Lalu ?

(Merayakan Kembali Gejala Reproduksi Kultur Anak Muda di Bandung Raya)

Introduksi

“Dry, Rabu depan datang ya, ada malam monolog di kampusku, silahkan juga kalau kamu mau melapak”, ajak kawanku.

Ajakan kawanku tersebut, membuat saya merasakan gejala baru (namun lebih bersifat reproduksi) dalam kultur anak muda hari ini. Ya! Akhir-akhir ini, saya sering melihat sekelompok anak muda di beberapa tangkringan yang (mulai) memiliki kegemaran baru, yakni ‘bersastrawi ria’. Mediumnya pun beragam, ada yang membuat puisi, cerpen, prosa, kemudian mengumpulkannya dalam format kompilasi tulisan, lalu di-layout dengan cara stensil maupun digital, kemudian dipublikasikan, dan didistribusikan. Istilah kerennya antologi puisi, bahkan ada juga yang menyebutnya zine sastra.

Begitu pula dengan sarana eksistensi lainnya, yakni membaca puisi tersebut, baik dalam hati, samar-samar, maupun membacakannya dalam sebuah pentas. Sebagai catatan, dalam beberapa bulan terakhir ini, saya sering melihat sekelompok anak muda yang mengadakan malam puisi dan juga malam monolog. Tidak hanya di kampus humaniora saja, bahkan aktivitas tersebut menjalar hingga kampus-kampus non-humaniora. Oh ya, jangan lupakan juga penanda lainnya, yakni munculnya komunitas-komunitas sastra di beberapa tangkringan. Menariknya, mayoritas anggotanya justru bukan  berasal dari penstudi sastra.

“Gejala apakah ini?”, tanyaku pada seorang kawan.

Urang ningalina mah simple (saya ngeliatnya mah simple) Dry, acara musik kan lagi susah. Terus yang namanya anak muda kan ingin mendapat pengakuan, atau istilah kerennya mah eksistensi. Daripada bikin band susah, main musik juga gak bener, terus pengen tetep eksis, makanya bikin yang simple ajagak usah ribet ribet, salah satunya ya malam puisi itu Dry. Malam puisi kan tinggal butuh niat, micampli (baca: amplifier), dan publikasi. Terus, gak cuma di ranah sastra aja Dry, di ranah seni visual juga gitu. Bukankah sekarang makin banyak tuh zine-zine yang kontennya berisikan kompilasi artwork? Eksistensi itu Dry poin-nya, tapi eta mah ngan (itu kan hanya) hipotesis capruk urang (hipotesis tidak berdasar saja) Dry, hehe”, ujar kawanku.

“Eksistensi?”, kata tersebut kemudian menjadi berkelindan dalam pikiran saya akhir-akhir ini.

Apabila, saya runut kembali dalam aktivitasku selama ini. Saya jadi sedikit menyepakati perkataan kawanku tadi, yakni eksistensi. “Bukankah alasanku membuat zine adalah untuk dibaca, diapresiasi, dan juga sebab-sebab lainnya? Bukankah pada awalnya, saya membuat zine karena bosan dengan blog kepunyaanku yang jarang disinggahi, bahkan dibaca oleh orang lain?”. Dalam hal ini, “berarti saya ingin didengar bukan? Atau kata lainnya diperhatikan bukan? Kesimpulannya, saya dan anak muda lainnya di planet ini membutuhkan eksistensi.

Anak Muda, Kelas, Ketertarikan, dan Eksistensi

Umumnya pengertian anak muda dihubungkan dengan kategori usia. Secara biologis anak muda terletak di antara anak-anak dan dewasa (Androe Soedibyo: 2008, hlm 155). Akan tetapi, Talcott Parsons menyatakan bahwa anak muda tidak semata-mata dideskripsikan oleh faktor usia, melainkan bahwa kategori anak muda merupakan suatu perubahan konstruksi sosial dan budaya terhadapnya yang muncul pada suatu peristiwa waktu tertentu  di dalam kondisi tertentu pula (Talcott Parssons: 1963, hlm 227).

Kultur anak muda amat lekat relasinya dengan ketertarikan, terutama terhadap aktivitas waktu senggang, diantaranya musik, gaya hidup,  fashion, serta seni visual. Pada ranah inilah, berbagai varian tanda dapat dibaca sebagai instrumen responsif anak muda terhadap lingkungan sekitarnya. Maka dari itu, anak muda juga perlu dipahami berdasarkan pengalaman serta respon mereka sendiri atas lingkungannya, hingga pembacaan terhadap mereka yang sedang mencari makna atas kehidupan yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Lalu, “ bukankah anak muda juga membangun ruang beserta aktivitasnya secara sosial yang turut diiringi dengan sisi spasial dan kelas-nya yang berelasi dengan kekuasaan, mitos, historis, finansial, hingga praktik ?” Sisi spasial dan kelas ini yang terbentuk melalui representasi, imajinasi, dan aktivitas yang terangkum dalam interaksi sosialnya (Frans Ari Prasetyo: 2013). “Bukankah anak muda  kelas menengah (terutama yang tinggal di perkotaan dan melek akan teknologi) menemukan realitasnya sendiri ?”

Namun, tidak sesederhana itu dalam mendefinisikan anak muda. Dalam hal ini, anak muda juga mengalami perubahan sosial-budaya, terutama dengan semakin beragamnya berbagai platform yang menunjang proses produksi gaya hidup mereka dalam mendefinisikan identitasnya, terutama di kelompok mana mereka (baca: anak muda) diasosiasikan, yaitu kelas.

Mengapa kelas? Sebab dengan kelas, kita dengan mudah dapat membaca simbol-simbol, atribut, hingga kelompok sosial mereka.

Untuk mendukung asumsi di atas, saya memilih untuk mengelompokkan anak muda sesuai dengan masa edarnya. Maksud masa edar di sini, yaitu periode di mana manusia (dalam hal ini anak muda) yang mulai memasuki jenjang perkuliahan. “Mengapa saya menggunakan indikator usia perkuliahan?” Umumnya, periode perkuliahan, merupakan periode  di mana anak muda semakin menajamkan pola rasa ingin tahu-nya, serta rasa eksistensi atas lingkungannya. Selain itu, masa perkuliahan juga merupakan masa di mana anak muda masih belum memasuki periode mid life crisis (masa di mana seorang manusia harus memikirkan biaya cicilan rumah, tabungan, dan masa depan anak beserta keluarganya. Ket). Atas“ bantuan finansial” dari para orang tua mereka, anak muda kelas menengah tidak perlu repot-repot memikirkan urusan perut, biaya hidup, dsb. Apa yang dibutuhkan anak muda hanyalah pencarian akan hasrat, ketertarikan, dan eksistensi. Kemudian, untuk mendukung tulisan ini, saya juga akan mencoba membaca anak muda yang ingin mengeksistensikan dirinya dengan rasa yang berbeda dibanding generasi sebelumnya.

“Lalu, mengapa saya menarik garis yang jelas, antara anak muda yang menjalankan kuliah serta tumbuh pada periode 2006 – 2010 dengan anak muda yang berkuliah serta tumbuh pada periode 2010 – 2014?”

Pun, ngomong – ngomong tentang zines, terutama zines yang ber-genre artwork (zines yang berisikan kompilasi seni visual, diantaranya gambar, kolase, dsb. Ket). Saya jadi tertarik untuk  mencoba membaca gejala reproduksi kultur anak muda, dalam hal ini adalah kembalinya medium fisik sebagai ‘berhala’ kultur anak muda. Mungkin saja, anak muda hari ini sudah (mulai) jenuh dengan ‘berhala’ sebelumnya, yakni medium digital yang sempat merebak pada periode 2006 -2009.

Anak Muda, Respon, dan Perubahan Zaman

Bandung, pada awal milenium 2000-an, mulai terkena dampak perkembangan informasi dan teknologi (IT) dengan penanda ‘makhluk ajaib’yang bernama internet. Menjamurnya warung internet (warnet) di berbagai sudut kota, kemudian menjadi katalis dalam membuka akses informasi dan jejaring anak muda yang ingin mencari sesuatu yang baru, bahkan berbeda dengan generasi sebelumnya. Proses tersebut berimbas pada perkembagan jejaring dan informasi kultur anak muda,  terutama pada perkembangan musik, fashion, seni visual, dan media.

Perkembangan sarana tersebut mencapai puncaknya pada tahun 2008, yang berdampak pada maraknya blog, webzine,  hingga distribusi dalam ranah industri musik, yakni net label (records label dan distribusi musik via internet, serta file sharing. Ket). Periode tersebut juga ditandai dengan berlomba-lombanya anak muda untuk mendirikan webzine, kemudian mendistribusikan musik ciptaannya maupun komunitasnya melalui medium file sharing, hingga merilisnya melalui medium net label. Tidak ketinggalan juga dalam ranah seni visual, di mana para seniman muda mulai mengolah dan bereksperimen dalam medium video (yang juga diinisiasi oleh OK Video Festival dan Video Lab. Ket) (Ronny Agustinus: 2013), menyebarkan serta memamerkannya dalam medium Youtube dan Vimeo.

Lalu, “bagaimana dengan ranah seni visual non video?” Mudah saja, internet juga menyediakan pelbagai platform bagi para seniman visual non video yang ingin memamerkannya, diantaranya Devian Art, Tumblr, WordPress, Blog, hingga media sosial dan media berbagi/pamer lainnya. Namun, lambat laun proses berlomba-lomba untuk saling mengkontestasikan diri maupun kelompoknya, akhirnya mulai mencapai titik jenuh. Titik jenuh tersebut, dimulai tatkala proses berkontestasi tersebut telah mencapai titik yang terlalu overrated. Akhirnya, tidak semua orang maupun kelompok yang berkontestasi tersebut ‘mendapat jatah’ atas eksistensinya.

Anak muda (baik individu maupun kelompok) yang kurang ‘mendapat jatah eksistensi’ tersebut,  kemudian melihat kembali ke belakang, atau masa lalu. Hingga akhirnya mereka memilih untuk menggunakan kembali ‘berhala-berhala’ di masa lalu, yaitu medium fisik. Dengan medium fisik, mereka dapat (langsung) menyasar titik-titik apresiasi dan eksistensi dari orang yang disasar oleh para  kreator tersebut. Sederhananya, karena lalu-lintas di dunia maya sudah terlalu sibuk, maka pasar maupun apresiator sendiri, kurang mampu untuk mengapresiasi atas menjamurnya para kreator yang menggunakan basis internet tersebut dalam memamerkan karyanya. Dengan kata lain, apabila si kreator menggunakan medium fisik, maka pasar akan (lebih) mudah untuk diraih. Metodenya pun bermacam-macam, diantaranya membuka lapak pada suatu keriaan anak muda (biasanya acara musik, eksebisi seni visual, dsb), memberikan atau menyebarkannya secara hand to hand,  hingga ‘menodongkan’ karyanya kepada apresiator yang disasar.

Di satu sisi, anak muda yang tidak melakukan kontestasi tersebut (yaitu non kreator atau para apresiator) merasakan adanya kerinduan dalam mengapresiasi ‘berhala fisik’. Pun, mediumnya bermacam-macam, diantaranya kaset, vinyl, media cetak (majalah hingga zines), dsb. Terdapat kerinduan dari (sekelompok) anak muda (baik para kreator maupun non kreator) untuk memegang “berhala” berbentuk fisik tersebut, semisal membeli majalah di toko, membeli rilisan musik di records store,  kemudian dipegang, dibawa, dikoleksi , dibaca, diapresiasi, hingga dipamerkan pada kawan-kawannya. Ingat! Dalam hal memamerkan atribut, proses memamerkan dengan medium fisik, akan (lebih) ampuh, dibandingkan apabila memamerkannya melalui medium digital.

Harus diakui memang, bahwa perkembangan teknologi (dalam ranah produksi dan konsumsi kultur anak muda) merupakan keniscayaan yang mampu mengakomodir kebutuhan anak muda. Namun, ada kerinduan yang tidak dapat tergantikan atas apresiasi secara langsung, interaksi secara langsung, hingga respon secara langsung sesama manusia. Poin-poin itulah yang hilang dari hype teknologi (terutama dalam ranah media cetak dan rilsan musik) selama ini.

“Kombinasi yang pas bukan?”, antara rasa ingin berbeda dengan generasi sebelumnya, ‘kurang mendapat jatah eksistensi’, hingga kerinduan pasar atas ‘berhala’ berbentuk fisik. Telah menjadi rahasia umum, bahwa “setan-nya” anak muda adalah selalu ingin berbeda dengan generasi sebelumnya, baik perilaku, gaya hidup, keseharian, dll. Selain itu, bukankah manusia juga memiliki kesadaran sebagai subjek untuk memaknai dan menamai sejarahnya? Kesadaran sejarah ini kemudian berdampak pada kesadaran individu maupun kelompoknya untuk menulis sejarahnya secara khas untuk dirinya maupun kelompoknya (Mudji Sutrisno: 2008, hlm 109).

Dalam membaca kecendrungan tersebut, saya menggunakan komparasi dengan dunia industri musik, diantaranya gejala menjamurnya rilisan fisik dan kegemaran anak muda hari ini untuk membeli rilisan fisik. Seperti yang saya paparkan di atas, apabila kita tarik garis pada beberapa tahun yang lalu, (khususnya periode 2006 – 2010) yang menjadi penanda periode atas maraknya ‘berhala’ digital, diantaranya rilisan album melalui medium net label, hingga menjamurnya webzine. Bahkan eksekusi karya pun tidak perlu lagi dilakukan di galeri, mereka dapat mengeksekusinya melalui devian art, blog, hingga media sosial lainnya.

Bagaikan roda yang berputar, semangat zaman pun berubah. Kejenuhan anak muda yang tumbuh pada periode 2010 – 2014 akan medium digital, serta keinginan untuk selalu merasa berbeda, kebutuhan pasar, dan tentunya eksistensi, membuat mereka memilih medium fisik dalam memamerkan manifestasi mereka selama ini. Devian art berganti menjadi zines artworknotes facebook dan blog berganti menjadi zine personal (juga sastra), hingga rilisan digital berganti menjadi kaset, bahkan vinyl.

Menariknya, disamping rasa ingin selalu berbeda tersebut, tidak serta merta membuat anak muda hari ini saklek dalam memilih medium untuk berkarya. Memang, dalam pengeksekusiannya mereka cenderung memilih medium fisik dalam berkarya. Namun, atas perkembangan teknologi dan informasi, mereka tetap mengkolaborasikan dengan medium digital, terutama dalam hal promosi dan branding.

Kejenuhan, eksistensi, dan rasa ingin berbeda dengan generasi sebelumnya atau dengan lingkungan sekitarnya, merupakan pola-pola yang cenderung berulang dalam dinamika kehidupan anak muda. Pola-pola tersebut memang telah lama berlangsung dan cenderung berulang paska Perang Dunia. Wacana subkultur menjadi wacana yang menarik paska munculnya kultur Beat Generation. Kultur tersebut merupakan kultur yang muncul paska Perang Dunia II. Anak muda yang tumbuh pada periode tersebut (baca: 1940-an sampai 1950-an), merupakan anak muda yang tumbuh dalam kultur kelas menengah di Amerika Serikat. Seperti yang saya paparkan di atas, anak muda yang tumbuh dalam lingkungan kelas menengah memiliki keuntungan yang kurang mampu dimiliki oleh kelas di bawahnya, salah satunya keuntungan ‘bantuan finansial’. Kombinasi antara rasa ingin berbeda dengan generasi sebelumnya (baca: orang tua mereka), dinamika hubungan anak-orang tua, serta keleluasaan untuk mencari tahu (dengan ‘bantuan finansial’, mereka tidak perlu repot repot dalam mengeksplorasi, baik eksperimen gaya hidup, maupun eksplorasi literasi. Ket), kemudian menjadi ‘senjata’ yang cukup ampuh dalam membentuk kultur anak muda tersebut. Pola tersebut kemudian diadopsi serta diadaptasi oleh generasi selanjutnya (baca: secara umum oleh hipster 1940-an, hippies/ kontra kultura era 60-an, punk, dst. Ket). Tentunya, pola tersebut diadaptasi dengan semangat zaman yang berlaku.

Dalam hal ini, kelas menengah cenderung memiliki sifat ingin berbeda, ingin terlihat keren, namun sulit melepaskan ‘jubah’ kelas menengah mereka, yakni ingin mapan, dikenal, keren, dll. Maka tak heran, dengan sifat alami seperti ini, tatkala kelas menengah tersebut mencapai fase-fase mid life crisis, mereka (baca: anak muda kelas menengah) akan (terpaksa) kembali hidup dengan norma yang disepakati oleh masyarakat umum. Dengan kecendrungan pola yang terus berulang ini, maka kultur anak muda  hanyalah menjadi kultur anak muda belaka. Kultur ini hanyalah pelarian di masa muda, mencari eksistensi, dan hanya cukup berhenti di situ. Sulit untuk menjadi counter culture yang berkelanjutan. Ingat, patut digarisbawahi kata berkelanjutan tersebut.

Begitu pula yang terjadi di kota – kota besar Indonesia, khususnya Bandung. Bukankah kultur’ ‘seru-seruan’ ini pertama kali diakses, diadopsi, diadaptasi,serta diaplikasikan oleh anak muda kelas menengah?. Tentunya, menarik untuk disimak serta dikaji lebih lanjut kedepannya, mengenai munculnya gejala generasi paska boom internet ini. Masih perlu beberapa tahun lagi, untuk memastikan pembacaan atas gejala terbaru dari kultur anak muda, seperti yang dipaparkan di atas.

Kamar Loteng, Cimahi

Senin, 4 Juli 2014

23:51

Opini di atas hanya merepresentasikan saya dan lingkungan yang membentuk saya, bukan lingkungan di komunitas lain.

Referensi:
Soedibyo, Androe. 2008. “Kaum Muda, Gaya Hidup dan Penolakan”, dalam Cultural Studies (Tantangan Bagi Teori – Teori Besar Kebudayaan), hlm 155.
Parsons, Talcott. 1963. “Youth in the Context of American Society”, dalam American Sociological Review, hlm 227.
Ari Prasetyo, Frans. 2013. “ Youth (Alternative) Movement in Bandung”, dalam Pengantar Diskusi Pemuda Hari Ini: Konstruksi, Jatidiri, dan Gerakan Anak Muda dalam telaah Sosial – Kultural.
Sutrisno, Mudji. 2008. “ Membentuk atau Dibentuk? “, dalam Sutrisno, Mudji., Bene, In., Putranto, Hendar (ed).Depok: Koekoesan.
Agustinus. Ronny. 2013. “ Lalu Apa ?” , dalam Katalog Muslihat OK. Video, 2013, lalu diterbitkan ulang di situs majalah cobra (www.majalahcobra.com) (terakhir diakses pada Kamis, 17 Juli 2014, pukul 16:42).

Share on:

Leave a Comment