Kerouac dan Mesin Waktu: Musik, Sketsa, Metafora

Ketika tengah membaca antologi San Francisco Blues karya penyair kenamaan Jack Kerouac, sebuah pertanyaan tiba-tiba menclok di jendela. Ia lalu bergumam: jika saja Kerouac hidup dan menulis puisi saat ini, kira-kira bagaimana ia akan merangkai puisinya? Puisi Beatnik Kerouac yang kental (dengan kelakar rahasia dan frasa liar yang lebih mendekati kebenaran daripada teori-teori sosial dalam buku teks), rasanya akan sulit dipahami oleh masyarakat yang telah terbiasa dengan lelucon vulgar nan telanjang. Karenanya, jika ia ingin puisinya diminati publik abad 21, frasa yang dipilih tentu harus jauh lebih sederhana. Sangat disarankan jika bersentuhan dengan permasalahan cinta atau aktivisme sosial. Baik juga jika mau menulis tentang agama. Tapi yang terakhir ini jangan dipermainkan, alih-laih laku nanti malah diseret jadi penistaan. Bentuk puisi dengan metafora liar tinggalkan saja, contohnya bait dibawah ini, kecil kemungkinan akan jadi viral.

Line faced mustached
Black men with turned back
Army weathered brownhats
Stomp on by with bags
Of burlap & rue
Talking to secret
Companions with long hair
In the sidewalk
On 3rd Street
San Francisco
With the rain of exhaust
Plicking in the mist
You see in black
Store doors—
Petting trucks farting—
Vastly city.
(2nd Chorus, San Francisco Blues)

Mungkin karena penasaran, Kerouac mampir di abad 21 naik mesin waktu. Setibanya di masa kini, alangkah terkejutnya ia ketika menemukan kesamaan bentuk antara puisi beatnik dengan puisi masa kini. Kesamaan ini diikat oleh sebuah kemiripan kondisi sosial yang riuh dan gemuruh walau memiliki pijakan yang berbeda. Pada masa beatnik, gemuruh dihasilkan dari eskapisme sebuah generasi yang lari dari himpitan imajinasi satu warna. Sedangkan kini, riuh gemuruh merupakan luapan dari ratusan, ribuan hingga jutaan imajinasi semu yang membanjiri dunia maya. Biasanya, dalam riuh dan gemuruh, puisi lahir terburu-buru. Begitupun puisi beatnik yang digawangi oleh Kerouac bersama Allen Ginsberg, Gregory Corso, Philip Lamantia, Gary Snyder, Philip Whalen, Lawrence Ferlinghetti, Michael McClure, Bob Kaufman, Diane di Prima, Lew Welch, dan Amiri Baraka. Mereka adalah pionir The New American Poetry yang mengubah bentuk puisi melalui sebuah pernyataan:

“Add alluvials to the end of your line when all is exhausted but something has to be said for some specified irrational reason since reason can never win out, because poetry is NOT a science. The rhythm of how you ‘rush’ your statement determines the rhythm of the poem, whether it is a poem in verse-separated lines, or an endless one-line poem called prose…” (Kerouac, The New American Poetry).

Dalam pernyataan diatas, “rush” atau sikap terburu-buru para penyair beatnik merupakan sebuat pernyataan sikap: puisi bukanlah sebuah bangun keilmuan, juga bukan sebuah prosa, sehingga “ritme yang terburu-buru” terbentuk sebagai upaya untuk melepaskan diri dari batasan-batasan rasio. San Francisco Blues adalah salah satu antologi dengan nafas tersebut. Kerouac menulisnya pada kisaran 1954–menjadikannya sebagai pijakan pada awal karir kepenyairan Kerouac yang sebelumnya berkutat pada novel dan prosa. Salah satu chorus dalam San Francisco Blues berikut adalah contoh nyata sebuah puisi yang nyaris berlari. Ia berlalu ketika pembaca masih terkesima dengan alusinya.

I see the backs
Of old Men rolling
Slowly into black
Stores.
(1st Chorus, San Francisco Blues)

Namun, sikap terburu-buru yang juga ditemukan Kerouac pada puisi masa kini ternyata berbeda ujung pangkalnya. Di sebuah toko buku, Kerouac menemu tips ala motivator dengan judul “1001 Cara dan Kiat menulis Puisi, Dijamin Jitu!”. Salah satu paragrafnya berbunyi: buatlah puisimu seperti embun–bening, transparan dan tidak abu-abu. Jika mau menutur tentang kepedihan, buatlah cerita pilu. Jika ingin bercengkrama tentang keindahan, buatlah saja analogi bunga, jangan terlalu adiluhung. Sketsa politik juga tenar, istilah curut dan tikus sudah cukup, tidak perlu Semar atau Petruk, nanti malah tidak payu. Kalau tentang kota yang ringan-ringan saja, tentang kebosanan, kemiskinan, atau kemacetan–pokoknya yang terkesan sumuk dan sibuk. Jangan seperti puisi di bawah ini, sketsa tentang kota tapi kok muter-muter dan bikin bingung.

when brand’s forgotten
taste washed in
rain the gullies broadened
& every body gone
the acrobats of the
tenement
who dug bel fast
divers all
and the divers all dove

ah
little girls make
shadows on the
sidewalk shorter
than the shadow
of death
in this town—
(5ft Chorus, San Francisco Blues)

Kebetulan, puisi yang disebut muter-muter oleh buku tersebut adalah puisi Kerouac sendiri. Untung saja penyair sekelas dia tidak gampang tersinggung. Ia lalu membuka bab lain tentang bentuk puisi. Disini ia pun menemukan kemiripan lain antara puisi beatnik dan puisi masa kini. Keduanya sama-sama tidak terikat pada bait naratif ala puisi klasik Yunani (yang dibangkitkan kembali oleh penyair neo-klasik seperti Rilke) atau puisi tradiosional dengan aturan kaku jumlah baris (sebagaimana bentuk gurindam dua belas). Bedanya, jika bentuk puisi bebas pada era beatnik ada sangkut pautnya dengan gerakan pembaharuan yang berupaya menghasilkan harmoni baru baik dalam musik, film, seni rupa, hingga sastra (termasuk puisi didalamnya), sedangkan bentuk dalam puisi masa kini lebih mengacu pendobrakan tatanan estetika melalui pengakuan subyektivitas mutlak. Akibat dari pendobrakan ini tidak main-main, perubahan dalam rasa estetika menjadikan puisi liris bisa kalah laris daripada puisi curahan hati remaja kinyis-kinyis. Melihat kecenderungan ini, rasanya San Francisco Blues pun jika dirilis saat ini, harus rela diposting di media sosial.

Pulsing push
To come on in
Inundate Frisco
Fill the rills
And ride the ravines
And sneak on in
With Whippoorwill  

To-hoo — To-wa!
The Chinese call it woo
The French les brumes
The British
Fog
LA
Smog
Heaven
Cellar door
(53rd Chorus, San Francisco Blues)

Usai membandingkan puisi dari kedua era, Kerouac bosan juga. Ia lantas pulang ke masa-nya naik mesin waktu dengan tiket ulang-alik. Bisa jadi ia tidak begitu tertarik dengan puisi-puisi masa kini. Atau ia rindu dengan era beatnik, dimana puisi dapat ditemui di setiap tikungan jalan. Seperginya Kerouac, pertanyaan yang masih bertengger di jendela menggumamkan tanya yang kedua: Lalu apa yang menjadi pembeda utama puisi beatnik Kerouac dengan puisi di era lain? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya teringat artikel Lozano yang berjudul Beatness Meets Marginality: San Francisco in Jack Kerouac’s Literature (2012). Didalamnya Lozano menyatakan bahwa “Kerouac berhasil membobol setiap batasan formal bahasa tertulis yang merintangi bentuk ekspresi yang paling spontan. Ia membentuk bahasa organik rumit yang digunakannya tanpa kesadaran formal untuk membawa otentisitas–membuat setiap frasa menjadi perayaan keunikan individual”. Dengan kata lain, Kerouac memberi kepribadian pada setiap kata, bait dan puisinya.

Mendengar jawaban tadi, pertanyaan yang menclok di jendela mengangguk-anggukan kepala, entah setuju atau mengantuk. Tapi jawaban tidak berhenti disana. Terdapat satu hal lain yang menjadikan puisi beatnik Kerouac, khususnya San Francisco Blues, menjadi berbeda dari puisi lain, yaitu pendekatan musikalitas yang dilakukan sang penyair. Dalam wawancara terkenal dengan jurnalis Ted Berrigan pada tahun 1968, Kerouac mengungkap sebuah formula bahwa ia menulis puisi seperti seorang musisi menulis musik: “seorang musisi jazz harus mengikuti jumlah bar dalam satu chorus yang melimpah pada chorus berikutnya, tetapi dia harus berhenti di tempat halaman chorus berhenti”. Pendekatan inilah yang membuat San Francisco Blues menjadi alunan blues walau tanpa musik. Pendekatan ini rasanya hanya bisa dikuasai oleh seorang penyair kawakan yang telah menjelajahi dunia lengkap dengan segala mimpi dan sumpah serapahnya. Sebuah rasa puisi yang nyata, bukan gemuruh kata yang tidak berkata apa-apa.

Sumber bacaan:
Sigo, Cedar, 2012, A note on San Francisco Blues, Poetry Foundation
Kerouac, Jack, 1995, The Book of Blues, Penguin Books Ltd: Middlesex, England.
Galán Lozano, Pedro A. (2012): “Beatness Meets Marginality: San Francisco in Jack Kerouac’s Literature”, Ángulo Recto. Revista de estudios sobre la ciudad como espacio plural, Vol. 4, No. 2, pp. 59-73.

Share on:

Leave a Comment