The Art of Solitude

Ketika sebuah buku berjudul “Utrillo” berisi koleksi lukisan Maurice Utrillo jatuh ditangan – seketika itu juga sebuah kesan aneh muncul ke permukaan: bahwa lukisan Utrillo adalah lukisan tersepi yang pernah saya lihat. Kesan aneh yang memicu pencarian lebih lanjut tentang Utrillo dan karyanya, menghantarkan pada sosok yang digambarkan sebagai pelukis “pemalu”, pemabuk dan setengah gila yang lahir di Montmartre, pusat kehidupan dan perayaan seni di Paris.

Portrait de Maurice Utrillo
Suzanne Valadon, Portrait of Maurice Utrillo

Maurice Utrillo lahir, tumbuh besar, mabuk, menjadi setengah gila, melukis dan dikuburkan di Montmartre. Dalam sejarah seni modern, sosoknya kemudian dikenal dengan sebutan “The Last Painter of Montmartre”. Istilah ini hadir karena pada tahun 1912 terjadi “emigrasi” yang dipelopori Picasso dengan memindahkan pusat kesenian Paris dari Montmartre ke Latin Quarter – dan ketika kawanan artis ini pindah, Utrillo tetap tinggal dan melukis Montmartre tanpa henti. Namun rasanya istilah “The Last Painter of Montmartre” kurang tepat, karena Utrillo bukan hanya pelukis terakhir, tapi satu-satunya dari jajaran nama mentereng di Montmartre yang memang lahir disana. Dengan jejaring seninya, Utrillo bisa saja berkeliling Eropa, tapi nampaknya si penyendiri ini tidak tertarik, dan memilih untuk menetap dan melukis Montmartre dari sudut yang hanya bisa dilakukan oleh “penduduk asli” nya.

“Ah, Montmartre, with its provincial corners and its Bohemian ways, how many stories could be written on this section of Paris…I would be so at ease near you, sitting in my room, composing a motif of white-whased houses” (dari memoar yang ditulis Utrillo dari rumah sakit jiwa pada tahun 1916)[1]

Bakat lukis Utrillo muncul setengah terpaksa dari kondisi kurang menyenangkan. Utrillo, merupakan anak satu-satunya dari Suzanne Valadon, seorang pelukis wanita dengan reputasi tinggi mengingat ia adalah wanita pertama yang diakui dalam Société Nationale des Beaux-Arts – atau komunitas nasional seniman fine art Perancis. Utrillo lahir pada 26 Desember 1883 dengan nama lahir Maurice Valadon, ia tidak pernah (benar-benar) mengenal siapa ayahnya dan nama Utrillo adalah pemberian Miguel Utrillo, seorang kawan Valadon, sebagai bentuk pemberkatan legal bagi Maurice. Di Montmartre, seorang remaja berusia tujuh belas tahun akan sangat wajar terlihat di perayaan-perayaan seni, menikmati kabaret, atau memadati cafe-cafe – namun Utrillo berada di tempat lain: rumah sakit jiwa, karena alkoholisme akut dan depresi yang dialaminya. Terapisnya kemudian menyarakan kepada sang Ibu agar Utrillo mulai melukis sebagai upaya untuk mengalihkan ketegangan dan kegelisahan yang pada satu titik membuatnya hampir bunuh diri. Sejak saat itulah Utrillo kerap ditemukan tenggelam dalam lukisannya di susut-sudut sepi jalanan Montmartre.

Idiosinkratik dan latar belakang inilah yang memunculkan kesan aneh pada lukisan-lukisan Maurice Utrillo. Terus terang, kesan pertama pada lukisan landscape Utrillo tidaklah memukau seperti Van Gogh, mencengangkan seperti karya Munch ataupun menghipnotis layaknya Renoir. Lukisan-lukisan Utrillo cenderung monoton, repetitif dan kaku. Namun justru disinilah letak kekuatannya: bahwa melalui pemilihan warna putih yang kelam, sudut pandang yang biasa saja, serta garis kaku yang terkadang terlalu mencolok, membuat lukisan Utrillo memunculkan kesan sepi yang menusuk – yang ia utarakan melalui tembok-tembok pucat, pepohonan yang sekarat dan sudut-sudut mati di Montmartre.

la ferme debray
Maurice Utrillo, La Ferme Debray

Tidak perlu waktu lama baginya untuk mendapatkan tempat di lingkaran elit pelukis Paris – selain karena pengaruh ibunya, lukisannya pun berbicara banyak. Oleh para kritikus ia dimasukkan pada jajaran “pemberontak seni”[2] – sebuah posisi yang unik karena Utrillo hampir tidak pernah mengeluarkan pernyataan apapun tentang lukisannya, apalagi tentang konsep-konsepnya. Kesederhanaan dalam lukisannya bukanlah sebuah bentuk “pemberontakan” – seperti pemberontakan yang diusung oleh para fauvist atau avant-garde – tapi lebih mengacu pada kekuatan instingtif dalam melihat dunia apa adanya. Kesederhanaan ini jarang ditemukan dalam setiap (aliran) lukisan yang telah lahir di akhir abad 19, karena pada era tersebut lukisan adalah teknik, gaya, warna, perasaan, dan konsep – sedangkan keindahan objek yang dilukis sendiri adalah hal kesekian. Tapi bagi Utrillo yang melukis hanya untuk berlindung dari kegilaan dan alkoholism, sudut sunyi Montmartre adalah sanctuari, bukan perspektif.

Kesederhanaan dalam lukisan Utrillo memberi inspirasi pada sejumlah pelukis untuk memunculkan “realitas baru” – bahwa ternyata realita baru tidak hanya bisa dimunculkan melalui abstaksi, tapi juga melalui simplisitas. Namun ternyata kesederhanaan Utrillo tidak muncul sembarangan, karena dari sekian pelukis yang mengikuti gayanya, tidak ada satupun yang mampu menyentuh inti simplisitas Utrillo, sehingga namanya tetap berdiri sendiri diluar aliran manapun – dengan gaya kakunya, lukisan Utrillo tidak termasuk realism, impressionism, post-impressionism, ekspresionism, dan bukan pula kubism. Dalam seni lukis modern, reputasi ini hanya disandang oleh dua orang, yaitu Utrillo dan Henri Rousseau. Jika Utrillo dikenal melalui simplisitas hingga ketulang-tulangnya, maka Rousseau dikenal karena memperkenalkan sudut pandang primitif sebagai sebuah realita (yang juga baru).

Namun kesederhanaan bukanlah satu-satunya kekuatan Utrillo, karena dibalik dinding dan jalanan sunyi, kita akan menemukan sebuah kesendirian dengan intensitas yang menakutkan. Sisi ini muncul dalam tiga presentasi: warna, manusia dan kota.

The Sacre Coeur Montmartre
Maurice Utrillo, Sacre-Coeur de Montmartre

Para kritikus menyatakan bawah puncak kreasi Utrillo berlangsung dari tahun 1909 hingga 1914 – masa ini dikenal dengan sebutan “White Period” mengacu pada penekanan warna putih dalam lukisan-lukisannya. Namun putih yang ia gunakan bukanlah putih terang dan mencerahkan, tapi “putih bisu” yang hadir namun tanpa berkata apa-apa – dalam narasi warna putih ini, Utrillo tidak ada tandingannya. Kesendirian juga hadir pada sosok-sosok manusia dalam lukisan Utrillo: mereka selalu digambarkan jauh atau bergerak menjauh. Gambaran ini semakin memperkuat pembacaan idiosinkratik sang pelukis yang memang anti-sosial dan tidak pernah berniat mengenal manusia secara emosional. Sisi ini pun muncul dalam kehidupannya, Utrillo digambarkan hampir tidak pernah terlibat dalam hubungan serius hingga memasuki usia lima puluh dan menikah dengan Lucie Valore, bahkan tidak juga ditemukan studinya tentang tubuh dan emosi manusia seperti yang biasa dilakukan pelukis lain. Dalam lukisannya, Utrillo mereduksi manusia sebagai bagian dari landscape – tidak lebih. Presentasi lain yang memperkuat kesan kesendirian dalam lukisan Utrillo hadir dari pemilihan sudut kota. Montmartre adalah bukit indah yang senantiasa dipenuhi turis, tapi Utrillo seringkali memilih sudut-sudut sepi dimana langkah kaki (turis) terhenti. Pilihan sudut inilah yang menjadikan Utrillo didaulat sebagai “Sang Pelukis Montmartre”, karena hanya melalui mata Utrillo, Montmartre muncul dalam wajah aslinya: sederhana dan tidak dilebih-lebihkan. Tapi ada satu tujuan lain dibalik pilihan unik mengapa Utrillo kerap mengunjungi daerah sepi dan menawarkan diri untuk melukis bistro yang langka pengunjung, tujuan yang mendasari kelahiran hampir seluruh lukisannya, yaitu untuk menikmati seni kesendirian dan segelas anggur sebagai bayaran.

bistros in a suburb
Maurice Utrillo, Bistros in a Suburb

Sumber:
[1] Werner, Alfred, 1953, Utrillo (the Pocket Library of Great Art), Harry N. Abrams Inc., New York
[2] Slocombe, George, 1951, Rebels in Art, Arts and Decoration Book Society, New York

Share on:

Leave a Comment