A Proper Emotion

Beberapa waktu lalu, ketika tengah mempersiapkan artikel bertema Candy Punk: Identitas di Era Postmodern untuk sebuah ajang akademis alakadarnya, seorang kawan bertanya: memang, punk yang sebenarnya itu seperti apa?. Jawaban untuk pertanyaan ini (mengutip dari berbagai majalah musik) lazimnya akan mengacu pada deretan band pengusung awal punk seperti Sex Pistols, The Clash, atau band pada era post-punk seperti Buzzcock, The Jam, The Damned, atau bahkan band yang mengisi panggung ‘bawah tanah’ CBGB di New York. Tapi di benak saya terbersit jawaban lain – alih-alih memberikan daftar panjang band yang menjadi pijakan subkultur popular ini – eksponen punk bagi saya hanya satu: yaitu Public Image Ltd, sebuah band yang digawangi tidak lain oleh The King of Punk himself, John Lydon alias Johnny Rotten. Public Image Ltd (PiL) lahir dari kebangkitan kembali Lydon setelah ia membunuh citra Sex Pistol yang melekat pada dirinya. Hasilnya adalah musik tanpa basa-basi. Lydon menolak melabelkan PiL ke dalam genre manapun, termasuk Punk. Ia hanya menggambarkan PiL sebagai: music that express proper emotion[1].

Kesan mendalam terhadap PiL saya temui sejak pertama kali mendengar album pertama mereka (Public Image: First Issue, 1978). Album ini mementahkan kekaguman saya pada panggung anarkisme yang dipertunjukkan Sex Pistols, membuatnya menjadi begitu kekanak-kanakan. Lagu pemuka berjudul Theme di atas adalah salah satu contohnya. Disini Lydon menghilangkan sisi bengal Rotten yang senantiasa memprovokasi publik dengan mengubah arah bermusiknya pada eksplorasi berbagai ruang emosi. Namun jangan harap sisi emosional Lydon mengurangi ketajaman lidahnya. Tanpa adanya selubung industri yang semakin merusak kultur Punk, PiL adalah manifestasi dari gagasan individual Lydon yang menolak absurditas pengkultusan, baik pada agama hingga budaya. Lagu berjudul Religion dan Public Image adalah pernyataan sikap tegas untuk menerangkan dimana ia berdiri. Entah berapa ribu orang penggemar punk yang harus gigit jari ketika Lydon menyatakan penolakan pada standar punk yang ditempelkan pada dirinya melalui lirik ‘Think I’m proud to be your enemy’. Dalam Fodderstompf, ia kembali menegaskan ‘Be really, really, nothing, void, zilch, zero, nought, nothing, vacuum’. Dalam berbagai sisi, album ini merupakan upaya Lydon untuk menghilangkan segala klise atas dirinya dan melepaskan berbagai bentuk kemasan emosional plastik dalam musik. Namun sisi paling mencengangkan PiL bukan terletak pada ketajaman musik atau liriknya, tapi pada sisi lain – sisi yang tidak terlihat.

Sisi tidak terlihat ini (walaupun sebetulnya dapat terdengar dengan jelas apabila kita jeli memaknai arah musik Lydon), saya sadari kemudian ketika tengah mencari tahu pengaruh dan personil yang terlibat dalam musikalitas PiL. Pada sisi pengaruh, semakin jelas bahwa ruang musik PiL adalah sebuah negasi atas nilai-nilai (yang anehnya malah jadi pakem) bagi musik punk. Lydon menyebutkan bahwa reggae adalah musik yang memberinya keleluasan untuk berhadapan secara langsung dengan emosi. Album pertama PiL, setahun setelah Sex Pistols bubar, adalah sebuah pencerahan hasil dari pencarian musiknya di Jamaika. Lydon juga menyebutkan bahwa inspirasi untuk eksplorasi musik PiL, ia dapatkan dari musik progresif – yang notabene ditempatkan secara berlawanan dengan genre Punk oleh industri musik (sehingga kita mengenal rivalitas mengada-ada antara Punk vs. Progresif pada skena musik Inggris di era 1970-1980). Pernyataan ini nampaknya bertujuan untuk semakin menjauhkan diri dari klise genre musik Punk. Keterkejutan lain muncul ketika melihat deret nama musisi yang pernah berkolaborasi dengan Lydon – karena disana terdapat setidaknya dua nama besar, yaitu Ginger Baker dan Miles Davis. Kolaborasi ini menghasilkan Album (1986), salah satu album masterpiece PiL, selain Public Image: First Issue. Tentu saja, kolaborasi ini kembali mengingatkan kita pada sikap negasi Lydon pada Punk. Karena musikalitas Baker maupun Davis, sangat jauh dari pakem tiga kord Sex Pistols yang (ironisnya) dijadikan standar baku bagi musik punk.

PiL sendiri masih aktif hingga saat ini. What the World Needs Now yang dirilis pada tahun 2015 menjadi bukti bahwa konsistensi Lydon masih sama: baik dalam segi sikap, kejujuran emosi juga dalam eksplorasi musik. Walau demikian, nampaknya Sex Pistols terus membayanginya, dan Lydon masih sering dibanjiri pertanyaan tentang band tersebut juga tentang kematian Syd Vicious. Dari sudut pandang seorang pendengar musik, Sex Pistols bagi Lydon layaknya iblis yang dibutuhkan kehadirannya – a necessary evil. Sex Pistols menjadi pijakan bagi eksplorasi Lydon setelahnya, walau pijakan tersebut terus ia coba hancurkan dengan berbagai cara. Pandangan ini sejalan dengan artikel Sean Albiez[2] yang menyatakan bahwa sekeras apapun penolakan Lydon pada subkultur Punk, ia akan tetap dikenal sebagai suara pertama yang menggagas subkultur tersebut. Albeiz kemudian memandang bahwa PiL memberikan pembacaan pada “narasi diri” Lydon yang mengusung subjektivitas individual dan transformasi identitas – dalam hal ini melalui kreasi musik. Pandangan menarik lain terkait kreasi musik dikemukakan oleh Toynbee yang menyatakan bahwa inovasi musik erat kaitannya dengan paradigma sosial[3], sebuah hasil dari proses saling tarik menarik antara subjektivitas dengan berbagai ruang kreatif yang ada. Untuk menyatakan PiL sebagai bentuk dialektika bagi Lydon, rasanya terlalu kaku dan akademis. Tapi harus diakui bahwa frase tersebut mampu menggambarkan dengan baik sikap negasi yang diusung Lydon melalui PiL.

Sisi lain PiL yang kental dengan idiosinkatik Lydon adalah individualitas. Dalam kata-katanya sendiri ia berujar ‘An absolute sense of individuality is my politics’[4]. Pernyataan ini bersinggungan luas dengan subjektivitas yang pada era postmodern memiliki peran penting dalam memberikan pembacaan terhadap identitas, baik identitas sosial ataupun polittik. Pandangan Lydon tentang individualitas mengingatkan kembali pada artikel yang tengah saya garap ketika perbincangan tentang PiL ini muncul. Dalam artikel tersebut, saya mengarang sebuah sebutan untuk jajaran subjek yang mengidentifikasikan diri dengan subkultur Punk tanpa memahami atau pernah melakukan deviasi nilai, yaitu Candy Punk. Tentu saja sebutan ini cuma pandangan iseng saya saja, tapi bisa jadi subjek inilah yang ditentang habis-habisan oleh Lydon. Bentuk ini telah hadir di awal era Punk (Lydon sangat nyinyir memandang anak muda yang berpakaian ala Sex Pistols), dan semakin menjadi-jadi di era carut marut ini. Ketika pemahaman atas subjektivitas menjadi semakin relatif, rasanya berbagai pendekatan dapat dilakukan untuk bersinggungan dengan narasi diri. Individualitas hanyalah salah satu diantara banyak cara, dan Lydon berhasil menggalinya melalui eksposisi emosi – menurutnya, Love does make the world go round, I don’t know what these punk rockers get up to.

Sumber Bacaan:
[1] Lynskey, D., 2009, John Lydon: PiL Lets Me Express Proper Emotions, The Guardian
[2] Albiez, S., 2003, “Know history!: John Lydon, Cultural Capital and The Prog/Punk Dialectic”, dalam Popular Music, Vol. 22, No. 3., Cambridge University Press
[3] Toynbee, J, 2000, Making Popular Music: Musicians, Creativity and Institution, Routledge, London
[4] Lydon, J., 1993, Rotten: No Irish, No Blacks, No Dogs, Picador, London

Share on:

Leave a Comment