The Age of Confusion

Yet today we are no more liberated, just culturally confused – Ian McEwan[1]

McEwan mengucapkan kalimat di atas untuk menggambarkan stagnasi dalam penerimaan publik terhadap kebebasan literasi. Menurutnya, setiap jaman memiliki batasannya sendiri: oleh sebab itulah maka Naked Lunch (William Burroughs) atau Howl and other poems (Allen Ginsberg), harus melewati persidangan pelik untuk mendapatkan hak terbitnya. Pada tahun 1975, McEwan yang mencoba mendorong batasan (kenyamanan) sosial melalui novel vulgarnya yang berjudul “First Love, Last Rites”, juga mengalami penghakiman serupa – sehingga menurutnya, kebebasan berekspresi hanyalah omong kosong belaka. Kini, empat dekade kemudian ketika dunia telah memasuki abad 21, tidak banyak yang berubah: batasan tadi tetap ada, dan setiap upaya menembus batas (literasi) tersebut masih harus menghadapi penghakiman serupa. Tapi satu hal yang kemudian membedakan: bahwa saat ini batasan dalam kerangka sosial menjadi kabur karena persidangan tidak dilakukan diruang sidang dengan mendatangkan saksi ahli, tapi dilakukan di ruang terbuka bernama dunia maya. Dalam dunia antah berantah tersebut semua orang adalah polisi moral dengan dogmanya masing-masing. Keadaan seperti ini menjadikan batas menjadi rancu, dan kita – publik pembaca sastra – dibuat kebingungan karenanya. Sebuah zaman kebingungan budaya dan sastra secara masal.

Kalimat McEwan tentang kebingungan budaya merangkum secara jitu apa yang terjadi dalam dunia kritik sastra saat ini. Alhasil sastra yang baik luput dari perhatian dan sastra abal-abal muncul ke permukaan. Namun, kebingungan budaya dan sastra hanya seporsi kecil dari kebingungan massal yang tengah melanda jaman. Dalam realita sosial yang lebih luas kita berhadapan dengan sebuah era penuh hiruk pikuk – bebas, silau dengan hiperrealitas, vulgar tanpa tedeng aling-aling. Para anti-foundationalist[2] menangkap gejala kebebasan akut ini dengan suka cita, namun bagi kita, manusia biasa dengan kapasitas filsafat alakadar, kebebasan ini berujung pada kebingungan. Pada titik inilah, frase McEwan menjadi masuk akal: karena kebebasan yang ada dihadapan mata ternyata tidak mampu membuat manusia menjadi bebas – “yet today we are no more liberated”. Penyebabnya bisa macam-macam: ketakutan berekspresi, gagal paham, sekat sosial, atau ketidakpedulian. Sehingga dapat dibayangkan hasilnya: sebuah komunikasi bebas berkecepatan tinggi tapi setiap kata didalamnya berisi kebingungan – we are confused indeed.

Kebingungan sendiri secara harfiah dapat diartikan sebagai “pemahaman yang tidak jelas”. Kondisi ini hadir sedemikian rupa bukan hanya dalam konteks budaya tapi juga pada pilar-pilar vital kerangka sosial masyarakat: mulai dari media massa, aktivitas akademis, ruang publik, lembaga pemerintahan bahkan institusi agama, mengalami kebingungan serupa. Akhirnya kebingungan meresap di alam bawah sadar setiap orang dan menjelma menjadi jiwa jaman (zeitgeist). Zeitgeist, sebagaimana dikemukakan oleh Tolstoy adalah sebuah kondisi sosial yang akan tercermin dalam setiap aktivitas masyarakat. Dan kini dengan kebingungan sebagai zeitgeist, segala sendi kehidupan mulai dari negara hingga warganya, didera kebingungan yang merajalela. Saya akan memperkuat asumsi ini dengan menampilkan mosaik – cuplikan berita surat kabar hingga tampilan di halaman facebook yang kesemuanya mengindikasikan kebingungan. Begitu bingungnya hingga agar tidak tersesat, saya akan merangkum berbagai hal tersebut dalam satu helaan nafas:

Kebingungan paling fatal saat ini dilakukan oleh entitas politik bernama negara. Beberapa diantaranya nampaknya kebingungan untuk membedakan manusia dengan hama. Negara mengusir mereka di perbatasan, berencana membangun tembok (padahal katanya saat ini era tanpa batas), dan menulis berlapis-lapis hukum serta aturan untuk melegalkan pengusiran terhadap hama, eh manusia, tersebut. Lembaga internasional tidak bisa apa-apa, seperti biasa tenggelam dalam kebingungan eksistensialist “Who am i?”, karena belum menentukan apakah ia akan berpihak pada negara penyokong dana atau pada kemanusiaan. Perang juga menjadi semakin bingung, mana lawan mana kawan, mana wilayah sendiri, mana wilayah jajahan, alhasil beberapa malah menjajah wilayahnya sendiri (lho?!). Perusahaan multinasional jangan tanya, mereka bingung mencari negara mana yang paling murah untuk dijadikan lahan produksi. Pemerintah juga sama saja, bingung mencari lahan untuk digusur dan dijadikan sarana produksi. Tapi jangan salahkan pemerintah yang bingung, karena mereka tidak sendiri – barisan oposisipun sekarang bingung. Dan ketika oposisi bingung, revolusinya jadi bingung. Ketika pemerintahan diktator berhasil digulingkan, para revolusioner kebingungan menentukan bentuk pemerintahan seperti apa yang akan mereka bangun – karena bingung, pemerintahan tadi dititipkan di tangan militer (militer tidak pernah bingung, mereka memiliki mekanisme otomatis untuk melaksanakan sesuatu – nah, sesuatunya itu yang seringkali bingung). Dan apabila revolusi saja sudah bingung, maka jangan harap ada hal lain bisa berjalan lurus. Pendidikan masih bingung, (bahkan saat ini ada dua kurikulum yang berlaku lho), beragama juga bingung (mau yang kemasan import atau lokal). Seni sama saja, dengan adanya postmodernisme, nilai keindahan pun semakin membingungkan (pasti tidak asing lagi dengan ucapan “semakin tipis garis antara seni dan kekonyolan”, sebuah kalimat yang hanya bermakna positif jika disandingkan dengan Monty Phyton). Musik lebih bingung lagi – industrinya kini dipenuhi lirik cinta tidak menggugah (jika saja Juliet hidup saat ini, ia pasti bunuh diri bukan karena kesetiaan, tapi karena keputusasaan). Dan untuk menutup mosaik ini, ada suatu kebingungan fatal yang dibagi bersama: bahwa manusia jaman ini kebingungan bahkan untuk mengekspresikan emosi. Dalam novel Catcher in the Rye karya JD. Salinger, Holden sang tokoh utama bisa berteriak lantang bahwa perasaannya “as sensitive as a goddam toilet seat. Tapi yang dilakukan anak muda saat ini ketika ingin mengungkapkan perasannya adalah: membuka jaringan maya dan mencari kata yang disediakan oleh “dictionary” tertentu yang berkata kira-kira “exulansis – n. the tendency to give up trying to talk about an experience because people are unable to relate to it”. Sebuah ungkapan perasaan membingungkan yang berasal dari hilangnya intimasi dengan diri, sehingga untuk mengungkapkan emosi kita perlu meminjam sesuatu yang asing. Dan ketika kebingungan sudah mencapai taraf tersebut, maka selamat datang di Jaman Kebingungan.

Lalu bagaimana dengan saya? Saya sendiri tidak ada bedanya: pengajar yang selalu nyinyir terhadap institusi akademis, seorang yang beragama dengan simbol dan ritual tapi tidak menolak jika ditawari segelas bir dingin atau apapun yang berefek menenangkan. Mengamini Nietzsche sekaligus Tao, Tagore sekaligus Faust. Meletakkan secara tinggi nilai-nilai etika Jawa bersandingan dengan nihilisme Lou Reed. Bingung? Ya bisa jadi, tapi ada penamaan lain jika kebingungan dilakukan secara sengaja dan bertujuan membuat kontradiksi: yaitu paradoks. (Yes, i’m living-breathing-walking paradox). Tapi di jaman ini, bahkan sebuah pendefinisian diri yang berupaya menghilangkan kebingungan malah semakin menegaskan bahwa kebingungan ada dimana-mana – setiap makna yang coba disampaikan akan tenggelam dalam labirin kebingungan dan tidak pernah mampu hadir dengan utuh. Karenanya, sejauh apapun anda berlari, sang zeitgesit ada disana. Untuk itu sekali lagi saya ucapkan: welcome to the age of confusion.

Keterangan:
[1] McEwan, Ian, When I was a Monster, The Guardian, 28 Agustus 2015
[2] Aliran filsafat yang berpandangan bahwa tidak ada prinsip atau nilai dasar pada kebenaran ilmu pengetahuan

Share on:

8 thoughts on “The Age of Confusion”

Leave a Comment