasifisme, sebuah isu perdamaian yang begitu mendesak untuk diperjuangkan. Kedua, konsep musik Joplin, Slick, maupun Faithfull – sebagai contohnya – merupakan konsep yang dihasilkan dari band yang merupakan gabungan kedua seksualitas, sehingga obrolan yang muncul tidak melulu tentang [masalah] perempuan. Ketiga, sebagaimana aliran pemikiran lainnya, feminism tumbuh bersama kapitalisme, yaitu melalui penyebaran video di MTV dan media lainnya yang semakin menguat pada era 1980-an, sehingga memungkinkan feminism untuk menjadi “gelombang” alih-alih hanya “riak” – sesuatu yang tidak (atau belum) kita temukan pada era Joplin, Slick, dan Faithfull.

Mungkin apa yang dikatakan Cobain tentang “The future of rock belongs to women” adalah sebuah sindiran tentang konsep pasar yang menjadikan band perempuan sebagai salah satu komoditinya. Namun bisa jadi Cobain secara tulus memberikan pandangannya tentang kondisi dunia musik, karena memang saat ini gelombang feminism telah menyapu dengan kuat teritori musik rock yang notabene adalah milik kaum pria. Atau mungkin saja ia hanya berniat membuat senang hati Courtney Love, istrinya – yang juga kerap berbicara dalam nada feminist. Namun terlepas dari apa yang ada dipikiran Cobain, saat ini banyak perempuan dalam musik rock yang mengklaim sebagai suara bagi kaumnya – mereka bukan hanya mendobrak dominasi musik, tetapi juga berbicara lantang tentang subordinasi seksual yang menurut Andrea Juno dalam Angry Woman in Rock, selalu tertanam dalam otak setiap perempuan.

Dalam dunia musik Rock sendiri, jauh sebelum Cobain mengemukakan prediksinya, perempuan sudah mulai menapaki jalan menuju dominasi [musik]. Patti Smith adalah salah satu pendobrak awal dominasi kaum pria yang kemudian diikuti oleh beberapa peletak awal feminism dalam musik [rock/pop] seperti Cindy Lauper dan Madonna. Keduanya menyuarakan suara yang sama, yaitu mengajak perempuan untuk keluar dari kotak yang membatasi segala bentuk konstruksi norma dan memegang kendali atas apa yang mereka inginkan. Lauper menyatakan bukanlah sebuah persoalan ketika seseorang menjadi penggila pesta atau menjadi superior dalam hal seksualitas seperti yang dimaksudkan oleh Madonna. Mendobrak patriarki adalah tema yang diusung secara serentak oleh para musisi rock perempuan mulai dari saat itu. Mengutip pernyataan Tory Amos, “You can’t fight the patriarchy in a tube top”, sehingga untuk itu dibutuhkan sebuah perlawanan keras yang dibahasakan lewat pernyataan mental, emosi ataupun fisik untuk menentang dominasi dalam bentuk apapun.

Feminism disuarakan lebih lantang oleh the Breeders, PJ Harvey, Liz Phair, Alanis Morissette, Courtney Love, Veruca Salt, Joan Osborne, Elastica, Tori Amos, dan Tracy Bonham. Isu-isu seperti pelecehan seksual atau diskriminasi menjadi topik yang diangkat dalam lagu-lagu mereka. Seperti album Jagged Little Pills milik Morissette yang kental dengan sindiran terhadap sikap pria dalam sebuah hubungan, atau Courtney Love yang menyindir tentang upaya memuja diri yang berlebihan dari kebanyakan musisi pria. Namun, walaupun identik dengan masalah-masalah subordinasi, kebanyakan dari mereka menolak untuk dilabelkan sebagai feminist, seperti yang diutarakan oleh Nina Gordon (Veruca Salt) ketika dirinya disebut sebagai feminist dengan berkata, “Oh, thank you for reducing me to a little pat phrase that really means nothing to me.”

Queercore dan Riott Grrrl adalah generasi penerus pengusung feminism dalam dunia musik rock, mulai muncul sekitar tahun 80an gerakan ini mendukung hak-hak gay, lesbian dan bisexual. God Is My Co-Pilot, Pansy Division, Team Dresch, dan Sister George adalah band peletak Querecore dan Riot Grrrl, yang kemudian diikuti oleh generasi baru mencakup Bikini Kill, Bratmobile, Heavens to Betsy, L7, dan Mecca Normal. Selain mendukung hak gay dan lesbian, gerakan ini juga mengusung masalah diskriminasi terhadap identitas seksual, gender, dan hak-hak individu. Festival Queeruption diadakan oleh Queercore dan Riot Grrrl untuk menggalang dukungan terhadap isu-isu tersebut.

efe7323e

Tepat seperti yang diprediksi oleh Cobain, saat ini perempuan telah memiliki tempat tersendiri dalam dunia musik rock. Dengan atau tanpa tendensi untuk mengusung feminism, musisi-musisi di atas terus menyuarakan suara perempuan dan menolak segala bentuk subordinasi. Sebagaimana yang diutarakan oleh Courtney Love bahwa “You have to refuses—just refuses—to be overlooked in any way.” Sebuah pernyataan yang rasanya dapat meringkas surat panjang dari seorang musisi senior, Sinead O’Connor, yang menyita perhatian beberapa waktu lalu. Surat tersebut ia tujukan kepada penerusnya – dalam arti artis yang lebih muda –, Miley Cyrus, karena perbedaan konsep “feminism” diantara keduanya.

Hingga akhir tulisan ini, kami belum menemukan titik temu atas perbedaan konsep tentang perempuan dan rock. Kawan saya masih bersikukuh dengan ide bahwa musik adalah wadah pemikiran – sebuah argumen yang memiliki kekuatan dengan sendirinya mengingat seni [musik] haruslah berguna bagi masyarakat. Namun, bagi saya, musik adalah musik, ia harus utuh terlebih dahulu sebagai sebuah bentuk estetik – baru kemudian dapat berbicara tentang pemikiran, bukan menjadi mimikri dari ide tertentu – apalagi ide yang berhamburan dan keluar dari lubang hitam menganga yang kita kenal sebagai “pasar”. Sebuah upaya pelarian diri yang sulit dilakukan, namun bukan suatu hal mustahil. Tapi satu hal berhasil kami sepakati: dengan mengesampingkan beban ideologi yang diusungnya, perempuan telah memberi warna tersendiri dalam musik rock – dan terngiang lah gema suara Janis Joplin menyanyikan “Summertime”, parau dan menyayat, jauh dari polusi bernama ideologi [.]

*Kawan berdebat saya, Juli Suicide, eks Vokalis/Basist The Suicides, band kurang terkenal asal Bali yang saat ini sedang mencoba peruntungannya menjadi artis tatoo – keterangan ini sama sekali bukan penggambaran hiperbola dan frase “kurang terkenal” adalah kenyataan yang menurut mereka, telah diterima dengan damai.

Share on:

4 thoughts on ““The Future of Rock Belongs to Women””

Leave a Comment