Kaum Arab-Hadrami di Indonesia: Sejarah dan Dinamika Diasporanya #1

Pendahuluan: Awal Diaspora

L. Van Rijck Vorsel dalam bukunya, “Riwayat Kepulauan Hindia Timur” menjelaskan bahwa keturunan Arab Hadrami (berasal dari Hadramaut, Yaman) datang jauh terlebih dahulu ke wilayah Nusantara dibandingkan orang-orang Belanda. Sebagaimana para pedagang dari Cina, orang-orang Arab telah bermigrasi dan tinggal di kepulauan Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.

Setidaknya sejak abad ke-13 M, diperkirakan aktivitas penyebaran ajaran Islam mulai dilakukan oleh berbagai pendatang (kebanyakan pedagang) dari Maghribi, Arabia, Asia Selatan, dan Timur Jauh. Para pendatang ini kebanyakan berasal dari keluarga kelas menengah ke atas yang hendak melakukan perdagangan di kawasan Asia Selatan dan Nusantara. Di saat yang sama mereka menyebarkan keyakinan mereka (Islam) dan mempengaruhi penguasa-penguasa lokal untuk tertarik memeluk Islam.

Meskipun syiar Islam ini dalam beberapa kasus tidak merubah keyakinan penguasa lokal (contohnya Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjadjaran, Jawa Barat dan raja-raja Majapahit), para penyiarnya diberikan posisi penting dalam pemerintahan kerajaan lokal. Terlebih lagi, oleh raja-raja Hindu ini mereka diperbolehkan menyebarkan ajaran Islam di wilayah kekuasaannya.

Kedatangan Keturunan Arab Hadrami di Nusantara

Perjalanan orang-orang Arab Hadramaut ke wilayah Nusantara dilakukan menggunakan kapal-kapal kayu yang mirip bentuknya dengan perahu pinisi. Bertolak dari pelabuhan Al-Mukalla atau Al-Syhir, mereka kemudian berlayar hingga ke Malabar di India Selatan. Dari India Selatan, mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke Sri Langka, ke Melayu Aceh, Malaysia, Singapura, hingga pada akhirnya sebagian besar menetap di Sumatera. Ini sebabnya banyak di Sumatera, seperti di Aceh, Deli, dan Palembang terdapat warga keturunan Arab yang cukup banyak. Sedangkan sebagian rombongan lain meneruskan perjalanan ke wilayah yang lebih jauh seperti Kalimantan, Jawa, dan Sulawesi.

Berdasarkan sebuah catatan sejarah, pada abad ke-9 M di pulau Sela dekat Sulawesi terdapat keluarga Alawiyyin (kaum keturunan Rasulullah SAW & Ali bin Abi Thalib melalui Al-Hasan dan Al-Husain) yang menetap dan beranak pinak hingga wafatnya. Mereka datang ke pulau tersebut karena berusaha untuk melarikan diri dari kejaran Bani Umayyah dan Bani Abbas yang memusuhi mereka faksi politik Ahlul Bait (keluarga Rasulullah SAW). Konon sejak wafatnya Rasulullah, banyak di kalangan sahabat seperti Mu’awiyyah bin Abu Sufyan yang memusuhi Ahlul Bait. Kedua cucu Rasululah, Hasan dan Husain, terbunuh karena konflik politik dengan klan Mu’awiyyah (Bani Umayyah).

Pelabuhan Al Mukalla - awal diaspora Arab Hadrami
Pelabuhan Al-Mukalla di Yaman, salah satu titik awal diaspora Arab Hadrami ke Asia Tenggara.

Karena latar belakang konflik sejarah ini para keturunan Ahlul Bait melakukan hijrah ke berbagai wilayah di Timur Tengah, ada yang ke wilayah Afrika Utara, Persia, dan ada yang ke Arabia Selatan (sekarang Yaman dan Oman). Tempat hijrah yang paling terkenal di wilayah Arabia Selatan ini adalah Hadhramaut. Keturunan Nabi yang melakukan diaspora ke daerah ini antara lain Ahmad bin Isa al-Muhajir. Keturunan Nabi Muhammad yang ada di Asia Tenggara, khususnya Indonesia biasanya bersambung silsilahnya ke Ahmad bin Isa. Di banyak tempat keturunan Nabi Muhammad ini diberi gelar ‘Sayyid’ yang artinya ‘Tuan’. Kaum Sayyid ini kemudian melakukan diaspora ke luar Arabia bersama dengan kaum Arab lainnya yang sebagian dikenal sebagai kaum ‘Masyaikh’. Bersama-sama, mereka disebut sebagai kaum Arab-Hadrami (karena berasal dari Hadhramaut).

Adapun masuknya kaum Arab Hadrami ke Nusantara dalam jumlah yang cukup besar dapat dibagi kepada dua gelombang utama:

Gelombang pertama terjadi pada abad 13, 14 dan 15 M. Orang-orang Arab Hadrami yang datang pada periode ini kebanyakan sudah berasimilasi penuh dengan penduduk pribumi. Mereka terdiri dari kaum laki-laki yang kemudian menikahi wanita-wanita setempat dan mempunyai keturunan yang sangat banyak. Baik itu keturunan yang laki-laki, maupun perempuan, yang pada akhirnya menikahi orang-orang pribumi lainnya. Saking asimilasinya sudah ‘sempurna’, sulit bagi kebanyakan orang untuk bisa menemukan silsilahnya yang bersambung ke mereka. Karena kebanyakan keturunannya, sudah tidak lagi menggunakan nama-nama Arab dan familinya dan menggunakan nama-nama lokal seperti yang ada di Sunda ataupun Jawa.

Tapi silsilah yang bersambung ke kaum Arab Hadrami dari periode ini akan mudah ditemukan bagi mereka yang mempunyai hubungan darah dengan keluarga kerajaan yang ada di Nusantara. Konon kaum Arab-Hadrami pada masa ini banyak yang menikahi puteri-puteri raja setempat agar mendapatkan kekuasaan atau posisi penting di kerajaan. Diantara mereka adalah para wali yang menyebarkan ajaran Islam di berbagai penjuru di Nusantara. Para wali ini kebanyakan adalah kaum Sayyid Alawiyyin keturunan Rasulullah SAW dari Hadramaut.

Diantara para wali ini antara lain Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah, pendiri Kerajaan Cirebon), Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Giri (Pendiri Kerajaan Giri), Sunan Bonang, Sunan Ampel (Penasihat penting kerajaan Demak), Maulana Malik Ibrahim, Sunan Waliyullah, Sunan Puger, Sunan Kalimanyat, Sunan Pakuan, Sunan Tembayat, Sunan Pakala Nagka, Sunan Geseng, dan lain-lain.

Sedangkan mengenai Sunan Kalijaga, terdapat dua versi. Ada yang bilang bahwa ia itu keturunan Jawa asli, dan ada juga yang bilang bahwa ia merupakan keturunan Arab yang bersambung pada paman Nabi, Abbas bin Abdul Muthalib. Para wali dan penguasa keturunan Alawiyyin ini memiliki banyak sekali anak, cucu, dan cicit yang keturunannya masih hidup hingga sekarang. Saking banyaknya, banyak orang-orang Indonesia yang tidak sadar atau tidak tahu bahwa mereka masih bagian dari keturunan Alawiyyin diatas.

Beberapa silsilah keluarga kerajaan di Indonesia yang bersambung ke silsilah kaum Arab Harami dari Alawiyyin antara lain Kerajaan Aceh, Kerajaan Deli (dari Al-Mahdeli), Kerajaan Cirebon, Kerajaan Banten, Kerajaan Pontianak (dari raja Syarif Abdu al-Rahman al-Qadri), Kerajaan Sumedanglarang (dari Prabu Geusan Ulun bin Pangeran Santri bin Syekh Muhammad bin Syekh Abdurachman), Kerajaan Mataram, dan Kerajaan Giri.

Gelombang kedua diaspora Arab Hadrami ialah pada abad ke-17, 18, hingga awal abad ke-20 (lebih banyak di akhir dan awal abad ke-19). Berbeda dengan generasi sebelumnya, pada frekuensi yang kedua ini, kedatangan mereka lebih banyak dipacu oleh keinginan untuk berdagang dan mencari tempat tinggal baru. Meskipun disaat yang sama terdapat diantara mereka yang melakukan syiar Islam juga.

Bisri Affandi (1999) dalam bukunya yang berjudul ‘Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943): Pembaharu dan Pemurni Islam di Indonesia’ secara menerangkan bahwa arus migrasi besar-besaran kaum Hadrami ke Nusantara ini disebabkan oleh tiga faktor: (1) faktor kesulitan ekonomi di Hadramaut, (2) faktor mudahnya sarana transportasi karena revolusi industri, dan terakhir (3), faktor kebijakan ekonomi yanhg dikeluarkan pemerintah Belanda yang menjadikan kaum minoritas Arab dan Cina sebagai perantara perdagangan internasional di kawasan Nusantara. Ini alasannya mengapa pada masa kolonialisme Belanda pemerintah kolonial meletakkan orang-orang Arab dan Cina lebih tinggi statusnya dibandingkan kaum pribumi.

Meskipun mempunyai pola integrasi sosial yang sama dengan periode sebelumnya (13-15M) yaitu dengan menikahi wanita-wanita pribumi, kaum Arab Hadrami pada periode kolonial ini lebih eksklusif dimana mereka ingin menjaga ‘keutuhan’ identitas mereka sebagai kaum Arab Hadrami.

Hal ini terutama dilakukan oleh mereka yang bestatus sebagai golongan Sayyid (sekarang lebih dikenal dengan sebutan ‘Habib’). Di tempat asalnya Hadramaut, golongan Sayyid atau Alawiyyin ini menempati kedudukan sosial yang tinggi karena berasal dari keturunan Ahlul Bait. Maka dari itu mereka mengembangkan  tradisi yang disebut ‘Pernikahan Kafa’ah/Syarifah’. Dalam tradisi ini kaum Sayyid melarang anak-anak perempuan mereka (disebut Syarifah) untuk menikahi laki-laki yang bukan dari golongan Sayyid (dengan kata lain: pribumi). Hal ini dijustifikasikan oleh mereka melalui dalil-dalil agama (baca kitab karya Segaff Ali Al-Kaff yang membahas tentang Bani Alawi) yang mengatakan bahwa kedudukan nasab (kafa’ah nasab) wanita Alawiyyin itu sangatlah tinggi dibandingkan laki-laki non-Sayyid. Pasangan yang paling setara, menurut mereka, adalah laki-laki dari golongan Sayyid saja. Contohnya, Imam Syafi’i bahkan mengharamkan pernikahan Syarifah dengan non-Sayyid.

Terlepas dari norma diatas, tradisi pernikahan Syarifah ini ini sering menimbulkan konflik di masyarakat. Sebagaimana yang akan saya jelaskan nanti, konflik yang muncul pertama kali di abad ke-20 ialah mengenai konflik antara Syaikh Akhmad Syurkati yang berbeda pendapat dengan Ulam-ulama Alawiyyin dari Jami’at Khayr tentang halal atau haramnya pernikahan Syarifah dengan non-Sayyid….

(Bersambung Ke Bagian 2)

Tulisan ini pernah saya buat ketika saya tertarik dengan ‘ilmu nasab’ yang digunakan untuk mencari asal muasal leluhur keluarga saya. Beberapa serpihan sejarah tentang kaum Arab Hadrami ini pernah dibahas dalam konferensi internasional bertajuk ‘The Yemen-Hadramis in Southeast Asia: Identity Maintenance or Assimilation?’ di International Islamic University Malaysia (IIUM) di Kuala Lumpur, pada 26-28 Agustus 2005.

Tulisan ini juga pernah dimuat di blog Community for Middle Eastern Studies (Conformeast) (sekarang R.I.P). Kini saya tambahkan beberapa hal yang sempat terlewatkan di tulisan sebelumnya.

Share on:

5 thoughts on “Kaum Arab-Hadrami di Indonesia: Sejarah dan Dinamika Diasporanya #1”

  1. okeh mantap papskido, ditunggu nu #2 na.. trus yg jd pertanyaan yg mengganggu adalah pas ketika para islamis sudah merebut kekuasaan apakah perlakuan mereka terhadap para ex-bos nya sama tolerannya seperti dulu?
    p.s. oh iya, nanti pas bagian sex-nya jangan terlalu disensor yah..

  2. bukannya pernikahan antar keluarga itu namanya incest?? kata guru biologi saya itu bisa melahirkan anak2 yg cacat.

Leave a Comment