Demonio de los Comparaciones

Saya sama sekali bukan penulis yang baik, karena jika mengacu pada aturan tulis-menulis, seseorang dikatakan berhasil apabila ia mampu menaklukan tema atau gagasan yang ia rumuskan di permulaan tulisan. Namun ternyata keteguhan saya untuk menguak detil sebuah gagasan hampir serupa kekuatan dandelion – nyaris tanpa perlawanan ketika berhadapan dengan hembusan angin. Alhasil, apa yang kami (baca: para editor suka-suka) rencanakan untuk publikasi selanjutnya, melenceng jauh dari garis permulaan. Coba saja bandingkan: pada awalnya tulisan ini akan mengangkat konsep “imp of perverse” yang dipopulerkan oleh Edgar Allan Poe dan membandingkannya dengan makna “perversion” dalam konteks perkembangan media sosial. Tiga abad berselang dan perkembangan teknologi yang secepat kilat tentu menjadikan konsep tersebut mengalami perubahan makna. Berbagai teori yang dipandang dapat mendukung gagasan tersebut kami persiapkan, terutama kajian Post-Lacanian untuk menguak bagaimana media sosial membentuk identitas – yang akan membantu menjelaskan perubahan makna “perversion” pada masyarakat abad ini. Selain kajian-kajian post-lacanian, buku yang juga saya jadikan referensi adalah karya terakhir Benedict Anderson “Under Three Flags: Anarchism and the Anti-Colonial Imagination” (2005) – buku ini saya kaji ulang karena saya ingat betul Anderson menyatakan bahwa Poe (khususnya cerpen “the imp of perverse”) memberi pengaruh kuat dalam kepenulisan Noli me tengere, masterpiece karya Jose Rizalsastrawan terkemuka Filipina. Buku Anderson inilah yang kemudian bertanggungjawab memalingkan arah tulisan ini – melalui frase tajam “Demonio de los comparaciones”, dandelion pun terbang bersama angin yang berceritera tentang sosok setan gentayangan yang hadir hampir disetiap kelahiran karya sastra (atau kelahiran sebuah bangsa). Ketika imaji pergulatan identitas ini singgah di depan mata, ketertarikan terhadap post-lacanian, sirna seketika.

Dan disinilah saya, ditemani gagasan yang murung karena ditelantarkan begitu saja, memulai kajian baru tentang ungkapan Jose Rizal dalam Noli me tengere: Demonio de los Comparaciones – atau “setan pembanding” sebagai padanan Bahasa Indonesianya. Frase ini kemudian dipopulerkan, dinetralkan maknanya dan dirumuskan sebagai sebuah konsep oleh Benedict Anderson. Dengan menggunakannya sebagai judul pada kumpulan tulisan tentang nasionalisme di Asia Tenggara (“The Spectre of Comparisons”, diterbitkan Ateneo de Manila University Press tahun 2004) – Anderson mengembangkan gagasan Rizal sehingga melampaui batas lingkup politik dan menjadikan konsep tersebut layaknya teleskop untuk meneropong berbagai gejala sosial lain seperti identitas, budaya dan juga estetika. Adapun alasan personal mengapa konsep ini menarik untuk dikaji (bahkan mampu membuat tema post-lacanian teronggok sementara) tidak lain karena terkadang kelahiran sebuah konsep memiliki plot berlapis, yang menghantarkan penggagasnya pada kesadaran tragis – layaknya Oedipus yang membutakan matanya sendiri karena kebenaran terlalu berat untuk dipikul. Bentuk kesadaran inilah yang saya temukan dalam konsep Demonio de los Comparaciones – tapi syukurlah kali ini tidak ada insiden cukil mata.

Pada saat gagasan Demonio de los Comparaciones lahir di benak Jose Rizal yang penuh dengan gejolak nasionalisme dan pembebasan, saat itu juga ia tahu bahwa terdapat “kesadaran tragis” menanti dihadapannya. Sore itu, ketika tengah berjalan-jalan pada sebuah taman di Manila, ia tertegun kaku karena menyadari bahwa taman di hadapannya tidak lagi ia nikmati, padahal taman itu adalah tempat favoritnya. Terdapat pandangan kabur akan taman-taman di Eropa (tempat ia belajar untuk beberapa waktu) yang memaksa dirinya untuk membandingkan taman di dihadapannya dengan taman gaya simetris jardin a la francaise yang menjadi pola umum di Perancis pada abad 19. Tentu banyak hal berbeda, baik dari sisi penataan ataupun dari segi vegetasi – namun yang membuatnya tertegun membisu adalah: ketika membandingkan, ia memberikan penilaian lebih atas taman di Eropa ketimbang taman di tempat kelahirannya. Rizal lalu berguman lirih: “we mortals are like turtles – we have value and are classified ourself according to our shells described by others”. Sebagaimana kita ketahui, selama hidupnya kura-kura tidak pernah melihat cangkangnya sendiri, kecuali ketika dihadapkan pada cermin atau melalui penggambaran kura-kura lain. Sialnya, manusiapun seperti itu, terlebih konteks sejarah modern memaksa beberapa negara mempersepsikan nilai dan klasifikasi bangsanya melalui cermin kolonialisme. Setan, atau lebih tepatnya iblis (demon) dalam konotasi Rizal – mengacu pada pola pembandingan sebuah bangsa terhadap nilai-nilai penjajahnya – persis seperti taman di Manila yang menjadi inferior ketika Rizal membandingkannya dengan taman di Eropa. Pembandingan ini dipandang Rizal sebagai berkah sekaligus kutukan – mengetahui pola taman di Eropa artinya ia dapat merenovasi dan melakukan perbaikan taman-taman di Filipina, namun dengan melakukan hal tersebut, ia justru melanggengkan nilai-nilai kolonial. Dalam kondisi ini pembandingan adalah perangkap setan yang tidak dapat dihindari – karena pada dasarnya identitas manusia dihasilkan dari refleksi atas persinggungannya dengan subjek lain. Pada titik inilah Rizal menyadari sebuah kondisi tragis: bahwa bangsa yang terjajah bukanlah dikalahkan oleh negara koloninya, tapi dikalahkan oleh setan dalam dirinya sendiri (its own personal demon) – yang meletakkan cermin pembanding di setiap upaya refleksi diri dan membiaskan persepsi akan realita .

Pemaknaan atas Demonio de los Comparaciones diuraikan Anderson dalam The Specter of Comparisons juga dalam Under Three Flags. Tapi Anderson tidak berhenti disana – ia melakukan pemaknaan ulang terhadap gagasan Rizal dan meletakkannya sebagai dasar pada pembacaan nasionalisme dan juga pada penelusuran pengaruh sastra terhadap pembentukkan gagasan kebangsaan. Namun, jika Rizal memaknai pembandingan sebagai refleksi, maka Anderson menyebutnya sebagai teleskop terbalik – inverted telescope. Ini tentu ada kaitannya dengan identitas dan sudut pandang Anderson yang dibesarkan di ruang akademik non-asia, sehingga mau tidak mau kita harus mengakui bahwa ketika Demonio de los Comparaciones diramu ulang oleh Anderson, konsep yang tadinya kental dengan semangat anti-kolonial, menjadi netral dalam beberapa sisi. Penetralan pertama dapat kita temukan pada bentuk pemilihan padanan kata. Rizal menggunakan analogi Demon (iblis), sang penentang Tuhan dan bertujuan untuk menjungkirbalikkan dunia. Dalam diri “Demon” terdapat kekuatan mengerikan yang mampu memaksa manusia bertekuk lutut karena rasa takut. Di lain pihak, Anderson memilih kata “Specter” yang memiliki padanan kata “hantu” – hantu dimanapun memang menakutkan, tapi minus kekuatan super yang dimiliki iblis. Pengubahan kata merupakan langkah pintar yang dilakukan Andeson, mengingat pembacaan ini akan lebih mengena bagi publik “barat” yang tidak memiliki kohenrensi dengan semangat anti-kolonial.

Penetralan kedua mengacu pada pembacaan “inverted telescope” sebagai berikut: teleskop memiliki dua sisi – sisi yang satu adalah sisi yang berfungsi untuk meneropong, sedangkan sisi satunya adalah lensa peneropongan, dan apabila kita meneropong menggunakan sisi ini, kita akan melihat gambar secara terbalik (dan tentu jika kita bersikukuh menggunakannya, maka hasil peneropongan akan kabur). Pada sisi terbalik inilah Anderson menemukan bangun nasionalisme di Asia tenggara – as nations stir into self awareness, matching themselves against others, and becoming whole through the exercise of the imagination. Kekaburan dalam melakukan pembandingan menjadikan nasionalisme di negara-negara Asia tenggara menjadi konsep yang aneh: setengahnya berasal dari pijakan sejarah, dan setengahnya lagi adalah imajinasi (sebuah kejadian menarik digambarkan oleh Anderson ketika ia menghadiri pengukuhan gelar kehormatan akademis bagi Soekarno pada tahun 1963 – di tengah pidato ia tiba-tiba limbung ketika mendengar Soekarno memuji Hitler sebagai jenius, “How clever Hitler was, brothers and sisters, in depicting his ideals!”. Kejadian ini merupakan contoh gamblang tentang bagaimana sebuah pemahaman dapat menjadi kabur jika seseorang melihatnya dari jauh dengan teleskop terbalik). Gambaran inverted telescope juga disandingkan Anderson dalam pembentukkan narasi kebangsaan Filipina. Jose Rizal yang merupakan bapak nasionalisme Filipina, tidak bisa melepaskan pengalaman dan persinggungannya dengan Eropa, khususnya Berlin. Menurut Anderson, pada saat Rizal memikirkan Manila, disaat yang sama ia pun memikirkan Berlin, dan sebaliknya, ketika berpikir tentang Berlin, ia juga tengah memikirkan Manila. Namun yang menarik dari Rizal adalah, ia memiliki kesadaran penuh atas kehadiran Demonio de los Comparaciones yang bersemayam dalam setiap pembentukkan narasi kebangsaan – kesadaran yang membuatnya gelisah hingga ia menemui ajalnya ditangan pasukan pendudukan Spanyol di Filipina.

Pengembangan selanjutnya dari konsep Demonio de los Comparaciones dituangkan Anderson dalam Under Three Flags – bahkan jika boleh berasumsi lebih lanjut dapat dikatakan konsep ini merupakan animal spirit, atau totem yang menjadi penunjuk arah kepenulisan buku tersebut. Sebuah penyelidikan diluar kebiasaan dilakukan Anderson untuk menelusur jejak anarkisme dan anti-kolonial  yaitu melalui karya sastra. Disinilah kita bertemu kembali dengan biang keladi perubahan alur gagasan yang diceritakan pada paragraf awal – yaitu cerpen “the imp of perserve” karya Edgar Allan Poe. Menurut Anderson, dalam penelusuran pengaruh karya sastra – atau sebut saja genealogi sastra – juga berlaku konsep Demonio de los Comparaciones. Seorang penulis senantiasa berada pada posisi membandingkan diri dengan karya lain, sehingga untuk menjelaskan Noli me tengere, Anderson berkelana jauh ke berbagai kanal sastra dunia – mulai dari Poe, Baudelaire, Mallarme, Dumas, Douwes Dekker, Galdos, Rimbaud, Hyusmans hingga Cervantes. Dalam kata-kata penutup bukunya, Anderson berujar bahwa Demonio de los Comparaciones senantiasa menghantui setiap penulis, termasuk sang intelektual [Jose Rizal] dan imaji kebangsaan yang dibangunnya. Akhirnya, dengan mengacu pada hakikat pembandingan diri setiap subjek, maka akan selalu terjadi pergulatan hidup mati antara persepsi diri dengan persepsi yang lain – alhasil dalam konteks nasionalisme, setiap imaji kebangsaan selalu merupakan replika, tanpa mungkin adanya orisinalitas. Namun pandangan ini dapat ditarik lebih jauh – bahwa Demonio de los Comparaciones dapat kita temukan pada setiap pembentukkan identitas, terlebih dalam kondisi massal perpindahan nilai dan komunikasi global saat ini– sehingga sebuah pencarian identitas, dimanapun, tidak lain dari “a constant and restless fight of double-conciousness”.

Share on:

Leave a Comment