Lazarus

Saya menganggap David Bowie terlalu serius, itulah mengapa tulisan ini membutuhkan waktu beberapa hari untuk selesai. Kepergiannya menyisakan nyanyian pilu bagi jutaan pendengar – termasuk saya, yang memaknai lagu dan musiknya lebih dari rangkaian nada. Tidak ada kata tertuang selama beberapa waktu, hanya detik-detik hening yang meruncing – mengiringi putar ulang lagu-lagunya. Setidaknya itulah yang bisa dilakukan seorang pendengar yang berhutang banyak pada musiknya – sebagai bentuk salam terakhir, peluit penghabisan yang ditiup untuk melepaskan kepergian sang musisi dalam damai. Penghormatan ini tidaklah berlebihan, karena terdapat beribu alasan mengapa kepergian David Bowie menyentuh begitu banyak orang. Sedangkan bagi saya, karya-karyanya merupakan manifestasi estetika: menyentuh rasa, sekaligus logika, dan menghantarkan pemahaman baru atas dunia yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan.

Musik sendiri merupakan sebuah realita yang memiliki banyak arti: bagi sebagian orang musik adalah nafas kehidupan, bagi sebagian lain adalah instrumen untuk mencapai tujuan material, atau bisa juga mewujud sebagai gagasan filosofis yang secara tidak sadar mengkonstruksi kehidupan seseorang (lihatlah bagaimana dunia digerakkan oleh lirik pasifis Lennon atau racauan anarkis Johnny Rotten) – dan pada bentuk yang terakhir inilah musik David Bowie memiliki arti bagi saya. Kala itu, ketika tengah tenggelam dalam absurditas hidup/mati akibat terlalu banyak mengkonsumsi nihilisme Nietzsche dan lirik-lirik gelap The Doors, sebuah lagu meledak di kepala saya. Lagu itu berjudul Suffragette City, terselip dalam rangkaian soundtrack Lords of Dogtown. Ketertarikan saya waktu itu baru sebatas musikalitas, namun terekam jelas dalam ingatan bahwa pada pendengaran pertama Suffragette City, saya melihat seberkas cahaya menari di kegelapan. Ketertarikan pada “cahaya” itulah yang kemudian mendorong saya untuk mencari, bukan hanya lagu, tetapi juga seluruh album David Bowie – yang secara ajaib dapat saya lakukan dalam waktu singkat. Sejak saat itulah karya-karya Bowie merasuki kesadaran saya, seperti bulan yang menggantung dalam lukisan Van Gogh, Starry Night: karya Bowie begitu meminta perhatian.

Keterpukauan saya terhadap musikalitas Bowie terletak pada gabungan aneh antara melodi catchy dengan keganjilan yang khas – mungkin keganjilan inilah yang membuatnya senantiasa asing dalam dunia musik, sehingga karyanya sulit untuk dikategorikan dalam genre manapun. Namun, kejutan ternyata tidak berhenti disana: karena setelah musik meresapi seluruh indera, lirik hadir ke permukaan – dan lirik Bowie adalah dunia metaforik yang didalamnya terangkum kegilaan, chaos, nihilisme, mimpi luar angkasa, puisi-puisi sureal, cinta multi makna (dalam bentuk membakar ataupun sesunyi petapa), juga ramalan-ramalan akan dunia. Melalui liriknya,  Bowie membuktikan bahwa ia bukanlah penulis lagu pada umumnya – karena jujur saja, siapapun yang mampu menulis “So I cried for all the others till the day was nearly through, for I realized the God’s a young man too”, bukanlah penulis biasa-biasa saja. Ia memang kerap menampilkan permainan simbol berlapis yang memberi ruang bagi keliaran imajinasi pendengarnya.

Bagi saya sendiri, ketertarikan pada labirin kata-kata Bowie berasal dari sisi nihilistik yang ia usung pada album The Man Who Sold the World. Liriknya berpijar bagai api – dalam album ini, Bowie seakan ingin membakar dunia: Life is too easy, a plague seem quite feasible now or maybe a war or I may kill you all. Mendengar seseorang (dengan dandanan “menantang”) berteriak seperti ini bagaikan terjebak dalam chaos yang begitu indah – layaknya kiamat yang datang dengan lembut dalam sentuhan bulu angsa dan kemilau sayapsayap kaca kalibri, adalah bait yang lahir ketika mendengar lagu berjudul Saviour Machine. Sedangkan gambaran yang muncul setelah mendengar keseluruhan The Man Who Sold the World (hingga kini merupakan album Bowie favorit saya) – adalah bayangan para penyair yang mengantungi kembali puisinya, tahu bahwa rembulan sama sekali tak akan menggubris – karena puisi mereka tidak sebanding dengan lirik-lirik metaforik dalam album ini. Dan pada lirik-liriknya lah saya menyerah kalah: karena tidak ada musisi lain yang mampu memberi efek nihilistik permanen seperti yang dilakukan David Bowie.

Sisi estetik lain (selain musik dan lirik) dihadirkan Bowie melalui penampilan – baik personal appearance, performa panggung ataupun citra yang ditampilkan di depan publik. Sedikitpun tidak ada yang luput dari detail perfeksionis Bowie, sehingga apa yang didapat dalam pertunjukan-pertunjukannya adalah ramuan lengkap dari musik, seni panggung, kostum dan – yang juga sering ia tampilkan – seni pantomim. Namun, dibalik setiap keberhasilan artistik, Bowie senantiasa melakukan apa yang jarang dilakukan oleh musisi lain: bahwa ia akan meninggalkan (bahkan membunuh) citranya, tepat disaat musik atau citra tersebut berada di puncak. Ziggy Stardust adalah satu alterego yang ia bunuh ketika berada di puncak ketenaran, begitu pula persona Thin White Duke yang ia lempar begitu saja untuk eksperimen lainnya. Bagi seorang yang lahir pada era 1980-an, pembunuhan-pembunuhan alterego ini hanya dapat dilihat melalui berbagai dokumentasi (baik wawancara, pertunjukkan ataupun film biografis sang musisi), namun justru melalui rangkuman tersebut terpapar lah sebuah bentuk kengerian: yaitu rentetan bunuh diri psikotik David Bowie. Berbagai media hanya mengambil bagian permukaan dari siklus metamorfosis ini dan menyebut Bowie sebagai “Chameleon” – namun dalam dokumenter berjudul Cracked Actors dan Five Years, apa yang dilakukannya lebih dari sekedar mengubah citra, tapi sebagai sebuah kebutuhan untuk melepaskan diri dari kekangan alterego statik. Pada titik ini terlihat jelas pengaruh Freud tentang id, ego dan superego pada pandangan Bowie – namun yang membedakannya dengan penganut Freud lain adalah: ia cukup gila untuk merealisasikan gagasan-gagasan tersebut.

Dan tentu, tidak lengkap untuk membahas Bowie tanpa membahas kegilaan. Karena Bowie adalah “orang gila” dalam segi tatanan norma masyarakat, dan kegilaan inilah yang ia tampilkan (secara sengaja) sejak awal karirnya. Berbagai tindakan kontroversial ia lakukan untuk menarik perhatian – konsekuensinya ia mendapatkan kritik dan kebencian sama banyaknya dengan pujian dan dukungan para penggemar. Saya ingat, seorang teman sempat mencibir Bowie sebagai “musisi dandy melambai” – ya, ia tidak seorang diri, banyak orang terkecoh dengan gaun dan riasannya tanpa peduli musik seperti apa yang Bowie tawarkan. Seharusnya orang (yang sezaman dengan saya) curiga: mengapa Kurt Cobain membawakan kembali lagunya dan mengapa namanya disandingkan dengan seniman avantgarde. Tapi justru disinilah letak keasyikannya – bahwa kegilaan hanya dapat ditembus dengan kegilaan: sehingga hanya orang-orang yang cukup gila lah (maksudnya cukup gila untuk memahami keliaran nihilistik Bowie dan cukup gila untuk mengesampingkan riasannya) yang pada akhirnya mampu bersentuhan dengan musikalitas seorang David Bowie.

Adapun sisi paling menonjol dari kegilaan Bowie adalah pilihan-pilihan kreatifnya – dapat dikatakan hanya album Ziggy Stardust, Aladdin Sane, Young Americans dan Let’s Dance-lah yang “aman secara pangsa pasar” (mungkin juga Blackstar yang baru dirilis, namun ledakannya jelas karena faktor lain), sedangkan sisanya adalah eksperimen suka-suka sang musisi, dan para penggemar hanya bisa harap-harap cemas. Trilogi Jerman (Heroes, Low dan Lodger) adalah contoh kegilaannya – ia sama sekali tidak mempedulikan pasar, apalagi kritikus musik. Dan pada kebebasan kreatif mutlak inilah, saya jatuh cinta pada sosok David Bowie. Ia menghidupkan kembali kebebasan radikal Arthur Rimbaud yang menteror tatanan sosial Paris di abad 19 dengan menyatakan bahwa segala yang ada di bawah langit harus dimaknai ulang. Sebagaimana Rimbaud, David Bowie pun menentang dunia melalui pemaknaan-pemaknaannya: baik dalam musik, lirik ataupun pandangan sosial. Dalam kata-katanya sendiri ia menyatakan: i am a one man revolution. Gagasan inilah yang menjadikannya begitu dihormati (sebagaimana ditampilkan jutaan orang yang berkabung atas kepergiannya). Bersandingan dengan jajaran karyanya, David Bowie adalah epitome bagi estetika musik modern – beberapa bahkan menyebutnya sebagai Picasso of Modern Music, walau jika boleh protes, Bowie lebih terlihat seperti Van Gogh daripada Picasso. Bagi saya sendiri, persentuhan dengan musiknya adalah sebuah anugerah – tidak dinafikan lagi banyak tulisan saya yang secara langsung ataupun tidak langsung terpengaruh musikalitasnya. Ia adalah muse (bagi saya, juga bagi banyak orang). Kata “muse” lantas mengingatkan saya pada puisi Rimbaud berjudul Ma Boheme dimana ia menuturkan mantra rahasia untuk memanggil sang muse. Mungkin mantra inipun akan berfungsi untuk David Bowie – seperti lagu terakhirnya Lazarus, kepergian David Bowie hanyalah sebuah fase, untuk hidup kembali dalam bentuk musik dan lagu – J’allais sous le ciel, Muse! et j’étais ton féal.

Share on:

Leave a Comment