Our Somber and Truthful Billie

“I’ve been told that nobody sings the word “love” like I do” – Billie Holiday

Tidak ada yang mampu merengkuh kesedihan seperti Billie Holiday. Ia – yang menjadi idola bagi musisi sekelas Frank Sinatra, Duke Elington, Etta James (dan tak terhitung lagi musisi lain yang merujuk Billie sebagai pengaruh musiknya), yang sosoknya menjadi figur utama Jazz pada awal abad dua puluh – adalah sebuah karikatur kehidupan ala Charles Dickens: tragis, dengan narasi kepiluan tak berujung. Billie Holiday seakan lahir pada waktu dan tempat yang salah. Sang ibu, Sarah Fagan, diusir dari rumah keluarga karena hamil diluar ikatan pernihakan, membuat ia dan Billie kecil hidup sebatang kara di Philadelphia. Karena berbagai keterbatasan dan sistem rasialisme yang mengekang, pada usia dua belas, Billie bekerja sebagai pelacur di wilayah Harlem, New York. Situasi ini kemudian membayangi hampir seluruh masa hidupnya: mulai dari awal karir yang penuh penolakan, rentetan pernikahan yang penuh kekerasan (termasuk dengan gembong mafia  Louis McKay), hingga konsumsi alkohol dan heroin yang menghantarkannya pada satu perawatan rumah sakit ke perawatan lainnya (ia meninggal pada usia 44 tahun, di sebuah bangsal rumah sakit hampir tanpa dikenali oleh orang-orang disekelilingnya). Namun, seperti sosok besar lainnya, Billie Holiday mampu memunculkan sebuah idiosinkratik yang menggema, justru dari kesedihan beruntun yang ia alami.


(Gloomy Sunday)


(Embraceable You)

Dalam Lady Sing the Blues, sebuah autobiografi Billie Holiday, Ia bercerita bahwa persinggungan pertamanya dengan musik dilaluinya dengan cara yang juga kurang menyenangkan: yaitu ketika ia menjadi penggosok lantai di rumah pelacuran tempat ibunya bekerja, melalui rekaman yang sering diputar oleh majikannya. Memasuki remaja, Billie kemudian menjadi pengisi vokal di beberapa Klub malam, namun posisi tersebut biasanya tidak bertahan lama karena gaya bernyanyinya yang berbeda dari kebanyakan (salah satu diantara pemilik klub memecatnya sambil berujar: “You sing too slow, sounds like you’re asleep!”). Perubahan mulai hadir dalam karir musik Billie ketika ia bertemu produser John Hammond. Dengan dukungan John Hammond (juga Teddy Wilson kemudian), Billie menghasilkan jajaran album yang mengangkatnya masuk ke kalangan musik mainstream. Namun, sisi tragis kehidupan masih terus menghantuinya – karena walaupun karyanya diakui sebagai salah satu keajaiban musik (melalui keberhasilannya mengubah pakem jazz), ia tetap tidak pernah mendapatkan rasa hormat sepenuhnya. Kalangan musisi saat itu melihatnya sebelah mata dengan didasarkan pada latar belakangnya yang dianggap “kurang terhormat”. Billie lantas menuliskan kemarahan pada pandangan miring tersebut dalam frase yang tidak kalah tajam, menurutnya: “ jazz critics were mainly closet high modernists who wanted no mention of drugs, whorehouses, or lynching brought into discussions of their music”. Besar kemungkinan, autobiografi yang ditulisnya merupakan bentuk perlawanannya pada pandangan miring masyarakat dengan cara yang menohok, yaitu memberikan gambaran segamblang mungkin tentang kehidupannya sebagai pelacur dan mengakui secara terbuka ketergantungannya pada obat-obatan – sebuah pengakuan yang sangat berani, tanpa sedikitpun bernada self-pity. Publikasi autobiografi Lady Sing the Blues pada tahun 1956 menjadi poin yang menarik bagi karir Billie, karena sejak saat itu Billie Holiday semakin dicintai namun juga dibenci pada saat yang bersamaan.

Bentuk protes lain ia lakukan terhadap sistem rasialisme. Ia sendiri tidak pernah mengklaim diri sebagai bagian dari pergerakan sosial anti-rasisme, namun lagu berjudul Strange Fruit (dalam album berjudul sama dengan autobiografinya, Lady Sing the Blues), dipandang sebagai lagu yang memicu kelahiran gerakan hak sipil dalam menghapus rasialisme. Strange Fruit sendiri merupakan puisi gubahan Abel Meeropol tentang penyiksaan terhadap warga afrika-amerika dengan cara lynching (penyiksaan dengan pemukulan atau pembakaran yang ditujukan untuk memunculkan kontrol sosial, lynching pada masa segregasi ras di AS dilakukan dengan cara penggantungan mayat di pohon). Strange Fruit kemudian mengubah persona Billie Holiday – David Margolick dalam bukunya “Strange Fruit: Billie Holiday, Cafe Society, and an Early Cry for Civil Rights” menyatakan bahwa lagu tersebut “marked a watershed, praised by some, lamented by others, in Holiday’s evolution from exuberant jazz singer to chanteuse of lovelorn pain and loneliness“.


(Strange Fruit)

Pada akhirnya, dunia mengenang Billie Holiday sebagaimana mestinya: lebih besar dari skandal dan (lagu) protes sosialnya – walaupun semasa hidupnya ia tidak pernah sukses sepenuhnya secara finansial (sebuah kisah menarik dikemukakan oleh Hammond dalam wawancara dengan Time Magazine. Hammod yang juga menangani Bob Dylan menyatakan bahwa penerimaan masyarakat terhadap suara absurd Dylan jauh lebih jinak daripada respon terhadap Billie. Ini menggambarkan bahwa pada dasarnya masyarakat pada era apapun sama saja: kerap mementingkan hal diluar musik dan memberi sedikit perhatian pada kualitas sesungguhnya). Lama setelah meninggal, barulah nama besar Billie diakui. Pengaruhnya dapat ditarik baik pada genre jazz, soul, pop, hingga blues, karena ia adalah salah satu musisi yang mampu mengubah pakem jazz (dengan mengubah tempo vokal) dan mendefinisikan ulang blues (melalui album Lady Sing the Blues yang jauh dari karakter Blues pada umumnya). Ia juga mampu menyamai standar musisi instrumentalist kelas dunia dalam berbagai kolaborasinya (suatu hal yang tentu sulit dilakukan). Kepiawaiannya dalam musik bukan hanya ditampilkan ketika di atas panggung, namun juga ia uraikan pada bagian kedua autobiografi dimana ia menjabarkan dengan lugas tentang diagram beat pada lagunya, ataupun analisisnya tentang sebuah transformasi nada.

Terlepas dari hingar bingar industri musik dan kelihaiannya dalam membuat komposisi, kualitas utama dari seorang Billie Holiday terletak pada kejujurannya dalam menuangkan kesedihan dan emosi. Melalui kejujuran dalam penuturannya, Billie tidak hanya mampu mengangkat sisi emosional subjektif yang terperangkap dalam labirin kelas sosial, tapi juga mampu menggambarkan berbagai konteks jaman yang ada, mulai dari rasisme hingga konstruksi kelas. Kepedihan yang ia curahkan dengan intensitas luar biasa, ditambah olah vokal yang memukau, menjadikan lagu-lagu “kelam”nya belum tertandingi hingga saat ini. Mungkin, jika saja “Picture of Dorian Gray” karya Oscar Wilde pernah singgah ditangannya, ia akan mengangguk setuju pada pernyataan sarkasme Wilde tentang kesedihan dan penderitaan: “but, when I am abused like that, I know that I have touched the starsand for Billie, she surely have thouched the stars.

Share on:

Leave a Comment