(n)e(u)rotika

Egon Schiele adalah seorang yang terlahir jenius. Tidak ada jejak seni dalam keluarganya, namun bakat melukisnya telah terlihat sejak kecil. Layaknya kanak-kanak pada umumnya, tembok rumah adalah kanvas pertama bagi Schiele dengan kereta api sebagai objek (favorit) pertamanya. Tidak aneh, karena ayahnya adalah kepala stasiun di Tulln, sebuah kota kecil di Austria dan di stasiun tersebutlah Schiele kecil dan keluarganya menetap. Sejalan dengan usia, kecintaan Schiele pada sketsa dan gambar semakin terlihat jelas. Buku sekolahnya selalu dipenuhi gambar-gambar imajinatif. Sang Ayah yang tidak menyetujui kesukaan putranya kerap membakar buku-buku tersebut, namun efek yang dihasilkan adalah kebalikan: Schiele semakin terobsesi untuk menggambar. Lukisan Egon Schiele penuh dengan obsesi diri. Obsesi tersebut disertai pubertas remaja menghantarkannya pada obsesi lain: kekaguman terhadap tubuh. Dilandasi kesadaran atas tubuh sebagai subjek sekaligus objek hasrat, Schiele menanggalkan menggambar objek lain dan hanya terpaku pada gambar dan sketsa tubuh. Dan melalui penggambaran atas tubuhlah–yang kebanyakan ditampilkan telanjang–, Egon Schiele meletakkan dasar-dasar pemikiran estetisnya dan menjadi salah satu figur pelukis ternama Wina pada awal abad 20.

egon-schiele-self-portrait
Self Potrait

Studi tentang tubuh sendiri bukanlah hal yang baru. Peradaban Yunani kuno menempatkan kesempurnaan tubuh diatas segalanya dan nilai ideal figur Semi-Dewa Yunani menjadi standar pengamatan tubuh bagi para pelukis dan pematung bahkan berabad-abad setelahnya. Memasuki abad 15, studi tubuh memasuki wilayah yang lebih realistis melalui interpretasi peka Leonardo Da Vinci, sublimasi Albrecth Durer dan erotika Michelangelo–ketiganya memberikan dasar perspektif bagi studi tentang tubuh di berbagai akademi seni di dunia. Termasuk pada Academy of Visual Arts di Wina tempat Schiele belajar secara mendasar tentang studi tubuh melalui arahan Christian Griepenkerl yang terkenal konservatif. Schiele memasuki akademi pada tahun 1906, namun karena ternyata gaya konservatisme Griepenkerl tidak memenuhi kepuasan eksplorasinya, maka pada tahun 1907, Schiele beralih haluan pada studi di luar akademi dan bergabung dengan Wiener Werkstätte, sebuah workshop yang dipimpin langsung oleh figur pemberontakan seni Wina di awal abad 20, Gustav Klimt. Alhasil pengaruh Klimt sangat kentara pada karya-karya awal Schiele, dan dibawah arahan Klimt, Schiele semakin memperdalam obsesinya terhadap (studi tentang) tubuh.

Namun, sebagaimana seharusnya seorang murid yang ideal–Schiele secara perlahan melepaskan diri dari pengaruh Klimt. Alhasil, walaupun sama-sama menggunakan tubuh sebagai bentuk simbolisme, keduanya berpijak pada pandangan estetis yang berbeda sama sekali. Klimt, sang perfeksionist berbicara tentang estetika tubuh sebagai dasar kehidupan, sehingga lukisan Klimt penuh dengan vitalitas, harapan, dan erotika, dengan berbagai ornamen “hidup” untuk melengkapi gagasannya. Sedangkan Schiele memiliki konsepsi lain: menurutnya tubuh merupakan representasi kehidupan sekaligus kematian. Keduanya hadir secara bersamaan, sehingga dalam lukisan Schiele, kematian adalah bayang-bayang untuk setiap bentuk kehidupan. Dengan kata lain, tubuh dalam pandangan Schiele adalah erotika (hasrat seksual) sekaligus neurotika (sebuah persepsi mental akan kehancuran)–ia menjadi indah sekaligus menakutkan.

The Family by Egon Schiele

Rasa “mengganggu” menjadi kesan pertama publik saat melihat lukisan tubuh karya Schiele, terlebih ketika mengetahui bahwa salah satu model lukisannya adalah adiknya sendiri, Gerti, alhasil tabu dan inses menjadi gambaran yang melekat pada diri Schiele. Namun justru dengan munculnya kontroversi tersebut, Schiele menjadi sosok yang semakin dikenal–sebuah kebetulan yang menguntungkan bahwa lukisan tubuh (telanjang) Schiele yang vulgar dan agresif, menjadi suara yang mewakili kritik atas hipokrasi kehidupan seksual di Wina saat itu. Seks bagi masyarakat awal abad 20 adalah kesenangan (tersembunyi) yang menunggu di setiap tikungan jalan, namun dibaliknya muncul ketakukan dan ancaman kehancuran yang hadir melalui penyakit sipilis yang kala itu menjadi salah satu penyebab utama kematian. Oleh karena keberhasilannya dalam merangkum kegelisahan seksualitas, karya-karya Schiele seringkali disandingkan dengan Three Essays on the Theory of Sexuality (1905) karya Sigmund Freud yang juga memiliki daya untuk mendobrak berbagai pandangan lama tentang seksualitas.

Selain Theory of Sexuality, terdapat pandangan Freud lain yang dapat dijadikan dasar bagi pembacaan lukisan Schiele, yaitu eros (dorongan kehidupan) dan thanatos (dorongan kematian). Eros yang mengacu pada insting kehidupan termanifestasi dalam dorongan seksual yang menjadi dasar keberlangsungan hidup, kesenangan dan reproduksi. Sedangkan thanatos merupakan insting kematian, yang menurut Freud hadir secara tidak sadar dalam diri setiap manusia. Freud memandang bahwa keduanya merupakan siklus yang tidak dapat dipisahkan – perang merupakan analogi paling gamblang dalam menjelaskan kesalingterikatan eros dan thanatos: yaitu ketika perang dipahami sebagai upaya untuk mempertahankan kehidupan sekaligus misi bunuh diri massal umat manusia. Begitupun dengan penguasaan dan eksplorasi alam yang ditujukan untuk keberlangsungan manusia pada akhirnya akan berhadapan langsung dengan kematian dari alam, sekaligus ras manusia itu sendiri. Dalam pandangan Freud “the goal of all life is death” (Beyond the Pleasure Principle, 1920). Dan pada karya Schiele, kalimat Freud menjelma dalam wujud yang begitu nyata. Melalui dua titik ekstrem inilah, yaitu eros dan thanatos, Schiele memvisualisasikan gagasannya tentang tubuh yang erotik sekaligus neurotik.

Keberanian Lukisan Egon Schiele untuk secara jujur menghadirkan kematian pada titik puncak kesenangan manusia–melalui wajah thanatos pada setiap hasrat seksual–berakibat pada penyangkalan nilai estetika dalam setiap lukisannya. Kejujuran inilah yang kemudian menggiring Schiele ke hadapan pengadilan pada tahun 1912 ketika ia dilaporkan atas tuduhan mengekspos pornografi. Pengadilan tersebut berlangsung dramatis dengan pembakaran beberapa karya Schiele–Ia lantas didakwa bersalah dan dijatuhi hukuman 1 bulan penjara.

Egon_Schiele_4

Putusan bersalah semakin mengucilkan Schiele dari masyarakat, dan ia pun mendapat banyak kritikan dan pandangan sinis dari kaum borjuis konservatif. Namun, di antara para seniman Wina dan lingkaran pelukis eropa sendiri, Schiele adalah sosok yang dihormati. Ia mendapatkan reputasi internasional karena karyanya memberikan dobrakan perspektif dalam memandang erotisme–karena lukisan telanjang Schiele, baik dengan menggunakan model ataupun potret diri, tidak ditujukan sekedar untuk memenuhi klise kesenangan estetis semata, tapi merupakan potret utuh kehidupan (dengan kematian disetiap goresan kuasnya). Dan memang, seperti lukisannya yang kerap didera agony, sang pelukis sendiri wajah melihat kematian hadir begitu dekat. Schiele meninggal ketika Eropa dilanda Flu Spanyol pada tahun 1918, di usia yang baru menginjak 28 tahun. Dalam hidupnya yang singkat, ia telah menghasilkan lebih dari seribu lukisan dan gambar. Karyanya lantas mendapatkan tempat bersama Edvar Munch sebagai perintis ekspresionisme, yaitu aliran yang secara pekat memunculkan sisi emosional dari sang pelukis. Namun, walaupun Schiele telah berhasil meletakkan nilai estetisnya dengan argumen yang sangat kuat, hingga saat ini kejujuran menusuk dalam karya Schiele masih belum sepenuhnya dapat diterima publik. Beberapa galeri terkemuka di dunia masih merasa lukisannya terlampau janggal untuk dipajang. Dan atas pandangan tersebut, Schiele selalu menjawab: “Filth only filth, if the eye of the beholder say it is”.

Sumber:
[1] Selsdon, Esther dan Jeanette Zwingerberger, 2010, Egon Schiele, Parkstone Press International, New York
[2] Freud, Sigmund, 1910, Three Contributions to the Sexual Theory, terj oleh A. A. Brill, The Journal of Nervous and Mental Disease Publishing Company, New York
[3] Freud, Sigmund, 1922, Beyond the Pleasure Principle, terj. oleh C. J. M. Hubback, International Psycho-Analytical, London-Wina

Share on:

Leave a Comment