Lost in the Roman, Wilderness of Pain

Elit politik Romawi kuno memiliki cara yang cukup efisien dalam menyingkirkan lawan politik: ditikam beramai-ramai atau dijadikan tontonan dalam ajang pertarungan gladiator. Sisi aksi kekerasan politik ini kemudian diangkat Shakespeare dalam Roman Tragedy yang menggambarkan kematian Julius Caesar oleh sekelompok senat yang menentang permintaannya untuk mendapatkan gelar “Raja” – tindakan yang dianggap pengkhianatan bagi Republik Roma. Dalam plot pembunuhan yang dituturkan oleh Shakespeare, suatu pagi Caesar diundang untuk menyaksikan pertarungan gladiator di Teater Pompey pada 15 Maret 44 BC. Marc Anthony, yang telah mengendus skenario pembunuhan Caesar melarangnya untuk memasuki Teater, namun Lucius Tullius Cimber menghadang Caesar dan mendesaknya untuk membicarakan petisi pembebasan kakak Lucius dari pengasingan. Caesar mengikuti Lucius memasuki sayap timur teater, dan disanalah enam puluh orang telah menantinya dengan belati terhunus, menikamnya beramai-ramai dan walaupun Caesar berupaya melarikan diri, ia mati kehabisan darah di tangga teater Pompey.

Pembunuhan Caesar bukanlah satu-satunya skenario pembunuhan elit politik dalam sejarah Romawi Kuno – kekerasan bentuk ini menjadi pola berulang yang tidak hanya ditemukan dalam teks-teks Romawi saja, karena sejarah dunia pun sejarah nusantara, penuh dengan intrik berdarah yang tak terpisahkan dari cara pintas strategi politik. Pola berulang memunculkan sebuah bentuk legitimasi – dan legitimasi terhadap bentuk kekerasan paling masif direalisasikan dalam sebuah mekanisme Perang. Perang kemudian menjadi jalan bagi bangsa yang mendambakan kekuasaan dalam bentuk paling nyata seperti teritori hingga bentuk yang paling absurd seperti kepatuhan agama. Selain perang, bentuk lain dari legitimasi kekerasan (dalam rupa yang lebih halus) termuat dalam konsepsi kekuasaan negara. Negara yang memiliki kapasitas (peng)hukum(an) terhadap warganya mampu melakukan apapun atas nama keteraturan (order). Terhadap tautan antara negara dan hukum, Cicero sang filsuf Romawi telah memperingatkan jauh-jauh hari bahwa sifat alami hukum sangat rentan tercemar oleh kebobrokan turun temurun dari elit politik, sehingga hukum terkadang muncul sebagai “what bandits have agreed among themselves”.[1]

Saat ini, beribu abad setelah Cicero menuliskan pandangannya, bangun negara dan hukum telah dianggap baku dan berhenti dipertanyakan. Dua hal tersebut menjadi kebutuhan mutlak sebuah bangsa untuk berinteraksi – tanpa mempedulikan sebuah kenyataan bahwa sejarah politik adalah tumpukan interpretasi teks yang maknanya dari hari ke hari semakin rancu. Teorisasi politik – yang berasal dari pengamatan terhadap kondisi sosial masyarakat – adalah sebuah kata lain untuk “remedi” dalam lingkup ilmu sosial. Didalamnya terdapat cara dan prosedur untuk mencapai harmoni, kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat, namun didalam teks yang sama, kita pun akan menemukan siklus kekerasan dan ego pencapaian kekuasaan. Dan sebagaimana dalam sebuah drama, tragedi lebih meminta perhatian daripada kehidupan sehari-hari yang membosankan. Alhasil, kekerasan menjadi bumbu utama dalam tungku politik.

Salah satu penjelasan tentang langgengnya kekerasan politik dikemukakan oleh Frantz Fanon dalam “The Wretched of the Earth”[2]. Buku “tajam” ini diberi kata pengantar oleh Sartre, yang membuatnya menjadi semakin agresif. Dalam The Wretched of the Earth, Fanon mengungkapkan sebuah pandangan bahwa kekerasan harus hadir dalam setiap upaya pembebasan – ia kemudian membedakan antara kekerasan progresif yang bertujuan kebebasan dan kekerasan represif untuk tujuan dominasi. Namun pembedaan ini kemudian menjadi tanpa arti ketika kekerasan progresif yang pada awalnya berfungsi sebagai upaya penghilangan eksploitasi politik dan ekonomi, menjadi bentuk kemarahan dan kebencian yang meresap kedalam patologi tubuh dan pikiran masyarakat – sehingga kekerasan menjadi respon pertama masyarakat terhadap situasi (politik) apapun. Kondisi ini kemudian diperburuk oleh penyangkalan terhadap tindak kekerasan itu sendiri. Penyangkalan ini kemudian muncul dalam berbagai narasi pembenaran sehingga kekerasan bukan saja menjadi bagian yang wajar, namun bisa dibenarkan secara etis. Dua pandangan inilah yang mendasari pandangan Fanon tentang siklus kekerasan tak terhindarkan.

Pembenaran terhadap berbagai bentuk kekerasan politik berjalan di alur evolusi yang semakin canggih. Dalam perang terdapat serangkaian pembenaran yang dapat menjadi landasan bahwa perang yang dilakukan adalah adil (just war theory), sehingga seorang kepala negara bisa sedikit terbebas dari rasa bersalah untuk mengirimkan rakyatnya mati di garis depan. Sedangkan untuk menghilangkan rasa bersalah seperti yang menyergap Brutus dan Lucius setelah membunuh Caesar, dibuatlah mekanisme penghukuman bagi lawan politik, mulai dari pengasingan hingga hukuman mati. Mekanisme ini menjadikan para elit politik bisa tetap mempertahankan jubah moral dan etikanya sekaligus mempertahankan kekuasaannya. Kekerasan semakin saru dan berubah wujud ketika ia bersandingan dengan struktur kolonialisme, eksploitasi kapital, fanatisme ideologis, fundamentalisme nilai dan jejaring konsumerisme yang menghilangkan berbagai sisi kebebasan masyarakat. Dan karena perubahan wujudnya, maka kekerasan yang terjadi di masyarakat semakin sulit dikenali – apalagi dihilangkan –, karena kekerasan ini muncul dari ketidaksadaran dan menyisakan luka lebam yang letaknya tidak di tubuh, tapi di pikiran.

Fanon tidak sendiri dalam menguraikan berbagai pandangan tentang kekerasan. Teorisasinya bersandingan dengan gagasan Merleau-Ponty dalam Humanism and Terror, Beauvoir dalam The Ethics of Ambiguity dan Hannah Arendt dalam On Violence – walaupun gagasan Arendt merupakan kritik dari pandangan siklus kekerasan nisbi ala Fanon, karena menurutnya kekerasan bukan bagian integral dari sifat alami politik, tapi hanya merupakan fabrikasi dari berbagai kepentingan politik[3]. Sayangnya, politik saat ini tidak lain hanya merupakan fabrikasi kepentingan elit semata. Nilai-nilai kebenaran para filosof politik yang meletakkan perhatiannya pada tatanan dan kesejahteraan masyarakat, nyangkut entah dimana – sehingga kekerasan, walaupun Arendt telah menetralkannya – tetap menjadi fitur utama dari tindakan politik para elit dengan hukum (baca: kesepakatan para bandit) sebagai senjatanya.

Bagi masyarakat sendiri, kekerasan politik adalah tontonan yang menghibur. Kecintaan terhadap kekerasan dengan tragedi sebagai candunya adalah teater romawi kuno yang dibawa kemana saja dan kapan saja. Mengingat gambaran Fanon bahwa kekerasan ada di setiap benak masyarakat yang pernah merasakan amarah terhadap represi, maka hampir mustahil menemukan bentuk masyarakat yang sepenuhnya tidak tersentuh siklus ini, tidak terkecuali bangsa kita. Namun, jika rakyat romawi menikmati hiburan kekerasan secara langsung di teater gladiator, maka masyarakat [yang katanya] modern memiliki teaternya tersendiri, yang dikenal dengan media sosial. Walaupun bentuk, kemeriahan dan kadar kengeriannya berbeda, namun prinsipnya tetap sama, yaitu ketika masyarakat bisa berteriak dan berpartisipasi secara langsung dalam setiap adu kekerasan dengan menentukan mana yang berhak mati dan mana yang berhak hidup (untuk bertarung kembali). Di teater romawi, jempol diangkat keatas berarti sang petarung berhak hidup, tapi jika diarahkan ke bawah, maka maut datang seketika. Mungkin analogi itulah mengapa jempol memiliki tempat tersendiri dalam media sosial – sebagai simbol kekuasaan masyarakat terhadap pertarungan yang terjadi didalamnya. Dan untuk kekerasan bentuk ini, kita tidak akan pernah kekurangan:  selama fabrikasi kepentingan politik masih menggebu dan masyarakat haus akan tontonan kekerasan, ramalan Fanon rasanya begitu dekat dan bumi (masih saja begitu) celaka.

Keterangan: Judul tulisan diambil dari lirik The Doors, The End, karya Jim Morrison (1967)

Sumber:
[1] standford
[2] Fanon, F., 2001 (Versi berbahasa Perancis diterbitkan pada 1961), The Wretched of the Earth (penj: Constance Farrington), Harmondsworth, Penguin Books
[3] Arendt, H., 1969, On Violence, New York: Harcourt Brace

Share on:

5 thoughts on “Lost in the Roman, Wilderness of Pain”

  1. Betul kiranya pengertian negara menurut Weber. Negara tak lain adalah institusi resmi yg memonopoli means of violence. Maka dari itu, kekerasan integral sifatnya dalam kehidupan bernegara.
    Dan hukum, tak lebih dari asesoris yg tiap saat bisa ditanggalkan begitu saja. State of exception, katanya. Pengecualian untuk siapa? Pengecualian untuk mereka yg merasa kuasanya sedang dalam ancaman.
    Lalu rakyat, sebagai konsep yg terlampau termistifikasi, tercukupkan dgn mengisi petisi. Itulah agensi terjauh yg dapat diimajinasikan manusia era Silicon Valley.
    #sokserius #padahalbohong 😀

  2. kok nyepet, gw mah cuma nyanyi ang 😀
    tapi untungnya nyanyinya ga diterusin, karena setelah “lost in the roman wilderness of pain”, lirik selanjutnya ” and all the children are insane” hahaha

Leave a Comment