Not the Cabaret Voltaire, but the Cabaret Voltaire

Terdapat sebuah klub malam legendaris di Zurich bernama Cabaret Voltaire yang menjadi rahim bagi kelahiran gerakan Dadaisme (dada art). Tahun lalu, tepatnya tahun 2016, adalah peringatan seratus tahun pendirian Cabaret Voltaire yang dirayakan oleh berbagai komunitas seni dunia. Walaupun gerakan Dadaisme sudah menjadi klise (karena terlalu sering dibahas dalam buku teori daripada dipraktekkan), hingga kini Cabaret Voltaire masih menjadi atraksi khusus bagi para seniman pelancong yang singgah di Zurich. Tapi tulisan ini bukan tentang tempat sakral para Dadaist tersebut – melainkan tentang Cabaret Voltaire lain dengan wujud tiga orang musisi dari Inggris. Dalam ensiklopedi musik, Cabaret Voltaire adalah salah satu band awal yang mengusung aliran musik industri: sebuah aliran dengan definisi ambigu – campuran antara kebosanan, protes sosial dan pernyataan estetika. Dengan mengacu pada manifesto Dadaisme di awal abad 20, Cabaret Voltaire layaknya penjaga obor dalam upaya mempertahankan “kewarasan dan kemurnian seni”, kali ini melalui musik.


(Cabaret Voltaire – Photophobia)

Semangat Dadaisme sudah melekat sejak karya awal Cabaret Voltaire. Ketiga musisi yang tergabung didalamnya (Stephen Mallinder, Richard Kirk, dan Chris Watson) memiliki pandangan sinis terhadap musik di sekeliling mereka yang dipandang tidak lagi tajam dalam merepresentasikan jaman. Melihat genre punk yang mati secara prematur (Sex Pistols ditundukkan label rekaman EMI dan The Clash yang dicengkeram label Sony), maka bersama dengan beberapa band lain yang memiliki kebosanan sama, Cabaret Voltaire bersikukuh untuk tetap berada di luar garis musik mainstream. Adapun sebutan “industrial music” (harap dibedakan dengan industri musik), melekat ketika Throbing Gristle menyatakan bahwa musik yang diusung beberapa band pada era tersebut – termasuk Cabaret Voltaire – adalah musik industri. Sikap ini mengingatkan kita pada musik futurisme, musik concrete, juga Krautrock yang sama-sama menyuarakan bahwa musik dapat menjadi cerminan realita. Dengan mengacu pada soundscape masyarakat industrial, maka musik yang terlahir pun berada pada kondisi psikologis yang sama: muram, terasing, artifisial dengan nada ritmik berulang yang penuh kebosanan.

Atas alasan selera yang subjektif, saya lebih memilih mendengarkan Cabaret Voltaire dibanding dengan band lain yang sejaman dan sepemikiran. Rasanya dibanding dengan Throbing Gristle, The Leather Nun, Clock DVA, ataupun Surgical Penis Klinik (SPK) – eksperimen Cabaret Voltaire terasa jauh lebih khusyuk.  Di tangan mereka, musik tidak dibuat untuk kenyamanan atau pertunjukkan. Rekaman awal mereka (sejak 1976 hingga 1979) dibuat berdasarkan gagasan ini. Dengan “membajak” panggung musisi lain, salah satunya Joy Division, trio Cabaret Voltaire menyebarkan kredo dadaisme di tengah komersialisasi musik era 1970an. Baru pada tahun 1979, mereka mulai merangkum lagu-lagu mereka dalam sebuah album (Mix Up, 1979) dan menjadi salah satu band terkemuka dalam gerakan anti-musik di Inggris bersandingan dengan band lain yang mengusung musik industri. Anti-musik sendiri adalah sebuah istilah yang mengacu pada proses pembuatan musik. Menurut Woods dalam “Industrial Music for Industrial People: The History and Development of an Underground Genre”, anti-musik merupakan eksperimen dalam musik kontemporer dengan menggunakan berbagai elemen bunyi (terutama diluar dari yang dihasilkan oleh alat musik). Secara estetis, musik industri berpijak pada eksperimen ini – dengan tujuan menantang para pendengar dalam memaknai ulang konsepsi musik. Adapun bagi Cabaret Voltaire musik memiliki fungsi lain: yaitu refleksi realita sebagai katalis kesadaran.


(Cabaret Voltaire – Spread of Virus)

Hampir setiap album dalam jajaran karya Cabaret Voltaire memiliki konteks protes sosial atau politik – Richard Kirk menyebutnya “titik kulminasi”. Sebut saja album Red Mecca (1981) yang merupakan gambaran tentang maraknya gerakan evangelist di televisi yang hanya mencoba meraup keuntungan. Kondisi ini lantas dibandingkan dengan revolusi Islam di Iran dan Afganistan kala itu yang sama-sama memakan banyak korban. Dalam The Crackdown (1983) mereka seakan meramalkan kejatuhan ekonomi Inggris, sedangkan dalam Micro-phonies (1984), the Cabs (sebutan untuk Cabaret Voltaire), menyindir ekstrimisme politik yang melanda tetangga seberang laut mereka, Amerika Serikat. Entah bagaimana rasanya mendengarkan lagu mereka ketika kejadian-kejadian tersebut berlangsung. Saya membayangkan lagu-lagu mereka menimbulkan efek kejut – baik secara estetis ataupun pernyataan politik. Namun, karena saya mendengarkannya jauh di luar konteks  waktu, maka yang saya rasakan adalah ketakjuban musikalitas semata. Bagi saya, itupun mampu memberikan efek kejut yang tidak main-main.

Protes-protes sosial yang selalu ditunjukkan Cabaret Voltaire bersandingan dengan sikap acuh tak acuh terhadap skena musik di sekitarnya. Tapi, walaupun terkesan menjaga jarak, ternyata konsep eksperimen anti-musik mereka memberi jalan pada perkembangan new wave dan post-punk yang populer ketika memasuki 1980an. Pengaruh ini bertahan hingga tahun 1990 ketika pendekatan musik industrial kembali digunakan oleh beberapa band saat itu, diantaranya Nine Inch Nail, Orgy hingga Marylin Manson. Tapi sebagaimana yang kita tahu, membandingkan penerusnya dengan kualitas musik Cabaret Voltaire dapat digambarkan melalui peribahasa: jauh api dari panggang. Godaan komersialisasi musik yang terlalu kuat, ditambah dengan definisi “industrial music” yang sangat cair, menjadikan siapa saja yang menggunakan synthesizer dapat masuk kedalam definisi musik industri. Inilah yang disebut Attali (dalam Noise: The Political Economy of Music) sebagai paradoks dalam industrial music: bahwa musik yang pada awalnya berfungsi sebagai kritik terhadap dystopia, menjadi dystopia itu sendiri ketika para musisi merangkul suara dan moods dari musik sebelumnya tanpa disandingkan dengan konteks masyarakat yang ada. Sebuah jejak embracing dystopia dalam musik industri digambarkan sebagai berikut:

(Sumber Gambar: Woods, 2007: 55)

Dalam peta diatas, Cabaret Voltaire berada pada gerakan music industrial yang bersinggungan langsung dengan manifesto avant-garde. Khusus bagi Cabaret Voltaire, dadaisme memiliki peran penting dalam musikalitas mereka. Spontanitas adalah pendekatan yang dapat dilakukan agar musik dapat tetap bersentuhan dengan konteks jaman. Penjelasan ini tidak dibuat-buat, karena ketika tengah mencari tahu tentang band ajaib ini, saya bersinggungan dengan teks yang dibuat oleh Stephen Mallinder, yang tidak lain adalah sang vokalis sendiri. Dalam tesisnya yang berjudul “Movement: Journey of the Beat”, Mallinder menyatakan bahwa Cabaret Voltaire merupakan sebuah projek musik dengan tujuan “untuk mengubah ritme populer di masyarakat, yang pada akhirnya akan mengubah ritme dan waktu sosial”. Dalam hal ini, ia mengutip Attali yang menyatakan bahwa musik adalah “mata uang” dalam konteks sosial dan politik: sebagai penggerak bawah sadar ritme hidup dan denyut nadi masyarakat. Inilah yang menjadikan Cabaret Voltaire terasa berbeda dari musik yang yang dihasilkan oleh band serupa, baik pada jamannya ataupun setelahnya. Eksistensi musik yang mereka mainkan seakan lantang menyatakan: “we are not only to theorize about music, but through music”. Beginilah jadinya jika musik berada di tangan para avant-garde, ia menjadi sesuatu yang melebihi nada. Léopold Senghor menyebutnya: the architecture of being.

Referensi:
Woods, Bret. D., 2007, Industrial Music for Industrial People: The History and Development of an Underground Genre, Florida State University
Mallinder, Stephen, 2001, Movement: Journey of the Beat, Thesis in School of Media Communication and Culture, Murdoch University, Western Australia
Attali, Jacques, 1985, Noise: The Political Economy of Music, University of Minnesota Press, Minneapolis

Share on:

Leave a Comment