Soft Machine dan Musik Kolektif Canterbury

Seperti sebuah mitos, skena musik Canterbury berada diantara batas ada dan tiada. Walaupun menjelma menjadi salah satu genre musik berpengaruh di Inggris, keberadaan para musisinya nyaris berada di bawah radar industri musik. Setidaknya pendengar musik masa kini dapat sekilas menangkap jejak musik Canterbury ketika Damon Albarn menyebut-nyebut Soft Machine–salah satu band kunci pada skena tersebut–sebagai salah satu band yang mempengaruhi musiknya. Atau ketika membaca artikel tentang Jimi Hendrix, dan menemukan bahwa sang dewa gitar begitu terpukau pada gairah eksperimen Soft Machine sehingga mengajak mereka untuk menjadi band pembuka tur-nya di Amerika Serikat. Pada satu titik, Soft Machine berbagi panggung dengan Pink Floyd yang juga mengusung eksperimen musik progresif psychedelic. Tapi ketika Pink Floyd berkembang menjadi band dengan format matang (dalam arti jelas siapa saja personil dan jelas juga gagasan musiknya, juga distribusi yang terjamin via label rekaman), Soft Machine malah menarik diri kembali ke skena sepi di pojok Canterbury. Sisi inilah yang menjadikan Soft Machine menjadi mitos, dan mengingat julukan band underground paling berpengaruh yang disematkan padanya, adalah sebuah berkah untuk dapat bersinggungan dengan musik dari band legendaris ini.


(Soft Machine, Joy of a Toy)

Lagu diatas diambil dari album pertama (The Soft Machine, 1968). Pada kurun 1968 hingga 1981, Soft Machine mengeluarkan setidaknya sepuluh album rekaman. Terdapat pula rekaman langsung (live record) di berbagai stasiun televisi lokal dan beberapa rekaman pada acara musik antara lain London’s Proms (1970), Live in Paris (1972), NDR Jazz Workshop Hamburg (1973) dan Switzerland 74 (1974). Soft Machine dibentuk pada 1966 oleh Robert Wyatt, Kevin Ayers, David Allen dan Mike Ratledge. Tapi jangan harap formasi ini adalah sesuatu yang ajeg, karena dalam perjalanannya lebih dari 29 musisi telah masuk dan keluar dari Soft Machine, termasuk Hugh Hopper yang memberikan ruh pada harmonisasi melalui permainan bass dan saxophonenya. Nama Soft Machine sendiri berganti-ganti sesuai selera: mulai dari Soft Ware, Soft Work, Soft Machine Legacy, dan kembali menjadi Soft Machine pada 2015. Tentu hal semacam ini menjadi trivial saja jika disandingkan dengan eksperimen musik yang mereka lakukan. Dalam kiprahnya yang lebih dari lima dekade, jajaran musisi asal Canterbury ini telah memberikan sumbangsih dalam memperluas landskap musik modern: mulai dari kawin silang psychedelic rock dengan proto-progressive, hingga pengembangan fusi rock/jazz yang menghantarkan kehadiran musik avant-rock ala Henry Cow yang digawangi Fred Frith. Melalui pendekatan multi-instrumen, berbagai kemungkinan musik berhasil mereka sajikan (namun dari semua alat musik, Soft Machine mengesampingkan gitar karena alasan yang sepele: ingin menghasilkan musik yang berbeda dari band lain).

Sisi eksperimen yang mengarah pada fusi rock/jazz tidaklah hadir pada gagasan awal Soft Machine. Album pertama mereka pada tahun 1968 masih sangat kental dengan rasa rock psychedelic. Lompatan eksperimental terasa pada album kedua ketika Hopper bergabung–walau jika mengacu pada keterangan Allen, arah musikalitas Soft Machine bukanlah jazz, melainkan pop (dengan penekanan: a sincere kind of pop)–tambahnya: jazz hanyalah pendekatan untuk mencapai sentimentalia dalam musik pop yang kami buat. Tapi kualitas selalu melampaui genre, karena “band pop (klaim pribadi)” ini lantas diajak Hendrix untuk bergabung dalam tur Amerikanya. Alhasil, pada akhir era 1960an, Soft Machine lebih tenar di Amerika ketimbang di negaranya sendiri yang kala itu tengah mabuk kepayang pada Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band (The Beatles) dan The Piper at The Gates of Dawn (Pink Floyd).  Perhatian publik Inggris pada Soft Machine baru terasa ketika mereka mengisi acara musik yang ditayangkan secara nasional–London’s Proms (1970)–tapi perhatian tersebut hanya tertuju pada kuartet klasik Soft Machine: Ratledge, Wyatt, Hopper, dan Dean. Sedangkan letak keistimewaan Soft Machine (dan Canterbury Sound) pada umumnya, luput dari perhatian.


(Soft Machine, Moon in June)

Musik kolektif adalah kata kuncinya. Kata ini menggambarkan secara nyata atmosfir skena musik di Canterbury dan memberikan penjelasan mengapa Soft Machine (dan band lain yang lahir pada skena tersebut) memiliki kerangka bermusik dan personil yang cair. Andy Bennet dalam Music, Media and Urban Mythscapes: a Study of the ‘Canterbury Sound’ (2002), memaparkan bahwa kolektivitas adalah karakter utama dalam produksi musik pada skena Canterbury. Kolektivitas mengacu pada intekasi tanpa batas antara satu musisi dengan musisi lainnya dalam bermusik, sehingga memunculkan jejaring yang khas (dalam skena Canterbury, seseorang–sebagai contoh Daevid Allen atau Robert Wyatt–dapat berkiprah hampir pada setiap band yang ada di Canterbury). Kolektivitas dengan interaksi seintens ini sulit ditemukan bandingannya, bahkan pada skena komunal krautrock di Berlin pada awal 1970an, interaksi bermusik masih didasarkan pada bentuk band yang ajeg.

Bennet (2002) mencoba melakukan penelusuran asal muasal kolektivitas ini dan membangun asumsi pada konsep Urban Mythscapes, bahwa karakter kota mempengaruhi musik yang lahir didalamnya. Canterbury bukanlah London, dan pada era 1960an komunitas musik di Canterbury hanya mencakup segelintir musisi (yang kebanyakan berasal dari kalangan mahasiswa). Kecilnya lingkup komunitas inilah yang menjadikan satu personil saling berkaitan dengan lainnya. Tapi latar ini bukan satu-satunya yang membentuk ciri musik Canterbury–disini psychedelic dengan mudah ditinggalkan dan beralih pada eksperimen musik melalui eksplorasi jazz. Muasalnya dapat dirunut dari ketersediaan media yang memadai: Canterbury selalu dibanjiri turis yang kebanyakan datang dari Amerika dan eropa daratan untuk berziarah, sehingga irama Charlie Parker atau ritme Charles Mingus lebih mudah ditemukan daripada senandung magis india yang dilantunkan para hippies. Dua hal ini–walaupun tidak seluruhnya–memberikan sumbangsih pada warna eksperimen pada musisi Canterbury.


(The Wilde Flower, She Loves To Hurt)

Mengacu pada interaksi kolektif pada musisi di Canterbury, dapat dikatakan bahwa Soft Machine bukanlah sebuah band (dalam arti kelompok musik), namun lebih mengacu pada tempat persinggungan gagasan musik, atau Wyatt menyebutnya: an intermingled with any number of elements. Persilangan dapat dengan mudah ditemukan pada sejumlah band yang lahir di Canterbury, sebut saja The Wilde Flowers, Caravan, Matching Mole, Nucleus, Gong, Isotope, hingga Adiemus – yang personilnya ya itu-itu juga. Tapi salah besar jika persilangan personil ini menjadikan eksperimen musik yang dihasilkan serupa. Sekilas saja, kita tahu beda antara The Wilde Flowers dan Soft Machine. Untuk menghindari musik statis berbagai eksperimen berbeda dilakukan, konon Soft Machine memproduksi musik secara terpisah dan lalu menggabungkan sebagai kesatuan musik. Metode ini bisa jadi cuma mitos belaka, namun nama Soft Machine yang diambil dari kumpulan cerita (cut-up) William Borrough, menjadi petunjuk bahwa bisa jadi metode tersebut benar adanya. Namun terlepas dari segala mitos tentang Soft Machine dan Skena Canterbury, kualitas musik adalah alasan utama bagi saya untuk lebih sering memutarnya daripada band rock proto-progresif-jazz-psychedelic serupa (atau apapun penamaannya). Bahkan ketika telah mendengar habis album-album Soft Machine juga menjelajah musik pada skena Cantebury yang telah berkembang sejak tahun 1964, pandangan bahwa musik progresif berasal dari album Sgt. Pepper’s, rasanya terlalu dibesar-besarkan.

Sumber Bacaan:
Bennet, A., 2002, “Music, media and urban mythscapes”, dalam Media, Culture & Society, SAGE Publications, London, Vol. 24: 87–100
Jones, M., 2015, “A Beginner’s Guide to Gong and Soft Machine’s Daevid Allen”, Fact magazine, 24 March 2015
Martin, B., 1998, Listening to the Future: The Time of Progressive Rock, Open Court, Chicago
Soft Machine-Chronology, Canterbury Music Website. Diambil pada 2018-02-25

Share on:

Leave a Comment