Rendra, Puisi Pamflet dan Oposisi

Aku tulis pamflet ini
karena pamflet bukan tabu bagi penyair
(Aku Tulis Pamflet Ini, Rendra)

Kumpulan puisi Rendra berjudul Potret Pembangunan dalam Puisi terbit pada tahun 1993, didalamnya terangkum 27 puisi yang ditulis dalam rentang waktu 1975 – 1978, tahun dimana sang penyair di tahan dan sajaknya dilarang dibacakan. Kumpulan puisi ini dibuka melalui pernyataan bahwa penyair juga bisa – atau bahkan harus – menulis pamflet, yaitu sebuah selebaran berisi kata-kata atau gambar tertentu yang erat kaitannya dengan aktivitas politik. Melalui penyataan “karena pamflet bukan tabu bagi penyair”, puisi pamflet Rendra menyuarakan apa yang selama ini dilupakan penguasa. Rendra sang penyair, turun ke jalanan, selokan, dan kolong jembatan, untuk menyuarakan apa yang selama ini dihilangkan dalam potret pembangunan versi penguasa. Ia lantas berkeliling bagaikan Plato, bertanya dan bertanya, untuk menggugah kesadaran: tetapi pertanyaan-pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet – ungkapnya dalam Sajak Sebatang Lisong, sajak yang pada tahun 1977 menjadi simbol protes terhadap kekuasaan yang seenaknya menganggkangi kepala rakyat.

Puisi-puisi lain dalam kumpulan Potret Pembangunan dalam Puisi bernada sama: ia menjadi pamflet bagi penyair yang muak terhadap kondisi sosial dalam negara yang katanya milik rakyat ini – pamflet tentang manifestasi perlawanan terhadap penindasan dalam berbagai hakikat dan bentuknya (Media Indonesia, 2009). Melalui puisi-puisi dalam kumpulan ini, Rendra memberikan perhatian pada berbagai kalangan yang oleh masyarakat di sebut marjinal: dalam puisinya ia memberi ruang pada anak-anak putus sekolah, gelandangan, babu dan jongos, orang-orang miskin di jalanan maupun di selokan (yang menurut Rendra, selalu diledek impian), juga orang-orang pendosa yang berdosa karena didesak lapar. Rendra lantas mengkritik dan memaki penguasa yang seharusnya bertanggung jawab pada setiap pemenuhan hak rakyatnya, tapi ia pun paham bahwa sistem kekuasaan terlalu bebal untuk mendengar – bahkan kritik dalam bentuk apapun mendekati sia-sia. Namun hal tersebut tidak membuatnya menyerah: Aku bergerak menulis pamflet, untuk mempertahankan kehidupan, tulisanya di akhir puisi berjudul Nota Bene: Aku Kangen.

Dan memang apa yang diperjuangkan Rendra tidaklah sia-sia, karena melalui puisi-puisinya kita dapat menemukan bentuk paling sublim dari representasi masyarakat marjinal yang tersingkir dari sistem sosial maupun ekonomi karena konstruksi nilai tidak menyediakan tempat bagi mereka – masyarakat, yang bahkan dalam bahagianya pun mengalami ketertindasan, sebagaimana diuraikan Rendra dalam penggalan sajaknya:

Bulan purnama raya masuk ke perut babu,
lalu naik ke ubun-ubun,
menjadi mimpi yang gemilang,
menjelang pukul dua,
rembulan turun di jalan raya,
dengan rok satin putih,
dan parfum yang tajam baunya,
ia disambar petugas keamanan,
lalu disuguhkan pada tamu negara,
yang haus akan hiburan.
(Sajak Bulan Purnama)

Gagasan Rendra tentang masyarakat – yang di dalamnya terdapat representasi rakyat dan negara – tidak hanya disampaikan dalam kumpulan Potret Pembangunan dalam Puisi saja, tapi juga disampaikan pula dalam puisi-puisi (protes)nya dalam kumpulan lain. Salah satu puisi provokatifnya yang paling terkenal berjudul “Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta”. Puisi ini ditulisnya ketika berada di New York – suatu hari ketika membaca berita dari tanah air, ia marah-marah seraya mengumpat: “Ini tai kerbau!”, berita tersebut adalah tentang pengganyangan pelacur-pelacur Jakarta karena dianggap sebagai sumber kebobrokan masyarakat (Kompas, 1969). Melalui puisi tersebut Rendra menunjukkan betapa intens simpatinya kepada manusia-manusia yang menjadi korban nasib, korban birokrasi yang kaku, juga korban kebekuan agama. Karena gayanya puisinya yang tanpa tedeng aling-aling dalam pencurahan murkanya, seringkali ia disalahartikan seolah-olah hanya simpati kepada kaum pelacur dan selalu sinis terhadap negara dan agama  – namun pandangan umum tersebut akan terbantahkan dengan sendirinya melalui alur pemikiran yang lebih argumentatif dalam drama dan essai-essainya.

Salah satu drama Rendra yang dikenal luas adalah Mastadon dan Burung Kondor, sebuah drama psiko-politik antara penguasa (Mastadon) dan rakyat (Burung Kondor) yang mengangkat narasi tentang persoalan mendasar dari struktur negara: Mastadon, sang penguasa terkadang lupa bahwa mereka adalah bagian dari rakyat juga – sedangkan burung kondor seringkali lupa bahwa mereka punya kapasitas untuk menggerakkan negara. Dalam dialog-dialog tajam drama tersebut Rendra membangun sebuah gambaran tentang pergulatan narasi antara penguasa dan rakyat, juga tentang kapasitas dan fungsi keduanya yang seharusnya saling mengisi. Permasalahan muncul ketika kedua struktur tersebut tidak memahami diri, sehingga baik negara ataupun rakyat, harus memiliki kesadaran atas fungsinya. Dalam sebuah dialog kesadaran tersebut ia tekankan:

“…Katakan kepada Juan Frederico, aku tidak mau mengikuti jejak orang fanatik. Aku percaya pada jalannya perubahan berdasarkan perkembangan kematangan kesadaran. Perubahan yang mendadak yang ditimbulkan oleh revolusi hanya akan menghasilkan perubahan semu.” (Mastadon dan Burung Kondor).

Adapun essai Rendra meliputi permasalahan yang lebih luas, salah satu kumpulan essainya berjudul “Memberi Makna pada Hidup yang Fana” memaparkan pokok gagasannya mulai dari politik, pendidikan, hingga seni – dan selain dari kumpulan essai tersebut, tidak terhitung banyaknya essai-essai lain yang ia tulis untuk berbagai surat kabar atau tabloid. Salah satu essai politiknya yang paling kuat dimuat dalam tabloid Gatra (1998), dengan judul “Reformasi”, disini ia berkata: “ Di saat negara dilanda krisis dan di saat reformasi politik betul-betul urgent, barangkali ucapan saya dianggap membosankan, tapi saya seorang penyair, ada kewajiban [pada] saya untuk mempertahankan nilai-nilai moral, kemanusiaan dan kebudayaan”.

Dalam essai ini Rendra menyoroti berbagai hal yang menjadi penyebab krisis sosial politik di negeri ini. Ia berbicara tentang trias politika yang harus kembali ditegakkan, tentang kedaulatan hukum dan Undang-Undang Dasar 1945, tentang krisis moral yang tercermin dalam kolusi, nepotisme, oligopoli, pelecahan dan pelanggaran hak asasi manusia, tentang feodalisme dan fasisme politik, yaitu pemakaian kekuasaan, yang mentah-mentah untuk kekuasaan semata dan mencapai kepentingan-kepentingan politik sepihak. Selain tentang negara, Rendra juga mengingatkan tentang pentingnya kedudukan rakyat pada masa-masa transisi budaya dan politik tersebut – bahwa keterlibatan rakyat dalam reformasi bukanlah semata-mata untuk dikerahkan pada masa darurat, tapi harus menjadi tujuan dari reformasi itu sendiri, dengan mengangkat emansipasi kedaulatan pribadi setiap manusia demi martabat dan daya hidup yang lebih baik (Rendra, 1998)

Melalui karya-karyanya – baik puisi, naskah drama, ataupun essai – Rendra menetapkan posisinya sebagai seorang penyair yang menulis tentang (pamflet) politik. Ia menyadari bahwa puisi dan drama memiliki sandingan fungsi estetik juga politik, sehingga sebagai seorang penyair, Rendra berbicara tentang persoalan sosial dan politik melalui bentuk narasi yang paling kuat, yaitu puisi. Tapi Rendra bukanlah Rendra jika pamlfet yang ia tulis adalah pamflet biasa. Perhatiannya pada persoalan negara dan ketertindasan kelompok marjinal tidak lalu menempatkannya menjadi seorang penyair kiri yang berbicara dalam nada realisme sosialis – “Saya ini saya, yaitu Rendra”, ujarnya dalam sebuah wawancara, yang diperkuat dengan pernyataan (Tjaraka, 1969):

Saya bukan angkatan ‘66, Saya bukan pahlawan, Saya tidak anti Orla, Juga saya tak ingin mengganyang Orba.”

Penyataan tegas tersebut mencerminkan pendiriannya yang bebas: bahwa Rendra tidak berbicara untuk kerangka ideologi tertentu, tapi atas dasar kemanusiaan. Pada titik inilah kita dapat dengan jelas melihat kekuatan pamflet politik Rendra: ia merupakan representasi tajam dari realita sosial dan politik yang dituturkan melalui bahasa yang lugas, liar, dan tidak berbunga-bunga, sehingga membuat puisinya cenderung dapat dinikmati oleh khalayak ramai, menyentuh emosi serta menembus pengalaman dari berbagai kelompok masyarakat. Melalui representasi tersebut, Rendra berhasil merangkum kegelisahan, ketakutan, ketidakadilan yang mengendap dalam benak masyarakat. Ia lalu menyuarakannya sebagai bentuk otokritik bagi struktur masyarakat yang mandeg fungsinya. Oleh karena itu, Rendra akan selalu berdiri diseberang penguasa ketika amanat rakyat mereka lupakan, tapi juga ia akan menjadi oposisi bagi kemandegan rakyat apabila rakyat yang ia bela tidak menyadari kapasitas-kapasitasnya dan hanya berpangku tangan menunggu uluran penguasa. Sikap oposisi pada kebekuan nilai politik dan budaya inilah yang pada akhirnya menjadi benang merah pamflet Rendra baik dalam puisi, drama dan juga essainya. Bahkan ketika ia ditahan dan dibungkam, Rendra menolak untuk diam – karena menurutnya: Tanpa oposisi? Sumpek!.

Keterangan:
Tulisan ini merupakan penggalan dari Tulisan berjudul “Revolusi Estetik: Rendra tentang Representasi Rakyat, Negara dan Budaya” nominasi pada Lomba Karya Tulis Pemikiran Tokoh Budaya Indonesia, Pusat Studi Kebudayaan UGM, 2014

Sumber:
Media Indonesia, 9 Agustus 2009, Terbanglah Si Burung Merak
Kompas, 19 April 1969, Penyair Otentik yang tidak pura-pura
Gatra, (Rendra), 30 Mei 1998, Reformasi
Tjaraka, (Rendra), 13 Mei 1969, No 117, Th. Ke III

Share on:

Leave a Comment