Kanonisasi Sastra a la Yayasan Lontar

Sebuah pertanyaan lazim keluar dari benak penikmat sastra Indonesia yang ditujukan entah pada dosen, sesama pembaca atau pada cicak di dinding adalah: Siapa saja yang menjadi tonggak perkembangan sastra Indonesia? Dalam perjalanannya, sejumlah gagasan telah dituangkan para pengamat dan kritikus sastra Indonesia dalam upayanya menjabarkan perkembangan sastra Indonesia beserta tokoh-tokohnya. Proses perjalanan sastra Indonesia mengalami beberapa periodisasi yang kemudian disimbolkan dengan kata “angkatan”. Rupa-rupanya kata “angkatan” dipilih untuk menggambarkan kesatuan bangun sastra dari periode tertentu dimana ia tumbuh berkembang – dan seringkali digunakan untuk merangkum rasa sebuah jaman.

Sastra [Populer] Indonesia berkembang pesat pada tahun 1920-an dengan berdirinya Perusahaan Penerbit Milik Negara, Balai Poestaka, pada tahun 1917 (pada mulanya bernama Commissie voor de Volkslectuu, Komisi Baca untuk Rakyat). Sejalan dengan tujuan pendiriannya, yaitu mengembangkan kesusastraan nusantara dan mengangkat sastra daerah, maka beberapa kanonnya(1) seperti Salah Asuhan (Abdoel Moeis) dan Siti Nurbaya (Marah Rusli), merupakan karya penulis Minangkabau yang sarat dengan latar kedaerahan.

Kanonisasi sastra paska Balai Poestaka kemudian diikuti oleh beberapa periode sesudahnya yaitu Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 1945, Angkatan 1960, Angkatan 1965, Angkatan 1980, Angkatan Reformasi dan Angkatan 2000, yang satu sama lain merupakan anak dari realita sosial dan pergolakan politik pada jamannya masing-masing(2). Namun, disisi lain, munculnya kanonisasi sastra dalam perkembangan sastra Indonesia berujung pada sebuah polemik – bahwa kanonisasi menyebabkan sastra hanya didominasi karya-karya dari kelompok tententu, atau katakanlah, kanonisasi tidak lain adalah politik sastra.

Efek dari politik kanonisasi bisa kita lihat pada anggapan umum sampai saat ini dalam dunia sastra Indonesia bahwa “Angkatan Balai Pustaka” merupakan “angkatan pertama” dalam sejarah sastra Indonesia – seakan menihilkan periode yang lahir sebelumnya, yaitu Angkatan Pujangga Lama dan Angkatan Sastra Melayu Lama – dan “Fiksi Balai Pustaka” , seperti Siti Nurbaya, Salah Asuhan, dan Layar Terkembang dianggap karya-karya kanon klasik sastra Indonesia, sementara karya-karya “liar” (yang berada diluar distribusi Balai Poestaka) nyaris tak dikenal(3).

Namun, mengesampingkan perdebatan yang hingga saat ini masih berlangsung, terdapat sebuah dokumentasi menarik karya Yayasan Lontar(4) yang dapat dijadikan sebuah referensi untuk menjawab pertanyaan pada awal tulisan: Siapa saja yang menjadi tonggak perkembangan sastra Indonesia?. Dokumentasi ini berupa biografi dari 24 Sastrawan Indonesia yang (masuk  maupun tidak masuk sebagai “kanon” sastra Indonesia) telah menghasilkan karya yang penting bagi sastra Indonesia. Dengan durasi 30 menit setiap filmnya, Yayasan Lontar memberikan khasanah sastra Indonesia dengan menyajikan riwayat hidup, kehidupan sosial sang pengarang dan hasil karyanya.

24 Tokoh Sastra Indonesia Menurut Yayasan Lontar

SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA dengan Judul ‘Dan Hidup Berjalan Terus’
SELASIH dengan Judul ‘Nama Saya Selasih’
AA NAVIS dengan Judul ‘Satiris dan Suara Kritis dari Daerah’
RAMADHAN KH dengan Judul ‘Dari Mata Ramadhan KH’
SITOR SITUMORANG dengan Judul ‘Rindu Kelana’
PRAMOEDYA ANANTA TOER dengan Judul ‘Mendengar si Bisu Bernyanyi’
RENDRA dengan Judul ‘Si Burung Merak’
NH DINI dengan Judul ‘Sosok Pengarang Wanita dan Dunianya’
UMAR KAYAM dengan Judul ‘Refleksi Kehidupan’
TAUFIQ ISMAIL dengan Judul ‘Tirani dan Puisi’
DANARTO dengan Judul ‘Sastra Sufisme Danarto’
GOENAWAN MOHAMAD dengan Judul ‘Potret Penyair Si Malin Kundang’
HB JASSIN dengan Judul ‘Yang Duduk di Kursi Imajinasi’
TOETI HERATY dengan Judul ‘Sosok Penyair’
DARMANTO JATMAN dengan Judul ‘Penyair Dalam Lintasan Budaya’
PUTU OKA SUKANTA dengan Judul ‘Merajut Harkat’
SOEMAN HS dengan Judul ‘Soeman Hs’
AGAM WISPI dengan Judul ‘Pulang’
ACHDIAT K.MIHARDJA dengan Judul ‘Suara dari Jaman Pergerakan’
AHMAD TOHARI dengan Judul ‘Kesaksian Tanpa Batas’
GERSON POYK dengan Judul ‘Nostagia Nusa Tenggara’
HANNA RAMBE dengan Judul ‘Hanna Rambe’
KUNTOWIJOYO dengan Judul ‘Dua Dunia Kuntowijoyo’
SAPARDI DJOKO DAMONO dengan Judul ‘Aku Ingin’

Walaupun angka 24 adalah jumlah yang sangat sedikit dari luasnya rentangan sastra Indonesia, namun dengan mengkaji ke 24 sastrawan di atas, dapatlah sekiranya menjawab (untuk sementara) pertanyaan Siapa saja yang menjadi tonggak perkembangan sastra Indonesia?, yang kemudian akan menggelitik pertanyaan pertanyaan berikutnya: Apa sumbangsih mereka terhadap Sastra Indonesia?Apakah karya mereka mempengaruhi penulis penulis sesudahnya?, dan banyak lagi pertanyaan lainnya.

Dokumentasi Yayasan Lontar tidak membeberkan secara gamblang dua pertanyaan iseng di atas, namun adalah sebuah keasyikan tersendiri untuk mencari jawabannya dalam rangka memahami seluk beluk sastra Indonesia dari masa ke masa.

Keterangan dan Sumber:
(1)  Kanon Sastra dalam konteks kritik sastra merupakan seleksi atas karya-karya yang dianggap sebagai karya “klasik” yang mewakili jaman tertentu.
(2)    E. Ulrich Kratz (ed.), Sumber Terpilih: Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, Jakarta 2000
(3)    Saut Situmorang, Politik Sastra, Yogyakarta 2009
(4)  Yayasan Lontar sendiri merupakan Yayasan nirlaba yang bertujuan untuk Membangkitkan pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia dan mengabadikan dokumentasi sastra Indonesia bagi generasi mendatang.

Sumber Gambar: potretjelagajiwa

Share on:

5 thoughts on “Kanonisasi Sastra a la Yayasan Lontar”

  1. hahaha. iya, teh. ibarat lagi denger The Prettiest Star-nya om Bowie, lagi enak di reff, eh, aliran listrik. 😀

Leave a Comment