The Anti-Establishment (or: How I Learned to Stop Worrying and Love the Irony)

Seperti kebanyakan orang, saya agak uring-uringan ketika melihat pemberitaan di berbagai media atas kemenangan mengejutkan Donald Trump. Tapi fase uring-uringan saya pada sosok Trump ternyata tidak berlangsung lama – memang, untuk sesaat saya geram melihat bagaimana jargon politik kasar murahan yang cenderung narsis anti-intelek, bisa menang dan mendapat banyak dukungan – namun, kegeraman itu hilang seketika saya teringat akan dua hal: (1) bahwa saat ini adalah tahun 2016, sebuah era dimana gagasan politik, agama, aktivisme sosial, hingga dunia akademis, tidak punya arti lebih dari perayaan masturbasi massal di media sosial, sehingga kemenangan Trump merupakan sebuah konsekuensi logis, (2) sudah sekian lama saya berada diluar jalur politik prosedural dengan mengamini gagasan kosmopolitan Kant, “Im Reiche der Zwecke hat alles entweder einen Preis oder eine Würde” (In the kingdom of ends everything has either a price or a dignity), sehingga saya seringkali tidak ambil pusing dengan riak kehidupan politik ala negara, baik itu berupa pro dan kontra [politisasi] agama, apalagi sekedar kicauan tanpa makna seorang Donald Trump. Sayangnya, iman saya untuk tidak terjerumus dalam pembahasan politik praktis sedemikian tipis, karena sehari setelah Trump dinyatakan menang, saya menemukan diri mencak-mencak di depan layar laptop ketika sebuah media online menyebutkan bahwa kemenangan Trump adalah bagian dari gerakan anti-establishment. Tunggu dulu, Ironi macam apa lagi ini? Apakah benar arti anti-establishment seperti itu?

Irony:  a situation that is strange or funny because things happen in a way that seems to be the opposite of what you expected

Jika penasaran, silahkan lihat pemberitaan antara tanggal 9 November hingga tulisan ini dibuat (16 November 2016), diantaranya terdapat beberapa tajuk seperti: Anti-establishment won, not the Republican Party (USA today), Donald Trump Boosts Europe’s Anti-Establishment Movement (Gatestone Institute), In Twist, Bernie Sanders: Donald Trump harnessed anti-establishment anger (Guardian), hingga berita betajuk After Trump and Brexit, Is Asia Next on the Anti-Establishment Hitlist? (South China Morning Post). Usai membaca berita-berita ini yang tersisa adalah pusing dikepala, karena sungguh aneh rasanya menemukan kata anti-establishment disandingkan dengan Trump dan Brexit. Dalam ingatan saya, kata tersebut memiliki makna heroik, dengan representasi seperti Dr. Martin Luther King Jr., Malcolm X, Mahatma Ghandi, atau gerakan semisal Black Panther Party (yang beroperasi di AS dan Aljazair) juga Hungry Generation yang digerakkan oleh sastrawan dan seniman di India tahun 1960an – dan tidak terbersit sama sekali untuk menyandingkannya dengan gegap gempita Trumpisme saat ini. Kejanggalan inilah yang kemudian membuat saya mengkaji ulang tentang makna dan arti anti-establishment dengan rasa was-was yang beralasan: karena jangan-jangan Trump memang tokoh anti-establishment, dan pandangan saya terhadap gerakan anti-establishment selama ini bisa jadi salah.

Secara harfiah, arti anti-establishment dipahami sebagai “pandangan yang bertentangan dengan kekuasaan atau norma konvensional”. Adapun persinggungan pertama saya dengan kata anti-establishment adalah melalui sebuah film cult yang dirilis pada tahun 1999: Fight Club – film ini diadaptasi dari novel berjudul serupa karya Chuck Pahlaniuk. Terdapat kalimat Tyler Durden yang berfungsi layaknya doktrin (setidaknya bagi saya yang kala itu adalah bocah kelas 1 Sekolah Menengah Atas), “You’re not your job. You’re not how much money you have in the bank. You’re not the car you drive. You’re not the contents of your wallet. You’re not your fucking khakis. You’re the all-singing, all-dancing crap of the world.” – dengan motif penghancuran Rockefeller Center, Durden mencoba membangun dunia baru tanpa basa-basi sistem kepemilikan. Gambaran inilah yang kemudian membangun gagasan tentang anti-establishment dibenak saya – sebuah gerakan pembaharuan atas kondisi mapan yang telah usang. Film lain yang mengangkat gagasan serupa (namun tidak meninggalkan kesan sekuat Fight Club) adalah kisah hidup Chris McCandless dalam Into the Wild. McCandless adalah cermin pergulatan seseorang atas kekangan norma sosial – dengan mengambil langkah radikal ia membangun interpretasi pribadi atas bagaimana kehidupan seharusnya.

Sejarah sendiri telah mencatat gerakan anti-establishment sejak era filsafat klasik Yunani melalui aliran yang dikenal dengan the Cynic (yang memiliki padanan kata: seperti anjing, dog-like). Salah seorang diantara aliran Cynic adalah Diogenes, terlahir dari keluarga berada (ayahnya seorang pencetak koin), namun ia memilih untuk hidup menggelandang sebagai bentuk kritik terhadap nilai-nilai sosial dan institusi yang korup. Kritik juga ia arahkan pada bangun kebenaran yang telah mapan namun tumpul – terdapat insiden terkenal ketika Diogenes mencemooh Plato di muka umum: saat itu Plato tengah menerangkan tentang manusia, menurutnya “manusia adalah hewan berkaki dua tanpa bulu”, publik meresponnya dengan anggukan setuju dan tepuk tangan. Diogenes yang berada dikerumunan kemudian mambawa seekor unggas dan mencabuti bulunnya, lalu berteriak “Inilah manusia versi Plato!”. Saat ini patung Diogenes berdiri di Sinop, Turki, yang merupakan kota kelahirannya. Tangan kirinya membawa lentera, mengingat semasa hidupnya ia kerap menggelandang dengan lentera menyala, bahkan pada siang hari – ketika ditanya mengapa lenteranya menyala, ia menjawab “ini satu-satunya cara untuk menemukan orang jujur” – dari jawaban tersebut kita bisa melihat darimana kata sinis berasal.

Sejarah lain dari gerakan anti-establishment dikenal dengan sebutan “Gunpowder Plot”. Sosok dibelakangnya adalah Guy Fawkes dan kelompok Katolik militan (diantaranya Thomas Percy, Bates, Robert Catefby, John Wright, Thomas Winter dan Robert Winter sebagai konspirator). Fawkes dan kelompoknya menganggap bahwa Raja James yang Protestan tidak kompeten dalam memimpin dan satu-satunya cara mengakhiri pemerintahannya adalah dengan membunuhnya. Rencana pembunuhan dirancang dengan meledakkan House of Lords, namun Fawkes tertangkap sebelum aksinya berhasil dilakukan. Walaupun gagal, aksi Fawkes menjadi salah satu aksi anti-establishment paling diingat – melalui perayaan Guy Fawkes Night setiap 5 November, dan Fawkes menjadi simbol gerakan anti-establishment subversif yang beroperasi di dunia maya: anonimous. Setelah membaca tentang Diogenes dan Guy Fawkes, sekilas, saya teringat gerakan revolusioner Federico Garcia Lorca yang menentang kelas borjuis angkuh melalui teater jalanannya, La Barraca – dengan dialog dalam dramanya, Lorca menjadi oposisi bagi rejim fasis yang harus ia bayar dengan eksekusi mati. Lorca, Diogenes, dan Fawkes adalah gambaran anti-establishment yang melekat di benak saya: artistik, murni, dan militan – hingga datanglah Trump yang memporak porandakan seluruh gagasan dan bangun imanjinasi.

Dan sampailah kita pada pertanyaan yang mau tidak mau harus dilontarkan: apakah jargon-jargon Trump adalah juga anti-establishment?. Jika mengacu pada definisi, maka (ironisnya) kemenangan Trump secara harfiah adalah juga gerakan anti-establishment. Ia didukung oleh masyarakat yang ingin perubahan dari pemerintahan sebelumnya: memulangkan dan menerapkan kebijakan anti-immigran, memberikan lapangan kerja terutama bagi warga AS, menutup masuknya Muslim ke AS, hingga menghapus Kesepakatan Paris atas pegurangan Gas Emisi yang tentu akan menguntungkan para pengusaha. Dengan kata lain, Trump didukung oleh arus massa yang telah bosan dengan pemerintahan Obama – dan memilih Trump adalah cara untuk memutus status quo partai demokrat. Oposisi terhadap status quo inilah yang juga mendasari kemenangan atas Brexit, dukungan atas kebijakan partai ultranasionalist di Perancis dan pengajuan referendum perubahan undang-undang yang akan dilakukan oleh Italia pada 4 Desember 2016 mendatang. Ketika anti-establishment diartikan semata sebagai gerakan oposisi terhadap sistem yang berkuasa, maka Trump, Brexit, atau ultranasionalist sekalipun, dikategorikan sebagai anti-establishment (walau sungguh jauh api dari panggang). Pembacaan ini senantiasa membuat bulu kuduk merinding: bahwa arus anti-establishment yang diusung Trump bersebrangan secara langsung dengan humanisme dan bangun etika, sebuah pemahaman anti-establishment yang keluar jalur. Sehingga dalam perjalanannya, kita menemukan bahwa manusia kembali pada titik awal – sebuah dialektika maju mundur yang hanya bisa diwakili oleh ironi ala Kiekergard: “Laugh at the world’s foolishness, you will regret it. Weep over it, you’ll regret that, too”.

Share on:

3 thoughts on “The Anti-Establishment (or: How I Learned to Stop Worrying and Love the Irony)”

  1. Tega pisan ieu teh nyamain Diogenes ma Trump.. bzzzz.. Layaknya nyamain Bowie ma Bieber ato Swift, ato some korean dance music bullshits, emang secara definisi penyanyi ato song, ato bunyi.. tapi ayolah…. kuciwa ini mah gede banget… hanya karena media populer menyebutnya seperti itu, apakah kita harus setuju gt aja? apa sih yah ia korbankan? apakah renouncing his wealth, fame and fortune? apakah kembali ke alam karena kehidupan modern sebuah abominasi? cynic setidaknya ada semacam kesadaran etis yang diusung sebagai panduan untuk beroposisi.. apa yg dia usung? Emang rambut Trump kaya kulit jeruk tapi kan tidak bisa dikatakan alami juga, wkwk..
    Tujuan dia sangat pragmatis memanfaatkan apapun yang bisa dimanfaatkan untuk sampai pada kekuasaan, menjadi yg establish.. Isu apapun tidak masalah, agama, ras, imigrasi, dll gak masalah.. ini digabung dengan munculnya fake News, fake people, media baru dan Algoritma AI didalamnya yang dipake ma suckerberg, google, dll yg bikin bubble semakin menggelinding tak terkontrol sbg mesin circlejerks banyak menipu orang…
    Walau sebenarnya saya sih lebih seneng dia yg kepilih, setidaknya semua sadar gimana Trump, jd kehati-hatian gak akan hilang.. Kita tahu Ia rasis, islamophob, dll.. setidaknya ia ada dan terlihat tak tersembunyi blankspot perspektif kita.. ini beda misal ma obama sekarang, karena dia dapet nobel perdamaian, orang gak sadar kalo dia sekarang saat ini lagi ngebom 7 negara dengan proyek drone yang berdasar perintah eksekutif saja.. Hillary? orang pintar yg jadi presiden perempuan amerika pertama? That’s a full blank spots!
    setidaknya gitu meureun skrng mah, ya setidaknya sampe Trump gone full Robespierre, bunuh semua oposisi (dlm negeri dl), baru meureun luar negeri sampe oposisi ma china ato russia ato EU n pencet tombol nuklir meureun, wkwk.. mun eta mah baybay weh…

  2. yes yes, komen yang ditunggu-tunggu…lha memangnya saya ga stress nulis ini, hahaha, asa pengen bunuh diri pas liat gimana sebuah kata tergelincir dari akarnya…tujuannya kesana memang, mancing kekesalan biar kentara bahwa tulisan ini adalah semacam kode “SOS”….karena bagaimanapun, secara definisi Bowie dan Beiber sama2 penyanyi huaaaa *nangis bawang ga mau nerima kenyataan.

    goddamn post-truth…:(((

Leave a Comment