The Angry Man in Jazz

Tulisan ini lebih bertujuan sebagai bentuk pengakuan dosa daripada sebuah apresiasi musik. Pertama, karena struktur musik merupakan wilayah incognito bagi saya sehingga syaratnya sebagai “tulisan musik” tidak terpenuhi. Kedua, karena sebuah pernyataan tidak bertanggung jawab telah saya lontarkan dalam perbincangan melalui whatsapp dengan seorang kawan. Ketika perbincangan memasuki wilayah musik jazz, dengan ceroboh saya berujar: “salah juga ya ketemu jazz lewat Miles [Davis], akibatnya musik dari musisi lain jadi membosankan. Parker terlalu nyaman, Coltrane terlalu sentimentil, Chet terlalu cool, Brubeck terlalu gamor–sisanya coba-coba cuma varian dari konvensi sebelumnya”. Atas pernyataan asal tersebut, kawan saya cuma membalas, “lalu Mingus?”. Mendengar nama Mingus disebut, saya bagai tersambar halilintar di siang bolong. Bagaimana mungkin saya melewatkan teroris satu ini. Bagaimana pula saya lupa pada the Black Saint and the Sinner Lady, album yang membuat saya mengakui bahwa jazz bisa lebih “marah” daripada hardcore. Perasaan berdosa inilah yang mendorong saya untuk menuliskan, sedikitnya, tentang musik Charles Mingus, the angry man in jazz.

Pertemuan saya dengan musik Mingus sangat standar, yaitu melalui 1001 Albums You Must Hear Before You Die (Universe Publising, 2005). Dalam daftar tersebut terdapat dua album Mingus yang paling diakui publik, yaitu Mingus Ah Um (1959) dan the Black Saint and the Sinner Lady (1963). Tahun 1959 menjadi istimewa karena pada tahun yang sama Davis juga mengeluarkan album monumentalnya, Kind of Blue. Kedua musisi inilah yang memalingkan perhatian saya pada jazz: Davis karena kesenduan anarkisnya, sedangkan Mingus karena teror agresifnya (mungkin karena Davis lebih banyak bersinggungan dengan panggung musik rock-psychadelic, maka namanya lebih sering muncul di playlist saya–dan berujung pada komentar ceroboh di atas). Dalam kedua album tersebut, terdapat dua lagu yang dapat saya mainkan kapan saja di kepala, yang pertama So What dari Davis, dan Fable of Faubus dari Mingus. Kedua lagu tersebutlah yang menjadi definisi personal jazz bagi saya, sehingga ketika mendengar musik dari musisi lain, saya cenderung akan membandingkannya pada kedua lagu tersebut.

Sedangkan album the Black Saint and the Sinner Lady memiliki kesan lain bagi saya, bahwa dalam album tersebut, Mingus begitu resah (restless). Banyak review menyebutnya avant-garde, tapi saya sudah lama mempercayai bahwa avant-garde hanya isapan jempol belaka (gara-garanya Dieter Mack pernah berujar, ketika seseorang menanggap sesuatu sebagai avant-garde, biasanya karena pengetahuannya baru sampai situ). Keresahan Mingus dalam the Black Saint and the Sinner Lady baru terurai ketika saya membaca karya Latour berjudul Charles Mingus, Jazz and Modernism (2012). Menurutnya Mingus berada pada kesadaran dimana “musiknya adalah kesatuan” yang lahir dari pergulatan berbagai identitas dan perepsi: antara identitas tradisi Afrika Amerika, persepsi musik konvensional Eropa dan Modenisme Jazz. Pergulatan ketiganya membuat album tersebut sebagai salah satu album Jazz paling kompleks yang pernah direkam. Ekses pada sang musisi sendiri tidak ringan, selama sesi rekaman Mingus secara reguler menemui psikiater, Edmund Pollock, dan sang dokterlah yang kemudian menuliskan liner notes untuk album tersebut. Deskripsi Pollock terhadap album tersebut begitu menohok: This is the sound of the Black Saint who suffers for his sins and those of mankind as he reflects his deeply religious philosophy.

Namun, ketika diharuskan memilih album Mingus mana yang paling menarik perhatian, jawaban saya tidak mengacu pada kedua album diatas, tapi pada album Mingus berjudul Pithecanthropus Erectus dan The Clown. Keduanya dihasilkan secara berturut-turut, 1956 dan 1957. Keduanya pula memberi pengaruh pada perkembangan free jazz yang kemudian digawangi oleh John Coltrane. Namun yang membedakan kedua album tersebut dengan genre free jazz yang berkembang setelahnya terletak pada konsep musikalitas Mingus yang bersinggungan dengan radikalisme politik saat itu. Album Pithecanthropus Erectus diluncurkan berbarengan dengan gerakan boikot bis di Alabama yang memprotes segregasi ras. Alhasil, Pithecanthropus Erectus adalah sebuah album yang menghimpun zeitgeist kala itu, ketika kesadaran akan kebangkitan identitas tengah digaungkan (Monson, 2007). Mingus memberikan penjelasan tentang konsep yang diusung, ujarnya album tersebut merupakan “my conception of the modern counterpart of the first man to stand erect”. Tidak aneh jika didalamnya kita menemukan lagu sesangar “Pithecanthropus Erectus” dan seprimitif “Love Chant”.

Adapun The Clown memiliki sisi liar yang berbeda. Pada pembuka disuguhkan versi baru dari Haitian Fight Song (sebelumnya masuk kedalam The Charles Mingus Quintet & Max Roach, 1955), sebuah lagu jazz yang jauh dari kesan sendu. Album ini didasarkan pada konsepsi “kekeringan emosi”–dan mengacu pada konsep tersebut, Mingus memainkan sisi swing yang kerap dijadikan patokan dalam musik jazz. Permainan swing ini didasarkan pada perseteruannya dengan banyak krtikus musik yang kerap menyebut Mingus “not jazzy enough”. Maka, dengan sengaja liner note pada sampul album The Clown berbunyi: selected these four over two others that were more intricate because some of the guys had been saying that I didn‟t swing. So I made some that did”. Namun, swing yang dimaksud Mingus berbeda dengan konvensi umum. Dalam The Clown, ia lebih jauh bereksperimen, (bahkan menambahkan narasi Jean Shepherd), menjadikannya malah lebih menjauh dari konvensi  jazz yang berlaku saat itu.

Kiprah bermusik Mingus berlangsung selama hampir empat dekade. Ia menghasilkan tiga puluh album, dan kolaborasi dalam jumah yang tidak terhitung. Diantara para musisi jazz, Mingus terkenal dengan julukan The First Terrorist of Black People Music, yang tidak didapatnya tanpa sebab akibat. Julukan tersebut melekat pada dua hal: sikap bermusik dan aktivisme radikalnya. Keempat album yang dipaparkan diatas menjadi contoh dari sikap bermusik seorang Mingus yang cenderung di luar konvensi. Ia bereksperimen pada sisi primitif ketika semua musisi tengah menikmati konvensi jazz ala Charlie Parker yang sangat nyaman untuk dimainkan dalam suasana café malam hari. Musik Mingus tidak ditujukan untuk kenyamanan–ia, secara diktator memimpin band nya untuk memainkan musik janggal yang membuat gelisah. Bahkan julukan tambahan melekat padanya: the angry man in jazz, yang didapatkan dari sisi emosional Mingus yang sering tidak terkontrol (ia bahkan pernah memukul penonton ketika seseorang diantara mereka membunyikan gelas ketika ia tengah bermain). Latour (2012) menyatakan, bahwa dalam beberapa biografi tentang Mingus menggarisbawahi sisi emosional tersebut dan mengaitkannya dengan aktivisme politik. Ia digambarkan selalu sadar akan ketimpangan rasial di Amerika, yang kemudian ia protes melalui musiknya. Keterkaitan dua sikap inilah yang menghantarkan kita untuk berhadapan dengan musik yang mampu memunculkan teror.

Teror, dimanapun, akan berpijak pada dua fase: Pertama, membuat kejutan, dan kedua mengganggu konvensi yang ada. Musik jazz Mingus berhasil munculkan teror dalam kedua fase tersebut, dengan membuat eksperimen mengejutkan layaknya dalam Pithecanthropus Erectus dan The Clown, lalu membuat narasi jazz yang bertentangan dengan konvensi baku sebagaimana diperdengarkan dalam Mingus Ah Um dan The Black Saint and Lady Sinner. Sisi primitif, agresifitas juga ekletisme Mingus inilah yang membuat saya menaruh perhatian pada jazz. Sehingga ketika saya lupa menyebutkannya dalam sebuah perbincangan dengan kawan (sungguh rasanya seperti menista nabi :p), maka sebuah penebusan dosa harus segera dilakukan yaitu dengan mendengarkan kembali seluruh kumpulan komposisi sang musisi. Sebuah catatan anonim yang dijadikan liner note dalam album Blue Bird menyebutnya komposisi kebebasan: Mingus’s music struggled against the rules to get its freedom.

Sumber:
Latour, Phillipe, 2012, Charles Mingus, Jazz and Modernism (thesis), Schulich School of Music McGill University.
Monson, Ingrid, 2007, Freedom Sounds: Civil Rights call out to Jazz and Africa, Oxford, Oxford University Press

Share on:

Leave a Comment