Fucked Up, Got Ambushed, Zipped In [into a body bag]

Nama Fugazi diambil secara sembarang oleh vokalis Ian MacKaye dari sebuah kumpulan cerita tentang perang Vietnam yang ditulis oleh Mark Baker. Fugazi merupakan akronim dari Fucked Up, Got Ambushed, Zipped In [into a body bag], kemudian dikenal sebagai salah satu band punk paling dihormati atas idealismenya yang tak kunjung padam. Lahir dari pecahan beberapa band punk legendaris yaitu Minor Threat, Rites of Spring, dan Dag Nasty–Fugazi adalah penerus sekaligus band utama yang merajai skena punk di Washington D.C. selama dua dekade. Melalui ideologi otonom Punk yang diusungnya, Fugazi menjadi pengawal revolusi artistik dalam penolakan terhadap komersialisasi musik.

Fugazi memiliki banyak sisi, memilih salah satunya adalah hal tersulit yang harus dihadapi siapapun yang bermaksud mengulas band ini. Berbagai tema mulai dari genealogi musik yang mempengaruhi mereka, idiosinkratik para personil, kolaborasi dengan band atau musisi lain (mengingat keempat personilnya piawai pula sebagai produser), hingga pengaruhnya pada konteks politik dan budaya, sangat menarik untuk diurai. Atas alasan subjektif (malas saja sebetulnya), tulisan ini hanya akan membatasi diri pada uraian tentang sikap otonomi dan musikalitas Fugazi, dua hal yang membuat saya tergila-gila pada empat orang yang menyebut diri mereka: “band sekedarnya”. Fugazi sendiri dibentuk pada tahun 1987 oleh Ian MacKaye (gitar dan vokal), Colin Sears (drum) dan Joe Lally (bass), sedangkan Guy Picciotto baru bergabung pada pengerjaan album Repeater (1990). Hampir tidak banyak perubahan dalam komposisi personil selain Brendan Canty yang menggantikan Collin Sears tak lama setelah Fugazi dibentuk. Dari awal, otonomi dipilih sebagai manifestasi musik mereka dan gagasan inilah yang mendasari sikap yang diusung Fugazi dalam bermusik: yaitu menolak modal dari label rekaman dan memilih untuk memproduksi musik mereka sendiri. Sikap ini pun ditampilkan secara konsisten dalam berbagai macam hal lainnya, mulai dari pemilihan festival (dengan menolak Lollapalooza dan lebih memilih tampil di festival “bawah tanah”), hingga menggratiskan konser (di DC, siapapun (dalam arti harfiah) dapat menghadiri pertunjukkan Fugazi tanpa biaya, sedangkan di luar DC tiket masuk hanya sebesar 5$ hingga 6$, itupun jika yang bersangkutan mau membayar, jika tidak, just go-in!). Melihat gelagat ini tidak aneh jika Fugazi dikenal sebagai hardliner dalam penolakan terhadap komersialisasi musik. Terlebih ketika MacKaye dan kawan-kawan menyatakan bahwa album Fugazi adalah gratis untuk semua, rasanya bukan cuma pemilik modal yang kena tampar, namun juga musisi-musisi punk lain yang ber-DIY-raya (Do it Yourself), tapi masih meributkan tentang royalti dan buruknya distribusi musik.

Autonomous is a choice, adalah mantra bagi konsistensi Fugazi. Tidak banyak band radikal seperti ini yang mampu bertahan lama, apalagi di skena D.C. Kota ini tidak seperti Los Angeles, New York, Detroit, atau Seattle yang menjadi tempat kelahiran subkultur berbasis musik. Walau memiliki skena yang tidak kalah militan, punk yang lahir di D.C terhindar dari sisi gemerlap New York (Patti Smith dan Television), agresivitas Los Angeles (X), atau nihilism ala Detroit (MC 5). Skena punk D.C, walaupun mengusung narasi perlawanan yang sama, memiliki kecenderungan lebih eksperimental. Disinilah kita menemu identifikasi khas dari Fugazi: sebagai band punk yang menolak simplifikasi dari punk itu sendiri–sebuah perlawanan dari perlawanan sebelumnya yang telah meyerah kalah. Di era akhir 1980-an, punk (dan rock n’ roll secara keseluruhan) berubah menjadi layaknya ajaran agama yang diikuti secara mutlak oleh para pengikutnya. Dalam sebuah wawancara, MacKaye menyatakan kegelisahan Fugazi akan hal ini dan menentang segala bentuk pengkultusan, ujarnya: We don’t try to represent ourselves in any sort of outfit. . . . In the end [people] are free to think what they want to. Pernyataan ini diamini oleh para personil Fugazi, termasuk Picciotto yang seringkali dijadikan “tumbal” oleh kawan-kawannya untuk menghadapi sesi wawancara (ini satu lagi keunikan Fugazi, mereka tidak memiliki frontliner–menurut mereka: semua adalah setara dalam musik). Pada titik ini, kita sekali lagi berhadapan dengan mantra ajaib Fugazi, bahwa otonomi adalah pilihan–sebuah sikap (bermusik) yang membebaskan, baik dalam berhadapan dengan industri ataupun dalam dialog (musikal) dengan para pendengarnya.

Terdapat satu debut EP dan enam album rekaman yang dihasilkan Fugazi selama rentang bermusiknya. Pada debut EP (1988), pengaruh The Clash yang memfusikan reggae dengan punk sangat terasa. Mungkin inilah sebabnya, Joe Strummer (vocalis The Clash) berpendapat bahwa satu-satunya band punk yang layak didengar pada era peralihan 1980/1990 adalah Fugazi–menurutnya ada benang merah yang jelas antara The Clash dan Fugazi dalam hal eksplorasi musik. Tidak ada tanggapan apapun dari para personil Fugazi atas pujian pendahulunya ini, tapi nampaknya Strummer harus kecewa karena pada album-album selanjutnya, Fugazi tidak lagi mengulang konsep fusi punk/reggae dan melakukan eksplorasi lebih jauh dari yang dilakukan The Clash (walau tentu perbandingan ini tidak dapat ditelan bulat-bulat karena terdapat perbedaan signifikan pada konteks jaman dan idiosinkratik kedua band). The Repeater (1990) sebagai contohnya, album ini menghadirkan duet gitar MacKaye/Picciotto yang kemudian dikenal dengan sebutan “noise-terrorist”. Keduanya menggabungan ritme intens yang membawa punk pada level yang belum pernah terbayangkan. Alhasil beberapa kritikus menolak menyebut Fugazi sebagai punk dan lebih menkategorikan mereka pada label post-hardcore (walaupun jelas-jelas Fugazi lahir dan aktif di skena punk). Tentu saja kategorisasi tidak menjadi perhatian bagi band ini–jika komentar seorang Joe Strummer saja tidak mereka acuhkan, apalagi tulisan sekilas di artikel musik. Selanjutnya eksplorasi Fugazi menghadirkan berbagai pengaruh dalam musiknya–mulai dari dub, rock, blues hingga hip hop. Pada album paska Repeater, eksplorasi bukan hanya dilakukan pada pengaruh musik, tapi juga dalam produksi suara dan musik (eksperimen ambience pada album Red Medicine (1995) disebut sebagai salah satu produksi musik terbaik, Mark Kemp bahkan menyebutnya: Rock Solid).

Mendengar ulang seluruh karya Fugazi (beserta dokumenter pertunjukannya) memberikan gambaran yang jelas mengapa mereka dinobatkan sebagai salah satu band klasik yang tidak tergantikan. Sedangkan dalam konteks budaya, mereka adalah negasi dari komersialisasi musik yang semakin tidak terbendung. Mark Andersen dalam The Clash and Fugazi: Punk Path toward Revolution, menyatakan bahwa Fugazi berhasil melakukan apa yang tidak berhasil dilakukan oleh jajaran band di awal kelahiran genre punk. Sejarah mencatat bahwa label rekaman telah berhasil meredam perlawanan The Clash maupun Sex Pistols dengan menjadikan mereka sebagai asset industri (The Clash digaet Sony dan Columbia sedangkan Sex Pistols berada di bawah label EMI dan Virgin Record). Baru satu dekade kemudian Fugazi hadir dan melanjutkan narasi perlawanan tersebut. Namun berbeda dengan pendahulunya, Fugazi tidak bergeming atas panggung artifisial dan memilih untuk tetap membumi dan bermusik apa adanya. Etika ini diusung secara konsisten hingga mereka memutuskan untuk hiatus pada tahun 2003. Andersen menyebut konsistensi Fugazi sebagai Revolution by Examples–sebuah keberanian bertindak yang jarang mampu untuk dilakukan oleh sembarang band (menyanyikan lagu tentang perlawanan adalah satu hal, tapi melakukannya secara konsisten adalah hal lain). Disinilah kita harus angkat topi pada Fugazi: sebuah band yang mengusung otonomi garis keras dan berhasil mengangkangi dan menteror industri musik–Fucked (em’) Up, Got (em’) Ambushed, Zipped (em’) In [into a body bag]!.

Referensi:
Charles Fairchild (1995) “Alternative”; music and the politics of cultural autonomy: The case of Fugazi and the D.C. Scene, Popular Music and Society, 19:1, 17-35
Mark Andersen (2013) “The Clash and Fugazi: Punk Paths toward Revolution” dalam Political Rock, Routledge, New York

Share on:

Leave a Comment