Naked Existence

Nama Aldous Huxley rasanya memang tidak seterkenal Jean-Paul Sartre atau Albert Camus di kalangan anak muda yang tengah dilanda fase penyadaran (keberadaan) diri. Di satu sisi, kondisi ini ada untungnya, karena tidak seperti pemikiran Sartre dan Camus yang kerap dikutip keluar dari konteks dan dijadikan aksesoris intelektual oleh para penggandrung eksistensialism – gagasan-gagasan Huxley memiliki ruang tersendiri yang hanya disentuh oleh para pencari makna keberadaan dengan satu tujuan: untuk menembus batas persepsi. Melalui karyanya yang berjudul The Doors of Perception, kita diajaknya masuk kedalam sebuah kesadaran – yang tidak memberontak seperti Camus ataupun membakar seperti Sartre. Persepsi Aldous Huxley adalah sebuah kesadaran memabukkan yang ia ungkapkan melalui sebuah frase: Naked Existence.

“I was not looking now at an unusual flower arrangement. I was seeing what Adam had seen on the morning of his creation-the miracle, moment by moment, of naked existence.”

Huxley berada dibawah pengaruh mescalin ketika ia berucap tentang konsepsi kesadarannya – dan begitupun seluruh bagian dalam buku The Doors of Perception yang merupakan rekaman wawancara yang dilakukan ketika Huxley melakukan eksperimen mabuknya. Ia begitu penasaran dengan efek Anhalonium lewinii – senyawa yang terkandung dalam sejenis akar atau tetumbuhan yang digunakan para Shaman Indian dalam ritual keagamaan yang kemudian dibawa ke dunia sains oleh seorang ahli farmasi Jerman, Louis Lewin. Efek yang dihasilkan mescalin digambarkan oleh para Shaman “mampu membuat seseorang bertemu dengan dewa tertinggi” – tapi untuk menuju kesana diperlukan pemahaman spiritual mendalam sehingga tidak semua mampu mencapai tujuan transenden tersebut. Sulitnya mencapai puncak spiritualisme melalui penggunaan mescalin digambarkan seorang antropolog kawakan bernama Carlos Castaneda. Dalam dua bukunya yang berjudul The Teaching of Don Juan dan Separate Reality – Castaneda memaparkan proses “magang”nya dibawah bimbingan seorang Shaman Indian Yaqui, Don Juan, yang tetap mengalami kebuntuan walaupun telah ia lakukan selama bertahun-tahun. Castaneda pada akhirnya menarik sebuah garis kesimpulan: bahwa perjalanan (mescalin) adalah sesuatu yang personal, sangat bergantung pada pemahaman dan nilai diri seseorang – dan kita, tidak pernah mengalami apa yang dialami (seorang) Indian, sehingga puncak spiritualisme Yaqui adalah mustahil bagi siapapun yang berasal dari luar.

Kesimpulan Castaneda inilah yang kemudian menjadi jembatan dalam memahami The Doors of Perception karya Huxley – karena Huxley nyata-nyata bukan orang Indian. Ia lahir di Inggris tahun 1894 dari keluarga terpandang dalam bidang pendidikan. Ayahnya, Leonard Huxley, adalah seorang penulis dan kepala sekolah, kakeknya – Thomas Henry Huxley – adalah seorang zoologist kontroversial, pamannya adalah sang penyair Matthew Arnold, sedangkan kedua saudaranya dikenal sebagai pakar biologi terkemuka Inggris. (Aldous) Huxley sendiri memulai karirnya sebagai editor puisi di majalah sastra Oxford Poetry, namun kemudian lebih dikenal sebagai essayist dan penulis fiksi serta non-fiksi. Tulisannya bersentuhan dengan topik yang sangat luas, mulai dari filsafat, lukisan, musik, psikologi, politik, puisi, hingga mescalin. Dan diantara jajaran karyanya, tiga yang paling terkenal adalah novel Brave New World, uraian spiritualisme timur yang ia rangkum dalam The Perrenial Philophophy dan perjalanan mabuk yang ia tulis dalam The Doors of Perception. Dan karena latar belakang inilah, maka ketika pada tahun 1954 ia bersinggungan dengan mescalin – Huxley tidak menjelma (atau mencoba menjelma) menjadi Shaman Indian yang mencari dewa tertinggi, tapi sebagai seorang filsuf penyair yang membuka pintu menuju kebebasan persepsi kesadaran.

“A rose is a rose is a rose”, adalah penggambaran Huxley tentang naked existence. Dalam The Doors of Perception, Huxley mengkritik filsafat platonik yang memisahkan keberadaan (being) dan proses mengada (becoming). Menurut Huxley, Plato terlalu perhitungan, sehingga bunga yang memancarkan keindahan (dirinya sendiri) akan dihitung secara matematis kedalam bentuk abstraksi idea – padahal, “mawar adalah mawar”, bukan sebuah abstraksi dari apapun. Keberadaan (being), dalam persepsi Huxley adalah paradoks pembuktian diri – ia berasal dari diri bukan berasal dari tekanan abstaksi idea di sekitarnya: bahwa Mawar bersinar indah karena dirinya sendiri, bukan karena cahaya yang menyinarinya. Dari sini, gagasan utilitarian John Locke pun dibantahnya: bahwa dalam kemurniannya (pure being), warna sebuah benda akan lebih berharga daripada massa, posisi, dan juga dimensinya. Keberadaan, yang hadir dalam kemurnian yang telanjang, adalah ikatan waktu (bundle of time) dinama seluruh eksistensi ilahiah mewujud. Ketika ditanya mengapa manusia perlu memahami naked existence, Huxley berucap: bahwa saat ini kita hidup dalam dunia dimana manusia tidak lagi memperhatikan segala sesuatu sebagaimana adanya – segala hal selalu dimaknai oleh kata-kata yang bahkan seringkali salah. Naked existence adalah upaya penyadaran atas keberadaan sesuatu diatas dunia material utilitarian yang seringkali kita anggap sebagai realitas.

Penyadaran, menurut Huxley hanya dimungkinkan jika kita berhasil membuka (pintu) batas-batas perpsepsi yang membentengi pikiran. Dalam The Doors of Perception, Huxley menggunakan mescalin, namun ia menyatakan bahwa bukan hanya mescalin yang mampu memberi jalan pada naked existence­ – ia menemukan bentuk penghayatan yang sama dalam ajaran Zen dan Dharma-Body dalam ajaran Buddha. Bahkan Huxley menemukan jalan dalam lukisan-lukisan alam karya naturalist Taoist pada masa China Kuno. Kekosongan di atas dunia material adalah tempat dimana kemurnian bisa ditemukan. Dalam spiritualisme Timur, dan juga Indian, terdapat ajaran yang secara sistematis mengantarkan kita pada kekosongan tersebut. Namun, bagi dunia pengetahuan barat, persepsi kekosongan ini sama sekali tidak dikenal – sehingga diperlukan keberanian untuk membukanya. Huxley mengutip sebuah lelucon tentang Indian: “Lo, the poor Indian, whose untutored mind, clothes him in front, but leaves him bare behind.” – namun menurut Huxley, orang-orang yang “terlalu berpendidikanlah” yang sebetulnya “leaves their bare behind”, berpakaian dengan filsafat Marx dan Frudo-psikoanalisis, namun gagal memahami makna transendental dari dunia. Dan untuk menyadari kemurnian telanjang dari sebuah dunia, manusia harus mampu melihat dengan cara lain.

This is how one ought to see” diucapkan Huxley berulang kali dalam rekaman wawancaranya. Mescalin, sebagaimana spiritualisme subjektif, menghantarkan kita pada visi keindahan sublim. Namun dalam mabuknya Huxley menemukan sebuah benturan logis: “bagaimana dengan hubungan antar manusia? dan bagaimana bertindak atas dasar kesadaran murni ini?”. Anehnya, dua pertanyaan kritis ini merupakan kelemahan sekaligus kekuatan dari pandangan Huxley dalam The Doors of Perception. Kontemplasi, melalui jalan apapun adalah hal personal yang mustahil dibagi dengan orang lain, terlebih mescalin memberikan efek kebutuhan soliter yang sangat kuat sehingga penggunanya akan sebisa mungkin menghindari kontak mata – dimana dunia (orang) lain berada. Huxley menyadari bahwa bentuk kesadaran ini menghilangkan kebutuhan relasi antar manusia – saya adalah dunia itu sendiri – dan Huxley sama sekali tidak mencoba untuk mengubahnya. Pada titik inilah kemudian kita menyadari mengapa filsafat Huxley tidak populer di kalangan anak muda kebanyakan: ia tidak berbicara tentang gerakan sosial ataupun pergolakan jiwa, sebuah pokok pembicaraan yang umum di kalangan tersebut – kecuali generasi hippies yang anak mudanya begitu haus dengan pengalaman transendental, sehingga Huxley adalah nabi diantara mereka.

Lalu tindakan seperti apa yang muncul dari kesadaran ini?. Jawaban Huxley cukup singkat: tidak ada. Apa yang didapat seseorang dalam naked existence­ adalah melihat – sebuah kesadaran yang dalam ungkapan Huxley: “it can only pose it, apocalyptically, for those to whom it had never before presented itself.” Visi ini tidak kompatibel dengan tindakan – bahwa tidak ada yang bisa dilakukan ketika melihat cahaya menari dalam gerak lambat, namun dalam kesadaran tersebut segala sesuatu akan menjadi jelas. Sebuah analogi yang menarik diangkat oleh Huxley, bahwa orang-orang yang pernah membuka pintu persepsi tidak lagi melihat batasan realitas yang mengekang, dunia mengada sebagaimana adanya: indah dan tidak terbatas. Namun, pandangan ini lantas terbentur kembali pada pertanyaan pertama, bahwa persepsi tidak terbatas hanya berlaku personal, tidak pada tataran relasi sosial. Itulah mengapa kesadaran ini muncul dalam berbagai bentuk: dengannya, Huxley berhasil mengurai keindahan telanjang dunia. Jim Morrison, salah satu pengagum berat Huxley, berujar “take it as it comes”, lalu berjalan ke arah eksplorasi sublim yang gelap dan pekat. Thomas Aquinas, setelah melakukan kontemplasi mendalam (tanpa seorangpun mampu memahaminya) menolak untuk menulis lagi hingga akhir hayatnya, karena merasa uraian systematic reasoning yang ia buat selama ini sia-sia. Saya sendiri menemu gerak loop kehidupan. Dan entah kemana kesadaran (liar) ini akan membawa anda – karena ia senantiasa menjadi tidak terbatas dengan sendirinya.

Share on:

1 thought on “Naked Existence”

Leave a Comment