Satori

Satori memiliki arti enlightenment ­– atau pencerahan dalam padanan bahasa Indonesia. Pada tulisan kali ini satori memiliki dua bentuk: Pertama, mengacu pada sebuah pengalaman indrawi yang “mencerahkan” ketika mendengar album dari kelompok musik Jepang Flower Travellin’ Band yang berjudul sama (Satori dirilis tahun 1971). Kedua, sebagai pencerahan tentang relasi antara suara dengan lingkungan sekitarnya atau disebut soundscape – yang menurut antropolog musik, Schafer Murray, merupakan identitas atau ingatan atas suara yang lahir dari suatu tempat[1]. Nama Flower Travellin’ Band sendiri bukan hal yang baru, ia telah lama bersandingan (setidaknya dalam tumpukan data di komputer saya) bersama musik psychadelic era 1970an lain seperti Blue Cheers (AS), Pink Floyd (Inggris), Guru Guru (Jerman), Aktuala (Italia), Catherine Ribeiro+Alpes (Perancis), Os Mutantes (Brazil) hingga Suck (Afrika Selatan). Saat memutar Satori – saya menemukan bahwa walaupun album ini sangat kental dengan warna psychadelic[2], namun musik Flower Travellin’ Band memiliki karakter khas band Jepang yang kentara. Pada titik inilah saya menyadari keberadaan soundscape – sebuah “topografi” akustik yang membentuk suara. Hal ini berlaku pula pada kelompok musik lainnya seperti Amon Duul atau Harmonia yang lahir dalam lanskap Krautrock Jerman, sehingga memiliki karakteristik berbeda dengan musik psychadelic AS ataupun Inggris. Bagi Flower Travellin’ Band, pengaruh musik tradisi meresap dan menjelma menjadi sonic memory[3], namun bagi band lain (yang tidak bersinggungan dengan memory musik tradisi, misalnya post-punk atau no wave), zeitgeist mengambil alih peranan tadi sehingga karakter yang dihasilkan bersifat temporal – hal ini menjadi penjelas mengapa sebuah era dalam musik tidak dapat diulang.

Flower Travellin Band dapat dikatakan sebagai icon psychadelic band jepang. Dibentuk pada tahun 1967 setelah Yuya Uchida diperkenalkan oleh kawannya (tidak lain adalah John Lennon) pada skena musik London yang saat itu tengah mabuk kepayang pada dua gitaris setengah dewa: Jimi Hendrix dan Eric Clapton. Dengan merekrut musisi-musisi kawakan Jepang saat itu yaitu drummer George Wada, gitaris Hideki Ishima, bassis Jun Kobayashi dan Joe Yamanaka sebagai vokalis, maka Flower Travellin Band resmi terbentuk (sebelumnya bernama “the Flowers” dengan konsep cover band – album pertama mereka Challenge! (1968) membawakan ulang lagu milik Jimi Hendrix, Cream, Jefferson Airplane, dan Big Brother and the Holding Company. Pada album Anywhere (1970) mereka mencover 21st Century Schizoid Man milik King Crimson yang digubah ulang dengan durasi dua kali lipat). Pengakuan secara musikalitas baru didapat setelah mereka merilis Satori pada tahun 1971. Dalam Satori, mereka mulai menampilkan material sendiri dan berhasil memukau sejumlah kritikus musik yang menggambarkannya sebagai “a mystical proto-doom”[4]. Setelah Satori, Flower Travellin’ Band merilis dua album sebelum masa hiatusnya: Made in Japan (1972) dan Make Up (1973). Mereka bergabung kembali pada tahun 2008 dan merilis We Are Here – namun tanpa Yuya Uchida album ini jelas tidak dapat melampaui kualitas tiga album sebelumnya.

Walaupun dikategorikan sebagai psychadelic, Satori tidak memberikan kesan “mabuk” layaknya Pink Floyd, namun lebih menyerupai shamanisme The Doors yang membawa pendengar menuju puncak trance. Dalam Satori, Yamanaka dan personil lainnya seperti dirasuki para Biksu peletak filsafat estetika Jepang dari abad lampau. Ishima sang gitaris menyatakan bahwa kelima bagian dalam Satori bukanlah sebuah kesatuan, karena setiap bagiannya dapat dimainkan secara terpisah (Satori Part II dirilis sebagai single di Kanada dan mendapat perhatian luas). Namun walaupun bukan sebuah kesatuan, setiap bagian menjadi pembuka untuk bagian lainnya – Satori Part I dan Satori II seakan mempersiapkan pendengar untuk masuk pada bagian selanjutnya yang semakin menjauh dari rasa musik psychadelic populer ala Monterey. Pada bagian terakhir (part V) vokal Yamanaka dan raungan gitar Ishima mendefinisikan ulang musik psychadelic – dari gerakan counter-culture yang sarat akan makna (protes sosial) menjadi katalis meditatif yang membebaskan makna. Uniknya, di tahun yang sama, vokalis Can asal Jepang Damo Suzuki, melakukan hal serupa di Jerman – melalui vokal menyerupai tabib Asia, Suzuki memperkenalkan lirik-lirik nirmakna pada skena Berlin di akhir 1960an yang sarat aktivitas politik. Mungkin inilah yang dimaksud Schafer sebagai sonic memories – bahwa seseorang memiliki ingatan bawah sadar tentang bunyi yang diturunkan dari generasi ke generasi, walaupun ia berada jauh diluar lingkungan asalnya.

Flower Travellin’ Band adalah bukti bahwa psychoacoustic (identitas tradisi, ingatan bawah sadar, gagasan filosofis) dan lingkungan akustik dapat mempengaruhi musik yang dihasilkan. Jika Ishima dan kawan-kawan lebih dipengaruhi oleh psychoacoustic, maka kelahiran musik futurisme dan musik elektronik di negara-negara industrial sangat dipengaruhi oleh lingkungan akustik (film Metropolis karya Fritz Lang yang penuh dengan mesin dapat membantu penggambaran ini, atau metode Harmonia yang menggunakan air tenang (still water) untuk memantulkan bunyi dalam proses rekaman albumnya). Dengan hadirnya pemahaman tentang soundscape, musik tidak dapat lagi diartikan hanya sebatas bunyi. Memasuki abad 20, Hampir semua definisi konvensional tentang musik telah dipatahkan oleh para musikolog dan musisi eksperimental seperti Filippo Tommaso Marinetti, Karlheinz Stockhausen atau John Cage. Salah satu penyebabnya adalah kesadaran tentang noise dan ekspansi dari instrumen perkusi yang menghasilkan nada arhythmic[5]. Perubahan tersebut bukan hanya mengubah bunyi, tapi juga mengubah perilaku manusia terhadap bunyi (contohnya paling ekstrim ditemukan dalam komposisi Cage 4’33”).

Namun gagasan Schafer tentang soundscape dan lingkungan akustik, mendapat kritik dari Stokes, seorang antropolog yang mengkaji globalisasi dan mengemukakan bahwa pola interaksi global saat ini telah menghilangkan kemampuan lingkungan untuk membentuk suara[6]– semua, menurutnya adalah mimikri. Agak berat memang untuk mempercayai pernyataan Stokes, namun tidak dipungkiri bahwa teknologi (baik teknologi penyebaran ataupun penciptaan musik) telah mengalienasi manusia dari musik itu sendiri. Kemudahan mendapatkan musik dan kemudahan menciptakan musik (hanya melalui aplikasi komputer) hampir menjadikan musik tidak berharga. Seperti halnya manusia yang telah beralih esensi menjadi makhluk dunia maya, begitu pula suara dan bunyi. Entah apa jadinya jika Flower Travellin’ Band dibentuk pada tahun 2017, rasa-rasanya agak sulit membayangkan mereka akan mampu bersentuhan dengan psychoacoustic semistis tahun 1971. Sebagai penghibur lara (dari kenyataan pahit tentang minimnya resistensi identitas psychoacoustic dalam musik), Ipsen[7] menunjukkan bahwa keberadaan soundscapes dapat dipertahankan setidaknya melalui tiga komponen: pertama, melalui pengalaman akustik; kedua, dengan mempertahankan hubungan antara musik dengan lingkungan; dan ketiga pengetahuan tentang aspek psychoacoustic dan socioacoustic dari seorang musisi. Untuk mencapai ketiga komponen tersebut di “era global” ini memang agak sulit, mengingat industi telah menyeragamkan pengetahuan dan menjadikan dunia sebagai sebuah kesatuan soundscape. Namun dengan petapaan yang mumpuni, bukan tidak mungkin “musik mistis” degan ketajaman olah psychoacoustic dapat kembali dihasilkan – sehingga bermunculanlah Satori (baca: pencerahan) dan mengakhiri abad kegelapan dalam musik yang tengah melanda saat ini.

Keterangan dan Sumber:
[1] Schafer, Murray, 1994, The Soundscape: Our Sonic Environments and the Tuning of the World, Rochester: Destiny Books
[2] Menurut pengetahuan populer, musik psychadelic lahir pada tahun 1967 setelah The Beatles mengeluarkan Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band, walau menurut menurut saya banyak album lain yang lahir di tahun itu lebih mabuk dari Beatles, seperti misalnya Bitches Brew karya Miles Davis
[3] ingatan bawah sadar akan suara (Schafer, 1994, ibid.)
[4] Proto-doom adalah sebutan untuk estetika musik yang lahir di akhir tahun 1960an hingga awal 1970an, dicirikan dengan distorsi gitar kasar (untuk saat itu), dengan tempo lebih lambat, komposisi kunci minor dan penggunaan pola nada berulang
[5] Arhythmic diartikan nada tanpa pola baku, tidak beraturan
[6] Stokes, Martin, 2004, “Music and the Global Order” dalam Annual Review of Anthropology, Vol. 33 hal. 47-72
[7] Ipsen, D, 2001, “The Urban Nightingale or Some Theoretical Considerations about Sound and Noise” dalam Proceedings Internoise, hal. 1-39

Share on:

Leave a Comment