[ill]usion

Sebagai seorang dosen yang kurang kerjaan, sesi tanya jawab biasanya saya perpanjang selepas kelas usai. Harus saya akui bahwa terkadang pertanyaan diluar durasi kuliah lebih beragam bentuknya – mulai dari asumsi iseng, analogi nakal hingga pertanyaan naif – yang bisa membuat saya terpukau hingga tersenyum geli. Minggu lalupun saya melakukan hal serupa, bahasan kala itu tentang gerakan (a)politik dalam berbagai bentuk, termasuk gejala sebar-menyebar narasi kebenaran versi sendiri di dunia maya. Perihal ini nampaknya menggelitik seorang mahasiswa, sehingga setelah kelas kosong ia menghampiri saya dan mengajukan pertanyaan: “Mangapa begitu sulit memahami kebenaran?”. Jika tidak keliru, respon pertama saya terhadap pertanyaan tadi adalah bengong selama beberapa detik (mungkin juga beberapa menit, entahlah). Seketika benak saya dipenuhi oleh berbagai gambaran film, puisi, drama, hingga satir yang bergulat dengan pertanyaan serupa – mulai dari epik klasil Oedipus, film hitam putih Kurosawa berjudul Rashomon, hingga gambaran tentang kumis Nietzsche yang merupakan manifestasi kebenaran brutal sang empunya. Biasanya, pertanyaan “berat” seperti ini saya tanggapi sambil bercanda – karena memang jawaban apapun tidak pernah akan mencukupi – namun melihat keseriusan sang penanya, saya anjurkan dia membaca dua buku beda jaman yang masih relevan hingga saat ini. Yang pertama adalah satir terkenal Voltaire berjudul Candide (1759), kedua naskah dramawan kawakan asal Norwegia, Henrik Ibsen, yang berjudul Wild Duck (1884). Seminggu kemudian saya bertemu kembali dengan mahasiswa tersebut – entah apakah dia telah membaca kedua buku yang saya sarankan, saya tidak bertanya – tapi saya meminta ijin untuk mengangkat pertanyaannya menjadi pembuka tulisan saya selanjutnya, dan ia mengijinkan.

Buku tadi – Candide dan Wild Duck – adalah dua diantara teks yang paling sulit saya dekati. Dan alasan mengapa saya harus berbelit-belit membuat prolog di atas adalah karena pada dasarnya saya tidak tahu harus memulai dari mana. Keduanya memang mempersoalkan narasi kebenaran (dalam pengertian “truth” sebagai kata benda yang memiliki arti “the quality or state of being true” atau singkatnya kebenaran yang diletakkan pada fakta dan bukan menyoal kebenaran dalam tataran Omniscience yang mengacu pada konsepsi kebenaran agamawi) – tapi alih-alih memberikan pemahaman gampangan ala buku teks kuliahan, Voltaire dan Ibsen mengajak pembaca untuk masuk kedalam lapisan multi makna tentang bagaimana manusia menarasikan kebenaran. Kebenaran dalam artinya sebagai realita memiliki sisi brutal karena menyadarkan manusia akan berbagai keterbatasan (marjin) untuk memahami alam semesta – maka dari itu, Albert Camus dengan nada sarkas yang kental berujar: just say yes to the universe!. Nietzsche adalah seorang pemberani yang menantang keterbatasan manusia melalui pernyataan “the will to truth” walau ia menyadari kebenaran dapat menghantam balik bagai pasukan Jerman yang meluluhlantakkan Guernica – menurut Nietzsche kebenaran hanya bisa ditaklukan oleh seorang Ubermensch (manusia super) yang memiliki kekuatan super (the will to power). Alfred Whitehead – seorang matematikawan yang hampir putus asa dalam menghadapi tembok keterbatasan ini – menyatakan bahwa kita hanya mampu mengetahui setengahnya, dan upaya pencarian narasi kebenaran seutuhnya sama saja dengan bermain-main bersama setan. Namun justru itulah yang dilakukan oleh Voltaire dan Ibsen – melalui karyanya mereka mencoba membangunkan setan yang tengah lelap tertidur. Bedanya: jika Voltaire melakukannya dengan gaya mengolok-olok, maka Ibsen mengganggunya melalui sebuah plot bunuh diri yang dilakukan secara diam-diam.

Voltaire adalah sebuah nama yang lekat dengan pencekalan. Hal ini sungguh wajar mengingat isi dari essay, puisi hingga cerita-cerita pendeknya berjejalan dengan protes pada otoritas waktu itu. Bukan hanya sistem pemerintahan yang menjadi sasarannya, tapi juga norma sosial absurd, hierarki agama yang tidak masuk akal hingga filsafat mengada-ada, ia serang dengan nada yang khas: mengolok-olok. Begitupun dalam Candide, salah satu satir politik paling terkenal dalam sejarah, Voltaire menampilkan sisi konyol dari kondisi politik, sosial serta alur filsafat dengan cara yang begitu berlebihan. Sisi konyol ini hampir-hampir membuat Candide terasa ringan dan kacangan, jauh berada di bawah standar alegori canggih Voltaire pada umumnya (bandingkan dengan Lettres Philosophiques yang dipublikasikan pada 1734) – namun belakangan saya ketahui bahwa gaya bahasa ini digunakan Voltaire secara sengaja untuk menampilkan kondisi contra-englightment, karena menurutnya abad pencerahan berakhir ketika wabah optimisme mulai menjalar. Optimisme kala itu memiliki bobot yang lebih berat daripada optmisme yang kita pahami saat ini (yaitu sekedar pandangan bahwa semua akan baik-baik saja). Digerakkan oleh pandangan Leibniz dalam Theodicy (1710), optimisme pada abad 18 mengacu pada upaya penghilangan kesengsaraan bagi umat manusia melalui pernyataan terkenal “There is more good than evil; God is infinite, the Devil is not”. Leibniz membangun dua pandangan tentang kebenaran, yaitu kebenaran atas dasar kebutuhan (necesarry truth) dan kebenaran bahwa manusia terbatas sedangkan Tuhan tak terbatas (contingent truth). Voltaire bereaksi keras pada gagasan ini, menurutnya pandangan Leibniz menyeret manusia pada keterbatasan pikiran yang ia ungkap melalui sebuah paragraf konyol dalam Candide:

“It is demonstrable,” said he, “that things cannot be otherwise than as they are; for as all things have been created for some end, they must necessarily be created for the best end. Observe, for instance, the nose is formed for spectacles, therefore we wear spectacles. The legs are visibly designed for stockings, accordingly we wear stockings”

Voltaire menyindir Leibniz melalui penokohan filsuf optimisme bernama Panglos. Kalimat diatas adalah ucapannya yang diamini oleh Candide dan murid-murid lainnya. Ajaran lain dari Panglos berbunyi: laut memang disediakan bagi manusia untuk tenggelam – mendengar hal ini, Candide, sang tokoh utama yang naif, membiarkan kawannya mati tenggelam di perairan menuju Lisbon. Hampir setiap bab dalam Candide berisi tentang kekerasan dan bencana tak berujung – saya membayangkannya serupa dengan film-film post-apokaliptik dengan bencana yang menunggu di setiap tikungan jalan. Melalui eksposisi kesengsaraan yang dialami Candide, Voltaire menghancurkan gagasan pasif narasi kebenaran. Optimisme Leibniz yang berpijak pada slogan “bencana juga adalah kehendak Tuhan dan pasti ada manfaatnya” dihantam Voltaire melalui runtutan bencana tanpa makna ilahiah. Hanya dengan menghadapi kenyataan bahwa “bencana adalah bencana itu sendiri”, maka manusia dapat bergerak maju untuk mencari jalan keluar (tidak pasif layaknya Candide yang tidak melawan ketika dijadikan tawanan tentara Bulgaria). Secara gamblang satir ini memang ditujukan untuk menghancurkan ilusi optimisme yang menghambat pemahaman manusia akan narasi kebenaran. Pada tahun 1759, sasarannya adalah pandangan Leibnizian, namun saat ini gagasan kebenaran radikal Voltaire yang berbunyi écrasez l’infâme (crush the infamous) bersinggungan dengan berbagai macam ilusi: mulai dari kemandegan idelogi, fanatisme identitas (mulai agama, etnis, juga ras) hingga ilusi kepemilikan materi yang membuat seseorang berjalan semakin jauh dari realita dan akal sehat. Melalui ketajaman satir Candide, Voltaire menyodorkan sebuah tantangan: bahwa untuk menggapai kebenaran, tidak ada cara lain selain menghancurkan ilusi.

Teks kedua yaitu Wild Duck karya Henrik Ibsen, memiliki alur yang berbeda. Jika Candide menggebrak layaknya ombak, maka Wild Duck bergerak bagai arus bawah sebuah aliran sungai – sunyi, namun mematikan. Ibsen sendiri merupakan jenius dalam membuat plot yang memiliki reputasi tidak main-main: sebagai dramawan dengan naskah yang paling banyak dipentaskan setelah Shakespeare. Dalam karya-karyanya Ibsen tidak menghadirkan latar yang ajaib (seperti setting mengerikan dalam Candide), namun mengambil sesuatu yang begitu dekat dengan penontonnya, yaitu realita sosial masyarakat. Begitu pula dalam Wild Duck, tidak ada yang istimewa dalam drama keluarga ini pada awalnya, namun justru karena “semua nampak normal” maka kita menaruh curiga pada apa yang tidak nampak dipermukaan. Plotnya dibuat tanpa kejutan, sehingga perhatian penonton sepenuhnya dapat tertuju pada tokoh dalam cerita, diantaranya: Werle (seorang pedagang kaya raya), Gregers (anaknya), Gina (pegawai rumah tangga Werle yang kemudian dihamili oleh Werle), Hilmar (kawan Gregers yang menikahi Gina), Hedvig (berusia 14 tahun, anak dari Gina dan Werle), seekor bebek yang terluka, dan beberapa tokoh tambahan lainnya. Persinggungan antar para tokoh inilah yang kemudian membentuk dua kutub: yaitu realist dan idealist. Pelan-pelan terungkap bahwa kebaikan Werle kepada keluarga Hilmar bukanlah sesuatu yang tulus, dan puncaknya adalah ketika Hilmar mengetahui bahwa Hedvig bukanlah anaknya. Seluruh plot dalam Wild Duck ditujukan Ibsen untuk mengungkap sebuah kebenaran tragis: melalui simbol seekor bebek liar terluka, Ibsen menggambarkan bahwa manusia yang tidak sempurna membuat kerangka ilusif sedemikian rupa untuk mencapai sebuah gagasan kehidupan yang ideal. Melalui lapis demi lapis kebohongan, setiap tokoh didalamnya menemukan kebahagiaan semu seperti seekor bebek yang tidak lagi menginginkan dunia luar kecuali kandangnya. Drama lima babak ini diakhiri oleh sebuah adegan yang sulit dilupakan: yaitu tindakan bunuh diri yang dilakukan Hedvig (dimanapun aksi treatikal yang menampilkan bunuh diri seorang anak akan menjadi kontroversial). Adegan ini merupakan puncak dari terkoyaknya sebuah ilusi – Hilmar mengacuhkan Hedvig ketika ia tahu bahwa Hedvig bukanlah anaknya, dan Hedvig dengan caranya sendiri berupaya mendapatkan kembali kasih sayang sang ayah. Melalui sebuah kalimat pahit, Ibsen mendekati narasi kebenaran dengan cara yang pelik, “Rob the average man of his life illusion and you rob him of his happiness at the same stroke” – bahwa pengetahuan akan kebenaran akan menghancurkan sebuah tatanan kehidupan (dan kebahagiaan) yang ideal. Pada titik inilah kita dihadapkan pada pencarian makna akan kebenaran yang sedikit runyam: keberadaannya seperti tergaris di mata seorang pemabuk tua – samar, dan kita harus bersusah payah mencarinya diantara dua tegukan anggur.

Referensi Tambahan:
Camus, Albert, 1952, L’Homme Revolte, Paris: Gallimard
Voltaire, 1964, Lettres Philosophiques, ed. Gustave Lanson, Paris: Didier
Huxley, Aldous, 1923, On the Margin, New York: Doran

Share on:

Leave a Comment