No Wave: estetika para anti-estetik

New York di akhir tahun 1970an memiliki wajah yang mengerikan – Lydia Lunch, penyair sekaligus vokalis kontroversial yang aktif pada era tersebut menyatakan “New York at that moment was bankrupt, poor, dirty, violent, drug-infested, sex-obsessed – delightful”[1]. Kata “delightful” ia gunakan untuk mewakili sarkasme yang disuarakan oleh kelompok seniman nihilist New York saat itu. Bersama-sama, mereka menyerbu berbagai art scene – mulai dari panggung musik, galeri seni, gedung pertunjukan hingga museum. Gerakan ini dikenal dengan sebutan gerakan No Wave – sebuah “kekacauan artistik ” yang mencoba mempreteli seluruh kemunafikan New York dan menampilkan sisi kota yang sebenarnya: gelap dan kotor. Dengan jajaran para artis anarkis dibelakangnya – antara lain: (para pembuat film) Jim Jarmusch, Eric Mitchell, Vincent Gallo, (artis visual) Stafan Eins, Ann Magnuson, John Fekner, Barbara Ess, Joseph Nechvatal, Alan Vega (serta musisi) Lydia Lunch, D N A, Teenage Jesus and the Jerks, Mars, the Contortion, serta personil Sonic Youth, Thurston Moore dan Kim Gordon – No Wave menolak standar estetika yang ditampilkan oleh para kurator ataupun label rekaman. Gerakan ini muncul hanya dalam waktu sangat singkat – antara 1976 hingga 1980 –, namun mampu mengubah New York menjadi taman bermain dengan tema nihilisme dan memberi pengaruh luas, terutama dalam (estetika) musik populer.

Gerakan No Wave bukanlah genre musik, Thurston Moore mengingatnya sebagai: It’s only a “movement” in retrospect. Sekilas, gerakan ini mengingatkan pada invasi anti-seni dadaisme. Namun ketika keliaran dadaisme berpijak pada protes terhadap ketidakmurnian seni dan kemunafikan pertunjukkan, maka No Wave lahir dari keliaran yang sama sekali lain: It was the waste product of “Taxi Driver”, Times Square, the Son of Sam, the blackout of ’77, widespread political corruption, rampant poverty, the failure of the Summer of Love, the [expletive] of Charles Manson, the hell of the Vietnam War, and a desperate need to violently rebel against the complacency of a zombie nation dumbed down by sitcoms and disco[2]. Sebuah kekacauan yang didorong oleh rasa frustasi atas atmosfir brutal kota [New York] dan kekecewaan mendalam terhadap para pahlawan pendahulu (baca: musisi folk era 1960an yang kehilangan arah, sinisme Warhol yang ditelan mentah-mentah dan menjelma menjadi sebatas budaya “pop”, gerakan punk yang kandas oleh industri musik, serta musisi new wave yang [mereka anggap] tidak bersentuhan dengan realita). Sutradara Scott Crary mencoba merangkum gerakan No Wave dalam film berjudul “Kill Your Idols” yang dirilis para tahun 2005 – didalamnya terdapat serangkaian wawancara dengan para musisi serta cuplikan-cuplikan konser – namun, tanpa menihilkan keberadaan musisi dan band lain yang terlibat dalam gerakan tersebut, terdapat dua band yang mampu bertahan (baik dalam segi pengaruh ataupun formasi), bahkan lama setelah huru-hara No Wave berakhir. Kedua band tersebut adalah Suicide dan Sonic Youth.


(Suicide, Ghost Rider, 1977)

Suicide merupakan band dengan konsep live performance – ya, mereka memang mengeluarkan album (itupun hanya dua, tahun 1977 dan 1980), namun musik dalam versi audio tidak seberapa dibandingkan pertunjukkan mereka. Setidaknya itulah yang dikemukakan oleh Jim Jarmusch dalam cuplikan Suicide: Punk Attitude Documenter[3]. Dalam sisi musikalitas, duo Alan Vega dan Martin Rev ini memiliki tempat tersendiri, terutama di kalangan musisi post-punk, art-punk dan juga para pengusung genre elektronik. Jika punk menampilkan minimalism dalam musiknya melalui eksplorasi tiga chord, maka Suicide – menurut Alan Vega sang vokalis: I guess we were too punk even for the punk crowd[4]. Membaca pernyataan ini, saya pun mengangguk setuju – ketika membandingkan Suicide dengan punk yang tumbuh di pertengahan tahun 1970an, seperti The Ramones, Television, bahkan dengan The Clash dan Sex Pistols sekalipun, Suicide terdengar jauh lebih “menggangu”. Dalam banyak segi, mereka berhasil membuat musisi punk dan penganut subkultur anti-kemapanan ini menjadi terlihat “mapan”. Sindiran ini mereka ekspresikan baik melalui musik, pertunjukkan ataupun perilaku di luar panggung – Lydia Lunch menggambarkan Alan Vega sebagai “a perverted Puerto Rican, Elvis Presley-­damaged, psychotic acid casualty”[5], dan kepribadian inilah yang ia tampilkan dalam musik: psikotik, liar dan mabuk.

Ketika album Suicide (1977) dirilis, kebanyakan kritikus musik [punk] mengernyitkan dahi, begitu pula para musisi punk lainnya yang menganggap Suicide bukan bagian dari mereka. Tapi justru itulah efek yang diinginkan oleh Allan Vega – ia menjadikan Suicide sebagai living comedy dari punk. Dengan menuliskan “Suicide (Punk Band!)” dalam setiap posternya, Vega adalah jenius sarkastik yang mengolok-olok punk dengan dandanan berlebihan dan rantai yang ia bawa dalam setiap pertunjukkan. Ternyata, olok-olok ini tidaklah hadir tanpa konsep, karena sebelum membentuk Suicide, Alan Vega adalah seorang artis anarki yang ikut dalam blokade Museum of Modern Art (MoMA) pada tahun 1976. Ia juga dikenal sebagai seorang pematung yang bergabung dalam pameran jalanan electronic junk di Times Square sebagai bentuk protes terhadap keangkuhan seni kota New York. Ketika ia bertemu Martin Rev, gagasan protes tersebut ia alihkan dalam bentuk musik – dari sini kita dapat melihat bahwa Suicide bukan sekedar ekspresi musik, namun sebagai bentuk anti-estetik dari standar estetika yang berlaku dalam industri musik saat itu.


(Suicide, Girl, 1977)

Melalui penyataan anti-estetiknya, Suicide kemudian dikenal sebagai salah satu band awal dalam gerakan No Wave. Hingga saat ini mereka tidak pernah menyatakan bubar, namun sebagaimana band No Wave lainnya, mereka tidak lagi aktif setelah memasuki tahun 1980an. Diantara band yang lahir pada era tersebut, terdapat satu band yang mampu bertahan selama tiga dekade, menghasilkan belasan album dan meneruskan manifestasi No Wave dengan mengusung konsep penghancuran [kemapanan] estetika – band tersebut adalah Sonic Youth. Thurston Moore, yang membentuk Sonic Youth bersama Kim Gordon, dikenal sebagai salah figur kunci dari gerakan No Wave. Ia merupakan kurator dalam konser-konser No Wave di klub-klub underground New York. Dengan menggunakan konsep noise, ia mengundang band yang mampu bermain seberisik mungkin untuk satu tujuan: menyaingi kehebohan musik new wave yang merupakan jualan utama label rekaman saat itu. Hal inilah yang menjadikan dua album pertama Sonic Youth kental dengan eksplorasi noise. Namun dibalik Thurston Moore, terdapat sosok lain yang memperkenalkan noise kepada musisi bawah tanah New York: ialah Brian Eno – melalui eksperimen musik dalam album No New York (yang kemudian diplesetkan menjadi No New Wave, asal muasal dari istilah “No Wave”). Tapi tidak diragukan lagi bahwa dua album pertama Sonic Youth-lah (Sonic Youth dan Confusion is Sex) yang mengangkat noise sebagai salah satu [anti-]estetika gerakan No Wave. Keduanya merupakan karya monumental sekaligus senjata ampuh untuk mendobrak kebuntuan (perspektif) musik di awal dekade 1980an.


(Sonic Youth, Freezer Burn/I wanna be your dog )

Gaung gerakan No Wave memang tidak begitu terdengar jika dibandingkan dengan gerakan lain seperti hippies, punk ataupun new wave sekalipun. Hal ini mengacu pada fakta bahwa seniman, khususnya musisi yang terlibat didalamnya meletakkan diri sebagai oposan terhadap industri musik. Slogan mereka “NO – to everything”, adalah sebuah upaya pemurnian dari pelabelan semena-mena sekaligus sebagai bentuk protes artistik. Gegap gempita industri musik memang tidak pernah bersentuhan dengan gerakan ini, namun pengaruhnya pada estetika musik [populer] sangatlah jelas: bahwa anarki, sebagaimana dikemukakan oleh Ben Anderson, sangat diperlukan sebagai bentuk nyata dari kemarahan terhadap sistem yang tidak lagi peka kepada realita.

Sumber:
[1] Lunch, Lydia, dalam Ben Sisario, “A Brief, Noisy Moment That Still Reverberates”, New York Times, 12 Juni 2008
[2] Moore, Thurston dan Byron Coley, “No Wave: Post Punk”, New York Times, 12 Juni 2008
[3] Suicide: Punk Attitude Documenter 
[4] Wilde, Jon, “Every night I thought I’d be killed” Guardian, 1 Agustus 2008 
[5] op.cit., New York Times, 12 Juni 2008

Share on:

Leave a Comment