Cerita Panen Lontar Pak James

Beberapa waktu lalu saya berkesempatan mengikuti kuliah umum tentang Islam dan budaya di Asia Tenggara dengan salah satu pembicaranya tidak lain adalah Indonesianis kondang asal Australia, James J. Fox.  Kala itu, Pak James (biasa ia dipanggil dan nampaknya sudah kerasan betul dengan sapaan tersebut) memaparkan tentang popularisasi babad tanah Jawa dan sarikat Satariyah yang tengah ia kaji. Kedua uraian tersebut tentu sangat menarik, khususnya ketika wacana Islam di Indonesia mengemuka dalam sebuah dimensi tunggal (yang tidak menarik). Namun pada kesempatan ini saya ingin mengulas cerita Pak James yang lain–tentang sebuah masyarakat yang memiliki julukan unik sejak masa kolonial, yaitu: “orang-orang yang tidak makan”. Melalui buku berjudul “Panen Lontar: Perubahan Ekologi dalam Kehidupan Masyarakat Pulau Rote dan Sawu” (Pustaka Sinar Harapan, 1996), Pak James memaparkan seluk beluk masyarakat kedua pulau dengan sangat detil–mulai dari struktur sosial, silsilah raja dan turunannya, interaksi ekonomi antar kedua pulau ataupun dengan bangsa luar (Belanda dan Tiongkok), juga tentang karakter ekologi dan perubahannya yang secara tidak langsung membentuk pola sosial ekonomi masyarakat Rote dan Sawu. Luasnya kajian Pak James membuat saya keder, dan karena saya sama sekali tidak memiliki latar belakang antropologi (membaca detil data Pak James malah membuat saya pusing tujuh keliling), maka hanya kajian ekologi sajalah yang akan saya angkat. Pemangkasan kajian ini bukan berarti ekologi memiliki takaran yang lebih sederhana, tapi mengacu pada dua hal pokok: Pertama, karena saya pernah mengkajinya dulu sekali di bangku kuliah, sehingga konsep-konsepnya sedikit banyak telah saya kenal; Kedua, karena pendekatan ekologilah yang digunakan Pak James untuk memetakan karakter unik Pulau Rote dan Sawu yang berbeda dengan pulau lain di Indonesia.

Peta Latar Cerita Panen Lontar James J. Fox
Kepulauan Busur Luar, James J. Fox, 1996

Kajian tentang Pulau Rote dan Sawu sangat sedikit jika dibandingkan dengan kajian pulau lain di Indonesia, ataupun pulau lain yang terletak di busur luar Indonesia. Sumba mendapat banyak perhatian karena merupakan penghasil cendana yang melimpah, Flores merupakan pusat perekonomian sejak jaman kolonial di tenggara Indonesia, sedangkan Timor banyak terangkum dalam catatan perjalanan para pedagang Portugis. Menurut Pak James, informasi paling lengkap tentang masyarakat pulau Rote dan Sawu ditulis oleh seorang pedagang kopi asal Amsterdam, Batavus Drystubble–itupun dalam bentuk suka-suka, tidak tersusun secara sistematis. Catatan ini menjadi terkenal karena Multatuli mengutipnya dalam Max Havelar. Menurut Multatuli, diantara beragam informasi aneh yang ditulis Drystubble, ada satu yang menarik perhatiannya: yaitu uraian tentang masyarakat Pulau Rote yang “tidak makan tapi lebih banyak minum”. Ketika ditelusur oleh Pak James kemudian, kebiasaan “tidak makan” ini dilakukan pula oleh masyarakat di pulau tetangganya, Sawu. Drystubble menjelaskan bahwa kebiasaan ini merupakan cara masyarakat setempat untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar yang panas dan gersang. Gambaran lain tentang Pulau Rote dikemukakan oleh Wijngaarden (Het Eiland Randjoewa, 1890) yang dikutip Pak James. Wijngaarden menggambarkan bahwa Rote adalah pulau gersang tanpa mungkin tetumbuhan bisa hidup disana (gambaran tentang Pulau Sawu lebih kasar lagi, ungkapnya “Sawu hanya sebongkah batu yang terapung di lautan”). Pak James menduga, bisa jadi catatan Drystubble dan Wijngaarden inilah yang menjadikan Pulau Rote dan Sawu kurang diminati oleh pemerintahan kolonial (atau jika boleh saya tambahkan, kurang diminati pula oleh pemerintah berkuasa setelah kemerdekaan–hingga saat ini). Posisinya yang berada pada busur luar membuat Rote dan Sawu harus mengalami musim kemarau lebih panjang akibat siklon tropis dari Australia. Keduanya merupakan pulau di Indonesia dengan curah hujan paling sedikit, ditambah tanah margalit yang mudah terkena erosi, menjadikan kedua pulau ini kering kerontang. Kondisi ekologi inilah yang kemudian membentuk sebuah kebiasaan khusus masyarakatnya–sebuah kebiasaan unik yang menurut Pak James, mungkin hanya ditemukan di kedua pulau tersebut.

Walaupun kering, Rote dan Sawu diberkahi dengan melimpahnya pohon lontar (borassus flabellifer). Pohon yang memang tumbuh subur di wilayah kering ini menjadi penopang utama kehidupan di Rote dan Sawu. Pemanfaatan pohon lontar dapat ditemui mulai dari rumah tinggal (kayu sebagai pilar, daun sebagai atap, dan batang sebagai pagar), hingga kebutuhan sehari-hari, mulai dari perkakas sederhana seperti alat makan, alat timba, alat musik (sesandu), penutup kepala hingga peti mati. Namun yang paling menarik adalah pemanfaatan lontar sebagai makanan utama (atau lebih tepatnya: minuman utama). Berbeda dengan masyarakat di Flores dan Sumba yang masih dapat bercocok tanam palawija seperti jagung, ubi dan singkong, tanah di Rote dan Sawu yang kering tidak dapat ditanami palawija dengan baik. Oleh karena itu, hadirlah sebuah interaksi menarik antara manusia dengan alam: masyarakat Rote dan Sawu tidak makan–karena kondisi alam yang unik, pemenuhan asupan makanan diganti dengan minuman (menurut warga Rote dan Sawu, setiap harinya mereka hanya makan satu kali, baik itu ubi atau jagung, sisanya meminum nira). Minuman tersebut didapat dengan menyadap nira dari pucuk lontar sebelum menjadi buah. Pucuk tersebut dipotong dan nira dikumpulkan dalam sebuah wadah. Nira hasil sadapan dapat diminum secara langsung, namun karena tidak tahan lama, nira kemudian direbus untuk dijadikan sirup. Sirup inilah yang menjadi minuman (atau makanan utama) warga Rote dan Sawu sepanjang tahun. Selain menjadi sirup, olahan nira sebagian dijadian tuak (yang kemudian dapat disaring kembali menjadi arak). Panen nira berlangsung antara Juni hingga November setiap tahunnya, dan karena pohon lontar tumbuh liar, masyarakat tidak perlu susah payah untuk menjaganya. Pak James sungguh terkesima dengan adaptasi masyarakat di Pulau Rote dan Sawu ini. Menurutnya, bisa dikatakan karena kondisi ekologi yang sedemikian rupa, masyarakat Rote dan Sawu memiliki karakter masyarakat peramu–sesuatu yang sudah jarang ditemui pada peralihan abad 19 ke abad 20. Namun, keadaan ekologi di Sawu dan Rote memburuk ketika pemerintah kolonial mengeluarkan kebijakan sok tahu yang berujung pada semakin menurunnya jumlah pohon lontar di Rote dan Sawu.

Kebijakan sok tahu yang diceritakan Pak James tidak lain adalah kebijakan kolonial pada tahun 1910 yang tertarik pada pemanfaatan padang sabana di Rote dan Sawu. Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) lantas mendatangkan sapi dari Bali untuk dikembangbiakkan di Pulau Rote dan Sawu. Namun, ternyata kebijakan ini berdampak buruk: jumlah rumput yang ada ternyata tidak mencukupi. Berkurangnya padang rumput ini juga disebabkan ditanamnya lantana camara, sejenis gulma yang dapat berfungsi sebagai pagar bagi ternak sapi. Yang tidak diketahui saat itu adalah bahwa di sekitar tumbuhnya lantana, rumput sama sekali tidak dapat tumbuh.  Alhasil ternak sapi di Rote dan Sawu merugi dalam jumlah banyak. Dampak kekurangan pakan ini juga dirasakan oleh pemiliki kerbau (hewan asli Rote dan Sawu) yang terpinggirkan oleh monopoli pakan sapi yang dilakukan VOC. Menurunnya jumlah kerbau berakibat secara langsung pada pengolahan ladang yang selama ini menggunakan tenaga kerbau. Berladang yang memang sulit menjadi semakin susah payah pengerjaannya. Keadaan bertambah buruk ketika dampak sosial menyeruak. Hal ini terjadi akibat pasokan sapi yang tidak merata karena VOC “menitipkan” kepemilikannya hanya pada raja atau tokoh tertentu sehingga memunculkan friksi sosial. Untuk menangani paceklik ini, pemerintah kolonial mengeluarkan kebijakan kedua yang semakin memperparah keadaan: yaitu memasukkan jenis tanaman baru sebagai pengganti rumput sebagai pakan sapi, yaitu leucaena glauca, sejenis kacang-kacangan yang dapat tumbuh di tanah kering (saat ini dikenal sebagai lamtoro). Lamtoro berhasil menjadi pakan pengganti sapi (pengembangbiakan sapi menggunakan pakan lamtoro saat ini dikenal sebagai sistem Paron). Namun dibalik keberhasilan penanaman lamtoro tersebut, terdapat akar penyebab semakin berkurangnya pohon lontar di Rote dan Sawu. Akar lamtoro yang sulit untuk dibersihkan menjadi muasal terhambatnya perkembangan pohon lontar. Puncak dari perubahan ekologi ini tercatat dalam sejarah kolonial pada tahun 1930 dengan sebutan kejadian “lapar luar biasa”. Kejadian luar biasa ini bukan hanya terjadi di Rote dan Sawu, tapi juga terjadi di Sumba, Timor dan Kupang (atas perubahan ekologi yang juga tidak diperhitungkan). Namun, Rote dan Sawu adalah pulau yang paling merasakan keganasan perubahan ekologi ini secara nyata, dan dampaknya (juga traumanya) masih terasa hingga saat ini.

Kerusakan lingkungan merupakan kasus dengan mekanisme hukum terburuk dalam sejarah manusia. Hal ini bukanlah hal baru, mengingat setiap pemerintahan punya kecenderungan sok tahu yang didasarkan pada visi ideal pembangunannya sendiri. Buku Panen Lontar Pak James adalah satu diantara kajian yang secara detil berhasil menggambarkan secara gamblang dampak perubahan ekologi pada sebuah masyarakat. Pak James satu suara dengan para ekologis seperti Joseph W. Meeker dan Andrew Dobson, yang menyarankan kajian menyeluruh pada setiap tindakan yang disebut dengan “pembangunan”. Cerita Pak James adalah bukti bahwa perubahan ekologi yang sembrono berujung pada sisi getir dari perubahan masyarakat di Rote dan Sawu. Walaupun demikian, terdapat sisipan lucu yang diungkapkan oleh Pak James. Ia mengungkap bahwa masyarakat Rote dan Sawu merupakan masyarakat yang paling pandai berkelit dari upeti yang diwajibkan pemerintah kolonial. Jika ada kumpeni (petugas VOC) datang, mereka akan bercerita tentang bencana paceklik (tahun 1930) yang menghabiskan ternak mereka dan betapa mereka belum dapat bangkit karenanya, sehingga kumpenipun harus kembali dengan tangan kosong (Pak James lalu menambahkan keterangan bahwa semua ucapan tersebut adalah omong kosong belaka, karena sang penutur sebetulnya mempunyai kuda dan kerbau). Kebiasaan ini rupanya berlanjut setelah kemerdekaan, karena Rote dan Sawu dikenal sebagai daerah dengan pemasukan pajak terkecil (catatan pajak disebut juga “catatan lari”, karena kepala keluarga dapat dipastikan tidak ada di rumah ketika petugas pemerintah datang untuk menarik pajak). Kisah lucu ini memang tidak sebanding dengan cerita getir tentang kiamat ekologi yang mendera Rote dan Sawu. Tapi disinilah kita menemu alasan utama mengapa Pak James begitu tertarik pada masyarakat kedua pulau tersebut, yang tidak lain karena ketangguhannya dalam melawan dua kekuatan besar penghancur, yaitu: kolonialisme dan kerusakan lingkungan.

Share on:

1 thought on “Cerita Panen Lontar Pak James”

Leave a Comment