Narcissus 2.0

Ada satu pertanyaan yang kesannya trivial tetapi penting: jika Narcissus hidup di abad 21, di manakah ia akan bercermin? Dikatakan Narcissus bercermin bukan di depan kaca tetapi di permukaan air karena ia tengah berada di hutan, di pinggir danau.[1] Apa artinya itu? Kita dapat mengartikannya sebagai tindakan kesegara-geraan. Maksudnya, Narcissus ingin secepat mungkin dapat melihat refleksinya, sehingga tidak mungkin ia harus pulang dulu ke rumahnya kemudian bercermin; Narcissus ingin bercermin secara ‘realtime’. Maka jawaban spekulatif untuk pertanyaan sebelumnya adalah, Narcissus modern akan bercermin di media sosial.

Media sosial seperti Facebook, Twitter dan lainnya harus diartikan lebih dari sarana berjejaring sosial saja, tetapi juga sebagai sarana untuk berperforma mereproduksi identitas. Ambil contoh fitur ‘Newsfeed’ dalam Facebook, fitur tersebut merupakan ruang performatif di mana identitas dapat direproduksi (Cote & Pybus, 2011). Identitas akan bertahan jika dan hanya jika seseorang aktif dalam ruang tersebut, katakanlah seperti meng-update status, mengganti gambar profil, membagi link artikel, menyukai dan mengomentari unggahan newsfeed dari pengguna (baca: teman) lain. Cote & Pybus[2] mengutip Judith Butler, menyebutkan performa tadi adalah cara individu untuk bertahan sebagai subjek sehingga dapat diberikan pengakuan (recognition) dari pihak lain. Sedangkan alasan identitas dalam sosial media sifatnya performatif karena newsfeed atau timeline (linimasa) di Twitter yang sifatnya realtime perlu dilihat sebagai arus atau ‘flow’. Nama ‘timeline’ saja sudah menggambarkan bahwa waktu dalam sosial media berpijak pada hukum yang sedikit banyak berbeda dengan waktu aktual. Timeline hanya akan bergerak jika ada ‘tweet’ dari akun yang seseorang ikuti. Artinya umur sebuah tweet atau sebuah feeds -yang sejatinya adalah performa reproduktif identitas- tidaklah panjang dan sangat rentan untuk ditimpa tweet atau feeds dari pengguna lain yang seseorag ikuti. Dan dalam pengertian itulah kita perlu melihat sosial media sebagai flow. Sebagai konsekuensinya, jika seseorang tidak aktif berperforma di linimasa atau di newsfeed, ia akan tersisih dari ruang tersebut dan alhasil identitasnya sebagai subjek (facebookers atau seleb tweet) menghilang pula. Jadi, ke-realtime-an media sosial menjadikannya sebagai cemin-berjalan bagi para pengguna. Sehingga pengguna dapat dengan mudah  berkaca ‘siapa aku’ atau ‘seperti apa aku’, sekaligus berperforma mengonstruksi, mempertahankan dan memodifikasinya kapanpun dan di manapun.

Kaitannya dengan narsisme, aktivitas di sosial media dapat diartikan sebagai pengarsipan informasi personal, membangun profil dan meningkatkan kehadiran dalam jaringan (daring) digital (Cote & Pybus, ibid). Tentu yang menjadi pusat dalam kegiatan itu adalah diri si pengguna, ‘ego-centered’. Dalam aktivitas performatif itu sifatnya tak hanya konstitutif bagi identitas, tetapi juga mempertahankan (to remain recognizable) dan melestarikan identitas. Tentunya aktivitas Narsisme 2.0 tak terjadi jika tidak didukung perkembangan ‘smartphones’ atau gadget mikro lain yang memungkinkan seseorang untuk secara ‘realtime’ memantau, mengakses dan berpartisipasi dalam sosial media hampir di manapun (meleburkan distingsi ruang publik-privat) dan kapanpun (meningkatkan efisiensi waktu). Atau singkatnya, performa subjek tak lagi mengenal dimensi spasio-temporal. Dengan demikian, baik mulai pembangunan , pemeliharaan dan pemodifikasian identitas mengalami miniaturisasi dan kompresi dalam gadget mikro sebagai entry-point menuju media sosial.

Berdasarkan sumber suplainya, kita perlu membedakan pula jenis narsisme. Jika tweet dan newsfeed  lebih menekankan pada ‘cerebral narcissism’ (yakni narsisme yang berkaitan dengan kemampuan kognisi), bandingkan dengan instagram dengan fitur ‘tag’-nya. Fitur tersebut lebih menonjolkan narsisme somatik, atau ketubuhan, dari sang pengguna. Tag sering ditempatkan tepat di muka para penggunggah foto menandakan bahwa wajah sebagai bagian tubuh seseorang yang patut disematkan nama. Nama merupakan salah satu tatanan simbolik atau bahasa yang membangun diri. Maka dapat diartikan fokus kedirian seseorang berada di mukanya sesuai dengan tag yang ditempatkannya. Hal ini tak berbeda dengan Narcissus yang bercermin di danau dan terkagum-kagum atas dirinya (yang padahal dia liat hanya sebatas wajahnya).

Ambil contoh Instagram (IG) sebagai salah satu media sosial yang dispesifikan untuk saling berbagi foto. Menurut salah satu teman penulis, instagram pada awal rilisnya memiliki konten yang sama ‘artistiknya’ dengan Flickr. Banyak fotografer profesional yang memiliki akun IG dan aktif mengunggah karya mereka. IG juga memberikan cukup keamanan karena tidak mengizinkan cara mudah untuk mengunduh foto-foto yang ada di dalamnya. Untuk mengunduh foto di IG, seseorang perlu aplikasi lain. Namun cerita berganti, ketika konten artistik dalam IG dinilai menurun.

Masih menurut kawan penulis, menurunnya konten artistik dicirikan dengan maraknya foto selfie berseliweran. Fenomena itu bisa disebabkan oleh munculnya fitur ‘tag’ di IG sejak paruh kedua tahun 2013. Fitur ini merupakan fitur bawaan yang sudah dikembangkan dan efektif diterapkan di Facebook. Fitur ini dibawa dari FB ke IG karena FB resmi membeli IG pada April 2012. Seperti yang dilansir Tech Crunch, fitur tersebut efektif “gives people and brands a new way to curate their Instagram presence, and businesses can show off user-taken photos of them.[3] Kata ‘presence’ dan ‘show off’ perlu diperhatikan. Presence mungkin memang lebih fokus pada pengguna saja, mereka tak mencari profit, mereka hanya melakukan ekonomi identitas saja. Sedangkan ‘show off user-taken photos’, berfokus pada bisnis untuk menggunakan IG sebagai media pemasaran. Namun kedua sisi tersebut kini tak lagi begitu terpisah. Mekanisme IG yang sudah jadi rahasia umum: punyai profil IG yang ‘favorable’ sehingga followers banyak, nanti Anda akan diminta jadi promotor suatu produk, maka identitas Anda juga semakin diperkuat apalagi jika merk produk tersebut sedang gandrung di anak muda. Apa artinya? Bisnis dan konstitusi identitas individual saling resiprokal memperkuat.

Ada satu aplikasi cukup baru yang penulis nilai sangat narsistik hari ini, aplikasi tersebut bernama Tinder. Cara kerja Tinder cukup sederhana, sambungkan dengan akun FB Anda, lalu pilih foto-foto untuk ditampilkan pada pengguna lain, tulis sedikit biografi/identitas, lalu nyalakan GPS. Ketika Anda gunakan Tinder, aplikasi tersebut akan melacak pengguna lain yang ada di sekitar Anda, setelah preferensi (jenis kelamin, umur dan jaraknya) Anda atur terlebih dahulu. Setelah daftar pengguna lain muncul, Anda diminta melakukan ‘seleksi’ terhadap pengguna lain berdasarkan foto dan biografi singkat, similar interests atau similar friends pengguna lain. Jika anda suka, tap tanda hati atau geserkan foto ke kanan, jika tidak tap tanda silang atau geser ke kiri. Jika pengguna lain juga menyukai Anda (baca: ‘match’), nantinya Anda baru bisa chatting dengan pengguna tersebut.

Cara kerja sampai sini saja cukup narisitik. Ketika membuka aplikasi, foto Anda ditempatkan di tengah-tengah, lalu seperti radar aplikasi melacak pangguna lain dalam radius yang Anda kehendaki. Anda diposisikan di pusat galaksi, seperti matahari sedangkan planet-planet lain yang lebih kecil mengitari Anda. Lalu Anda diberikan otoritas semu untuk menyeleksi para users di sekitar Anda, seperti seorang pangeran yang melakukan seleksi calon permaisuri. Namun tunggu dulu, mengapa otoritas seleksi itu semu sifatnya padahal seakan-akan Anda diposisikan sebagai master (dalam relasi master-slave)? Otoritas ini semu karena, di sisi lain, pengguna lain juga melakukan seleksi yang sama terhadap Anda. Anda, yang sekan-akan berlaku seperti Master yang melakukan seleksi terhadap slaves, sebenarnya juga adalah tak lebih dari slave juga. Karena eksistensi anda, pertama hanya akan muncul jika Anda masuk prasyarat atau preferensi awal dari pengguna lain (jenis kelamin, umur, dan radius). Kedua, pengakuan eksistensi Anda tak lebih dari gerakan geser-menggeser jempol pengguna lain.

Anda berada dalam kondisi kontradiktif, sebagai pengguna aktif Anda adalah Master. Namun sekaligus Anda adalah slave dari pengguna aktif lainnya. Jadi apakah Anda Master atau slave? Untuk menjelaskan hal ini, cocok kiranya penjelasan Hegel mengenai hubungan Master-slave. Master bagi Hegel tidak diartikan sebagai seorang yang serba kuat dibanding dengan slavenya. Master bagi Hegel hanya akan jadi Master jika slavenya dengan lapang dada mengakui predikatnya itu. Tanpa adanya rekognisi slave, Master tak lebih dari seorang feodal di era demokratis yang tak henti-henti meromantisasi kejayaan zaman yang dulu. Di era Tinder, Anda diposisikan sebagai Master padahal Anda adalah slave untuk Master (user) lain. Dengan ke-Master-an yang semu, Anda ketergantungan pada rekognisi; Narcissus yang ingin diakui identitasnya sembari ‘denying’ kenarisitikan patologisnya.

Lebih jauhnya, Zizek melihat narsisme patologis sebagai ‘social mandatory character’ atau ‘mask character’ di masyarakat pasca-industri ini.[4] Subjek yang terus-menerus didorong untuk mencapai ‘social success’ tak jarang seraya mendominasi dan mengeksploitasi pihak lain, secara pararel mengembangkan subjektivitas yang konformis terhadap tuntutan tersebut. Artinya karakter atau subjektivitas yang narsistik sifatnya fungsional dalam masyarakat kontemporer hari ini, supaya bisa memenuhi permintaan superego. Atau sederhananya, manusia diharuskan narsis sebagai bentuk konformitas terhadap dorongan dari masyarakat. Superego di sini perlu diartikan sebagai dorongan untuk berkonsumsi ria, atau dalam kosakata Zizek ‘superego permisif’. Etika post-Fordisme berbeda dengan etika sebelumnya, etika sekarang bersifat permisif tapi tetap sama instruktifnya; “enjoy yourself!” Perintah untuk menikmati diri sendiri ini (perintah yang narsistik) tak lepas dari idealisasi. Maksudnya masih ada aturan dari masyarakat bagaimana cara yang ideal dalam  menikmati diri sendiri. Apa-apa saja yang dapat dinarsiskan telah sebelumnya tercantum pada daftar menu restoran yang bernama Masyarakat. Individu dituntut untuk memakan semua menu sehingga ia bisa narsis.

Lihat saja seheterogen apapun aktivitas keseharian manusia hari ini, standar kesuksesan anehnya masih sangat homogen yakni diukur oleh kepemilikan materi pribadi/individu. Di satu sisi kesuksesan sosial, atau kesuksesan yang diakui masyarakat hanya ditujukan untuk individu per se. Di sisi lain, kesuksesan individu akan sahih hanya jika kesuksesan individual itu disosialkan, atau dalam bahasa kekiniannya, di-‘viral’-kan. Maka media sosial menjadi medium pengumuman kesuksesan individual tadi. Performa  mengumumkan sembari bercermin, sebagai ‘reiterasi’, menyebabkan semakin kuatnya nilai-nilai ideal kesuksesan sosial memancang di kehidupan masyarakat hari ini. Itu juga sekaligus membuat orang-orang yang belum mencapai kesuksesan tersebut merasa insecure, bahkan hingga ke tingkat ontologis (ontological insecurity). Singkatnya, yang paling narsis adalah yang paling sukses. Sedangkan yang belum sukses, sedang menunda kenarsisannya.

Maka pada dasarnya individu-individu narsistik patologis, yang seakan-akan normal -dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya- berjalan ke arah yang sama; ke arah sukses yang diakui secara sosial tanpa disadari oleh diri mereka sendiri. Zizek juga berkata, ‘the subject’s desire is…always mediated by the desire of the Other’. Atau dalam kata lain, semakin seorang mengejar kesuksesan sosial, semakin dirinya sebenarnya tak mengetahui apa yang ia inginkan karena ia hanya menginginkan keinginan ‘orang-orang banyak’.

Jadi, apakah bunga tumbuh dari telur Narcissus? Penulis teringat pada puisi Robert Burns berjudul ‘To a Mouse’ yang mana salah satu stanzanya dijadikan judul novel Steinbeck ‘Of Mice and Men’:


The best laid schemes o’ Mice an’ Men,
Gang aft agley,
An’ lea’e us nought but grief an’ pain,
For promis’d joy!

Fase merekah menjadi dafodil seperti yang tergambar dalam lukisan Dali ‘Metamorphosis of Narcissus’, tak lebih dari iming-iming kosong; kesuksesan sosial memberikan identitas mapan bagi subjek narsistik patologis. Sebaliknya, kesuksesan sosial hanya akan ‘… leave us nothing but grief and pain for promised joy!’ (jouissance).

Sumber:
[1] Greek Myths 
[2] Learning to immaterial labour 2.0: Facebook and social networks. Mark Cote & Jennifer Pybus. Cognitive capitalism, education and digital labour. New York, NY: Peter Lang. 2011
[3] Techcrunch 
[4] Slavoj Zizek. “Pathological Narcissus” as a Socially Mandatory Form of Subjectivity.

Share on:

Leave a Comment