Di Ambang Batas Sakralitas

Saya sangat sedih melihat tidak ada lagi yang tahu arti sesungguhnya dari [ritual] menenun”, ucap Mamak Dangai, seorang sesepuh Rumah Betang di sudut pedalaman Kalimantan Barat. Kala itu kami bertiga (saya, Mamak Dangai,  dan Claire – seorang perempuan berkebangsaan Perancis yang tengah belajar menenun) duduk terpisah dari penghuni lainnya. Dengan alibi meminta tolong mengupas ubi, kegundahan Mamak Dangai tentang menurunnya nilai-nilai luhur tradisi tenun Dayak, mengalir bagai aliran sungai kapuas di musim penghujan. Dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata bercampur dengan bahasa Dayak Ot Danum, Ia bercerita tentang bagaimana ritual menenun saat ini telah semakin kehilangan sakralitasnya.

Percakapan ini berlangsung beberapa bulan lampau ketika sebuah pekerjaan menghantarkan saya ke pelosok Kalimantan, tepatnya Kabupaten Sintang dimana sebagian etnis Dayak Ot Danum bermukim. Ot Danum sendiri memiliki arti hulu sungai, sehingga Dayak Ot Danum adalah sebutan bagi suku yang menghuni hulu Sungai Kapuas, dengan populasi yang terbentang antara Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Dari Pontianak, perlu lebih dari 1 hari untuk mencapai tempat yang dituju – dengan 12 jam perjalanan darat, disambung 8 jam perjalanan menyusuri sungai Kapuas. Komunikasi dengan dunia luar otomatis terputus, namun untuk itu saya tidak berkeberatan sama sekali. Karena pekerjaan yang saya lakukan membutuhkan waktu kurang lebih satu minggu, maka saya menginap di sebuah Rumah Betang, Rumah adat komunal masyarakat Dayak yang biasanya diisi oleh sekitar 25 keluarga. Demikian pula dengan Rumah Betang yang saya tinggali terdapat kamar yang berjumlah 25, namun ternyata hanya diisi 23 keluarga – dua kamar lainnya dialihfungsikan: menjadi dapur umum, dan menjadi guest house bagi tamu yang hendak menginap. Saat itu saya berbagi kamar dengan Claire, yang mendapatkan beasiswa UNESCO untuk tinggal selama 3 bulan di Kalimantan dan belajar menenun.

Ketika saya tiba disana, seisi Rumah Betang sedang berkabung karena terdapat anggota komunitas yang meninggal – hal ini berarti pantang untuk menenun selama 3 hari. Alhasil, terdapat banyak waktu luang bagi para perempuan sehingga saya mendapat banyak kesempatan untuk berbincang dengan mereka. Salah satu topik yang menarik perhatian saya adalah kebiasaan para perempuan untuk menenun disela-sela berladang dan kesibukan lainnya. Namun, yang pada awalnya saya anggap kebiasaan, ternyata lebih dari itu: menenun dalam komunitas Dayak merupakan simbol kebudayaan. Masyarakat Dayak memiliki hubungan diluar nilai material dengan tenun yang mereka hasilkan – menenun bukan sekedar memenuhi kebutuhan terhadap pakaian, namun merupakan upaya untuk menggapai alam transenden, karena menurut Mamak Dangai, semakin seorang perempuan mahir menenun, semakin ia dekat dengan [Dewa] Betara.

Dalam tradisi tenun Dayak sendiri hanya perempuan yang boleh menenun, dengan berbagai aturan adat yang mengikat. Beberapa diantaranya seperti pantang menenun ketika tengah berkabung (seperti yang saya kemukakan diatas), pantang menenun malam hari, juga aturan terkait usia maupun motif yang diperbolehkan untuk ditenun. Adapun beberapa motif yang saya catat antara lain: motif manusia (melambangkan nenek moyang, yang hanya boleh ditenun oleh para tetua), motif geometris seperti belah ketupat, pilih, sulur-suluran (yang ketika saya pelajari lebih lanjut merupakan motif tua yang berasal dari daratan utama Asia Tenggara), motif binatang (dengan sakralitas simbolik burung Enggang, burung mitologi masyarakat Dayak), dan motif tumbuh-tumbuhan. Bagi penenun pemula yang baru beranjak remaja, motif yang boleh ditenun hanyalah motif tumbuh-tumbuhan, untuk menghindari terjadinya kesalahan karena motif lainnya (yaitu motif manusia dan burung Enggang) mengacu pada penghormatan, yang dalam dalam ritual adat memiliki tempat khusus sebagai sesaji.

Claire sendiri baru mahir menenun motif geometris, sambil menunjukkan beberapa hasil tenunnya, ia pun menyatakan hal serupa dengan Mamak Dangai – menurutnya “Saya merasa mereka membuang sesuatu yang berharga”. Pada saat itulah saya baru memahami mengapa Mamak Dangai begitu canggung untuk berbicara masalah tenun di hadapan perempuan lain, – Ia nampaknya merasa tidak enak untuk berbicara terus terang kepada anggota komunitas lain karena perbedaan pandangan tentang tenun itu sendiri. Perbedaan yang menjadi dasar dalam setiap perubahan kebudayaan, yaitu: paradoks modernitas – dimana tercapainya sebuah kemajuan atas satu hal, berujung pada kemunduran bagi hal lain. Dan ketika modernitas menyentuh [ritual] pembuatan tenun, paradoks ini pun hadir sebagai bayang-bayang hitam yang melekat padanya.

Saat ini, tenun dalam pandangan kalangan muda di Rumah Betang Desa Ot Danum lebih merupakan benda ekonomis yang berdaya jual tinggi daripada simbol transendental. Perubahan ini hadir bersamaan dengan maraknya kedatangan distributor baik perorangan ataupun dalam bentuk koperasi yang mencari hasil tenun ke berbagai komunitas, termasuk komunitas Dayak Ot Danum. Di satu sisi, kondisi ini memberikan dampak yang cukup baik terkait dengan peningkatan perekonomian di berbagai komunitas adat Dayak. Namun di sisi lain, meningkatnya permintaan akan hasil tenun mengubah persepsi masyarakat atas perhormatan terhadap nilai sakralitas ataupun komunal. Menurut Mamak Dangai, saat ini telah banyak aturan terkait ritual tenun yang diubah guna menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar, salah satunya adalah lama berlaku pantangan yang menjadi 3 hari saja, padahal dalam tradisi tenun Dayak, pantang menenun selama berkabung seharusnya dilakukan selama 1 bulan. Selain itu, aturan tentang tahapan usia menenunpun tidak diindahkan lagi – motif manusia dan burung enggang yang sakral dikerjakan oleh siapapun yang merasa mampu, jika memang terdapat pesanan.

Perubahan lain sangat terasa pada nilai komunal. Saat ini jumlah keluarga yang memilih untuk keluar dari Rumah Betang dengan membangun rumah secara terpisah, cukup meningkat. Hal ini dikarenakan di Rumah Betang terdapat pantangan untuk menenun di malam hari. Ketika pola menenun berubah dari simbol budaya menjadi kebutuhan pasar, maka pantangan ini bagi sebagian anggota komunitas tidak lagi relevan, dan mereka melepaskan diri dari ikatan aturan dengan pindah keluar dari Rumah Betang. Mamak Dangai bercerita, kamar yang kami tinggali adalah kamar yang ditinggalkan pemiliknya akibat pertentangan aturan adat tersebut. Dan ini bukanlah kamar satu-satunya yang kini tidak lagi berpenghuni. Melihat kondisi ini, sebuah realita mengerikan hadir dihadapan mata: bahwa komodifikasi dan komersialisasi budaya yang gencar dilakukan sebagai bentuk pembangunan ekonomi, telah membunuh sisi sakralitas budaya yang disentuhnya. Namun, realita ini bukan hanya terjadi pada tradisi tenun Dayak saja, tapi juga dalam konteks kebudayaan yang lebih luas. Dan pada akhirnya, ‘pasar’ menjadi manifestasi lubang hitam, menghisap nilai apapun yang tersisa dari sakralitas kebudayaan.

Lalu apa jadinya manusia tanpa nilai [sakralitas] dan pemaknaan terhadap kebudayaan?. Claire menjawab, “kita akan kembali menjadi kera”. Atas jawabannya saya sedikit berseloroh dengan berkata bahwa kera pun berbudaya pada konteksnya sendiri (saya lalu menceritakan kera di cagar alam Baluran yang ternyata memiliki semacam “ritual” ketika Bulan Purnama, dengan bergerombol diam di tengah padang luas, hal yang tidak dilakukan pada malam-malam lainnya), – mendengar ini ia hanya mangut-mangut, entah setuju atau karena leluconku terlampau tidak masuk akal. Sedangkan ketika ditanya pertanyaan yang sama, Mamak Dangai menjawab: Kita tidak akan kenal lagi dengan Betara – dengan kata lain manusia terputus dengan semesta.

Dalam posisi ini, saya dapat merasakan kegelisahan yang dialami Mamak Dangai – seorang perempuan yang telah menginjak usia senja (sekitar 60-an menurut perkiraan saya, karena Mamak Dangai sendiri tidak tahu kapan persisnya ia dilahirkan), yang telah melihat begitu banyak perubahan disekitarnya – baik maupun buruk. Di Rumah Betang itu Ia merasa sendiri, menanggung beban atas perubahan yang semakin mengikis budaya leluhurnya – sebuah beban yang begitu ragu ia sampaikan sehingga hanya bisa menceritakannya kepada kami: orang asing. Ia menganggap bahwa setiap perubahan adalah pilihan, dan setiap generasi berhak memilih jalannya sendiri – oleh karena itulah, ia mengalah ketika berbagai pantangan yang dijaganya secara turun-temurun, lambat laun diubah atas dasar pilihan kemajuan (eknomi). Namun, sebagaimana dikemukakan Adorno, pilihan yang salah akan berujung pada identitas yang salah: identitas yang mengacu pada pemutusan mikrokosmos dengan makrokosmos, menggantikan partikularitas menjadi general, dan manusia berjalan menjauhi identitas otentiknya menuju lubang hitam kebudayaan.

Share on:

5 thoughts on “Di Ambang Batas Sakralitas”

  1. Salah satu bentuk kebebalan ya teh?
    Merujuk pada om Meillassoux sih mungkin mereka lupa bahwa kualitas primer akan tetap ada meskipun kualitas sekunder kita berubah. Betara akan tetap ada bagaimanapun kita memaknainya.

  2. oh, ia sih.. untuk ado apa sih yg gk?
    yg masalah si, ce2 yg suka ma ado, apaan ceunah, co gak jelas (jarang sebut sumber)..
    arti kata2nya suka ada dibalik gunung dan lembah, hatinya emang lembut.. wkkwk..

Leave a Comment